Part 23

1.7K 61 0
                                        

Kosong..

Hampa..

Sejauh mata memandang hanya hitam dan lorong bercabang yang tak berujung. Tak ada satupun cahaya yang masuk walau ada banyak celah tak kasat mata. Banyak pula suara yang terus berdengung memenuhi ruang polos itu dengan berbagai pertanyaan aneh yang entah muncul darimana.

Seberat apa beban masa lalumu hingga kamu tidak bisa memaafkannya?

Seberat dosa yang selalu kupikul di tiap harinya.

Sekeras apa perjuanganmu dulu?

Sekeras batu yang terus dikikis air mata hingga pengorbananku menjadi tak berarti, dipandang sebelah mata, dan hilang tak membekas.

Jadi, pantaskah ia untuk ditunggu?

Lebih baik mengubur detik daripada harus rela membuang umurku. Waktuku terlalu mahal untuk dibuang sia-sia hanya karena menunggu kekosongan.

Tapi, ingatlah. Dia orang yang pernah kamu cinta. Sebenci apapun kamu padanya, ia adalah salah satu orang yang berperan penting dalam membentuk dirimu menjadi seperti sekarang ini. Ia pernah menjadi pangeran impianmu. Sosok yang kamu banggakan di depan orang-orang terdekatmu.

Tidak peduli. Dia tetaplah orang yang membuatku sakit. Kebahagiaan apa yang selalu terpenjara di dalam neraka? Ketenangan apa yang selalu terusik dengan cibiran penghinaan? Itukah yang disebut hidup?

Kau bisa berkata seperti itu disaat ada orang-orang yang menyayangimu? Buat apa kau punya sahabat dan orang terpercaya di dekatmu? Kau kira mereka hanya hiasan di dunia ini? Dasar bodoh. Mereka selalu ada di sampingmu. Coba lihatlah lelaki yang ada di depanmu saat ini. Sudah sepuluh hari ini ia selalu menunggumu untuk menyapanya.

Aku memutar kepala untuk melihat wajah lelaki itu. Seorang lelaki bule berparas tampan dengan mata hijau gradasinya berbingkai bulu mata lentik disertai alis tebal dan hidung mancung, serta bibir peach yang selalu melengkungkan senyuman manis. Ya, dia lelaki yang kulihat tiap harinya.

Namun, ada yang berbeda padanya hari ini. Matanya begitu sayu dengan penampilan yang berantakan. Senyuman bahkan tidak ada di wajah menawannya.

Ada apa dengannya hari ini?

"Mau sampe kapan begini, Sof?" tanya lelaki itu pelan.

Sof? Apa itu aku?

Aku masih diam dan menatapnya tidak mengerti. Mungkin tatapanku juga kosong karena aku mendengar helaan nafas lelah dan frustasinya.

Tanpa diduga, lelaki itu memajukan wajahnya dan mengecup sudut bibirku yang kering. Hanya tiga detik, tapi sukses membuat tubuhku menegang kaku. Air mata mulai merebak dan membuatku menatapnya dengan penuh ketakutan. Badanku bahkan mulai gemetar tak karuan.

Aku panik. Aku beringsut mundur hingga tidak sadar telah membentur dinding yang ada di belakangku. Pikiranku kalut dan mulai dipenuhi dengan kenangan buruk itu lagi; disaat aku mulai dicium kasar, tangannya yang menjelajahiku, serta paksaan-paksaan lain yang terus berputar di otakku. Kepalaku pening hingga rasanya mau pecah karena tidak mampu menampung itu semua. Ditambah dengan suara yang terus menerus meneriakkan nama Beta.

"Ah!" pekikku sambil memegang kepalaku yang terasa begitu penat. Kupukul-pukul hingga kujambak rambutku kuat-kuat untuk menghilangkannya, namun tak juga berhasil. Aku mengerang frustasi.

Lelah rasanya harus menanggung beban ini sendirian. Mungkin selama sepuluh hari ini aku hanya diam, tapi sekarang adalah puncak dimana aku sudah tak sanggup lagi menjadi biasa-biasa saja dan datar menatap sekelilingku. Mungkin aku harus menyusul Beta.

Senyum yang MenghilangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang