Part 22-a

1.1K 43 0
                                        

part ini aku bagi dua soalnya panjang banget

pengen aku ringkas, tapi aku ga ngerti dimananya wkwk

pov-nya kembali ke ika ya, so enjoy it!

-------------------------------------------------------

Firasatku sudah tak enak semenjak aku membuka mata di hari yang lalu. Kutepis firasat yang mengganjal itu dengan berbagai pikiran yang menyenangkan serta bersenda gurau dengan orang-orang di sekitarku. Namun, usahaku menguap begitu saja saat aku mendapatkan pesan dari nomor yang tidak kukenal. Firasat yang sebelumnya berhasil hilang, kembali hadir menjadi emosi ketakutan yang sulit untuk kukendalikan. Entah mengapa aku begitu takut, khawatir, panik, cemas, dan marah. Jason yang mencoba menenangkanku pun akhirnya pasrah dan hanya menggenggam tanganku dengan erat untuk memberiku kekuatan. Kekuatan itu memang dapat kurasa, tetapi sepertinya kali ini kekuatan itu kalah dengan egoku sendiri.

Gue pikir kita punya urusan yang belom selesai. Gue tunggu paling lambat jam 3 pagi di belakang kampus.

Aku menatap datar pesan yang kuterima setengah jam yang lalu itu, kemudian beralih pada orang-orang yang sibuk lalu lalang di bawah sana. Aku sudah sampai di kampus beberapa menit yang lalu, hanya saja masih belum ada niat untuk turun dan meladeni orang-orang itu. Aku ingin lihat seberapa matang rencana mereka untuk melemahkanku.

Tiba-tiba, sekelebat bayangan melintas di hadapanku. Mataku menyipit untuk melihat lebih jelas lagi sosok yang baru saja berlari tanpa menyadari kehadiranku yang sedang bersembunyi di balik sebuah pohon besar. Senyum culas tercetak begitu aku mengenal orang itu.

Dunia terlalu sempit untuk berada di tempat yang sama.

Aku melirik jam yang melingkar erat di pergelangan tanganku. Udah waktunya, pikirku masam.

Gelapnya malam meniup semilir angin dingin, dipadu dengan bulan yang melengkung membentuk senyum tipis disertai berlian-berlian di tiap sisinya. Aku berjalan tanpa suara menuju tempat yang ditentukan. Mengatur nafas, menenangkan hati dan pikiran, serta mengumpulkan tenaga untuk berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Tak lupa pula doa yang terus kupanjatkan di dalam hati agar jebakan yang telah direncanakan dapat berjalan dengan lancar.

Langkahku terhenti beberapa meter sebelum tempat yang ditentukan untuk menghela nafas dan menenangkan degup jantungku yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Setelah merasa lebih tenang, aku kembali melanjutkan langkahku dengan mantap.

****

"Telat setengah jam dari yang seharusnya," ujar Rini sambil melihat jam di tangannya begitu melihatku menginjakkan kaki di lapangan, "nyali lo gede juga."

"Well, kalo gitu gue minta maaf," balasku dengan tenang. Keadaan di kampus sungguh sepi. Penerangan hanya ada di lapangan serta teras kampus yang ada di depanku. Pohon-pohon tinggi di sekitar kampus yang biasanya selalu terlihat rindang pun berubah menjadi sosok yang menyeramkan dibawah langit malam. Bulu kudukku sedikit meremang. Serem, pikirku ngeri.

"Ah ya, lo inget kan biasanya kalo guru ngeliat anak muridnya telat gimana?" tanya Rini sambil menjentikkan jarinya seolah tersadar akan sesuatu, kemudian dia berjalan dengan perlahan mendekatiku. Aku tetap berdiri tegak di tempat, menunggu kata-kata Rini selanjutnya.

"Ya harus dihukum," desisnya tepat didepan wajahku, tangannya meninju perutku dengan keras. "Ups! Sorry, kekencengan ya? Sakit ga?" tanyanya pura-pura peduli melihatku yang terhuyung ke belakang dan mencoba menegakkan tubuh.

Sial! Belum apa-apa udah ditonjok, umpatku dalam hati sambil memegangi perutku yang terasa nyeri.

Aku mempertahankan posisiku agar tetap berada dibawah penerangan dan tidak terjatuh di tempat yang gelap. Aku melirik ke sekeliling dan mulai menghitung. Ada sepuluh pengawal yang bersembunyi di belakang pohon dan pilar-pilar di area kampus serta lima cctv di beberapa area lapangan. Untung gue pake soft lense, syukurku dalam hati.

Senyum yang MenghilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang