"Berhenti manggil gue jalang, setan! Kita liat siapa yang lebih pantes buat dipanggil jalang. Lo apa gue," desisku tepat didepan wajahnya. Kuhempaskan begitu saja genggamanku pada rambutnya, berbalik, kemudian berjalan menjauhinya. Kulihat Riko berlari mendekati Rini dan membantunya untuk bangkit.
Aku mendecih. "Dasar kembar tolol," cibirku.
"Apa lo bilang?" geram Riko marah.
"Lo ga tau kenyataan tentang kalian berdua?" Rini dan Riko hanya diam mendengar pertanyaanku. "Wah gue merasa terhormat tau duluan tentang kalian berdua," cemoohku.
Aku membenarkan posisiku sebelum kembali melanjutkan, "Kalian ini kembar walaupun bukan identik. Sifat kalian jauh lebih mirip daripada wajah. Omongan, style, sangat sangat mirip. Orang tua kandung kalian adalah orang tua Riko itu sendiri. Kalian dipisah karena waktu itu keluarga kalian ga mampu. Ide nyokap lo, Rik, dan karena Om Tatsu –ayah angkat Rini- adalah orang kaya dan Tante Laila –ibu angkat Rini- divonis ga punya anak oleh dokter, akhirnya bokap lo dengan berat hati ngerelain anak perempuannya ke dia buat diasuh sampe detik ini."
"Bullshit! Omongan lo ga lucu!" bentak Rini.
Aku menatapnya tajam. "Apa gue keliatan lagi ngelawak?"
Rini terdiam. Dapat kulihat tatapan Rini dan Riko yang tidak percaya padaku dan aku membalas tatapan mereka dengan menantang. Tidak gentar sekalipun.
"Ta-tapi nama gue sama Riko beda," ujar Rini terbata-bata dan penuh keraguan.
"Yaiyalah, bodoh. Orang tua kalian di akte aja beda. Marga lo marga dari bokap angkat, bukan kandung. Beda sama Riko," sungutku kesal. "Dan Riko, gue minta maaf karna gue baru tau tanggal ulang taun lo akhir-akhir ini. Gue tau lo tertutup dan paling ga suka ada orang yang ikut campur dalam kehidupan lo. So, sorry karna gue baru sadar hal itu," ucapku cuek dan terkesan tidak peduli. Tapi memang tidak peduli sih.
Riko tidak bersuara apapun, tapi aku tahu jika dia terkejut dengan ucapanku. Sedangkan Rini mulai kebanjiran air mata hingga terdengar isakan pelan dari bibirnya. Mungkin agak terguncang. Selain itu, Jason dan Ardi masih terdiam dengan mata membulat. Aku tahu pengakuan yang sebelumnya terlalu mengejutkan serta membuat heboh semua orang, tapi begitulah adanya.
"Kenapa lo bisa tau semuanya? Lo tau darimana?" akhirnya Riko bersuara dengan nada yang dingin sedingin es.
"Bokap gue ternyata sahabat dari nyokap Rini. Mereka sahabat dari SMP, tapi sayangnya nyokapnya Rini pindah tanpa ada kabar sebelum mereka lulus kuliah. Mereka ketemu lagi waktu papasan di rumah sakit abis bokap jemput gue buat balik dan nyokap Rini jenguk Jason. Nyokap dia ceritain semuanya tentang lo berdua di rumah gue, trus nangis-nangis dan minta maaf sampe puluhan kali abis denger gua ceritain kejadian waktu itu. Mungkin dia malu punya anak yang ga tau diuntung. Udah titipan, ngelunjak pula," jawabku sarkastik.
Rini membekap mulutnya. "Ga mungkin. Ga mungkin. Gue ga percaya. Mama ga pernah cerita apapun. Gue—"
"Terserah apapun yang lo omongin. Gue ga peduli. Gue malah seneng kalo Rini beneran kembaran gue," cetus Riko. "Jangan harap gue bakalan lemah karna kata-kata lo."
"Oh gitu," balasku acuh.
Rini mendengus, membuatku sontak menelengkan kepala. Terperangah melihat betapa drastisnya perubahan emosi pada dirinya. "Bodo amat mereka orang tua kandung gue apa bukan. Yang terpenting," Rini menyeringai dengan menyeramkan –mata memerah dengan air mata yang masih bercucuran, rambut berantakan, seram kan?-, "Arsen akan selalu sama gue."
Aku hendak membuka mulutku ketika dia kembali melanjutkan, "Apa lo tau tentang Amiella? Ah gua rasa Arsen ga akan mungkin bisa nyeritain tentang Amy didepan lo. Bener kan gue, Ar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senyum yang Menghilang
RomanceAku takut. Aku sakit. Aku benci dia. Aku benci diriku sendiri. Berat rasanya memikul peran protagonis yang dibalut dengan antagonis didalamnya, memakai topeng bidadari yang dibaliknya terdapat wajah iblis, menjadi pribadi yang bahkan aku sendiri tid...