“Akhirnya datang juga Lo, Len!” seruan itu langsung menggema saat Selena masuk ke dalam kelasnya. Ia melihat jam tangannya. 6.28. Nyaris saja dia terlambat. Untung jalanan sepi dan supir bus yang ia tumpangi mengendarai dengan cepat. Selena hanya tersenyum tipis. Ia tahu mereka tidak benar-benar mengharapkan dirinya datang ke sekolah sebagai teman. Yah, mungkin hanya sebagian yang menganggapnya sebagai teman. Mungkin juga tidak. Entahlah. Selena tak mau ambil pusing. Ia berjalan ke tempat duduknya kemudian mengeluarkan beberapa kliping yang daritadi ditunggu oleh “teman-temannya” itu. Inilah profesi sampingan Selena. Mengerjakan tugas sekolah temannya. Ia tidak masalah karena itu. Dengan begini Ia bisa dapat uang. Tentu saja mereka membayarnya. Selena tidak mau mengerjakannya percuma. Yah, lumayan hasilnya dari pada dia harus menjajakan tubuhnya seperti apa yang sebagian anak miskin seperti dirinya lakukan.
“Bodoh! Mau aja dibudakin suruh bikin tugas.” itu suara Aldo. Selena mengalihkan wajah kearahnya.
“Lo ngatain gue?” Aldo menyeringai mengahadap Selena.
“Ngerasa? Baguslah.” Selena menutup mata sejenak. Kemudian menghembuskan nafas. Terserahlah dia mau bicara apa. Ia tidak perduli. Lelaki itu hanya iri pada dirinya karena selalu kalah saing. Ingin rasanya Selena menghajar wajahnya. Tentu saja Ia tahan. Ia tidak mau kehilangan beasiswa yang Ia dapat hanya karena lelaki manja seperti Aldo. Lagipula masalahnya kalau Ia mau dibudakin membuat tugas oleh anak-anak satu kelas? Kenapa Ia harus repot. Yang membuat tugas kan dirinya. Selena tidak pernah membuat Aldo untuk membantunya membuat tugas teman-temannya. Lalu apa masalahnya? Aldo kembali berujar. Kali ini lebih pedas kata-katanya. Selena bodoh katanya. Dia bukan membantu tetapi malah menjerumuskan teman-temannya. Selena kehabisan kesabaran. Ia menghampiri Aldo kemudian menggebrak mejanya. Tidak ada yang kaget dan berusaha memisahkan pertengkaran antar mereka. semuanya hanya diam kemudian berpaling dan duduk di bangku masing-masing. Anak-anak satu kelas mereka sudah biasa dengan kejadian seperti ini. Mereka sudah bosan melihat kedua anak jenius itu bertengkar. Bahkan hanya karena hal sepele. Mereka tidak heran. Justru mereka heran kalau dua anak itu tidak bertengkar. Bel sekolah berbunyi. Pak Santoso memasuki ruang kelas mereka. Selena segera kembali ke tempatnya. Ia duduk bersama sahabatnya, Tari. Mungkin Ia hanya satu-satunya yang mau berteman tulus dengan dirinya. Tanpa embel-embel minta dibuatkan tugas. Tari yang paling tulus diantara semuanya. Anak-anak sekolah ini mayoritas orang berada. Maka dari itu Selena agak segan bersekolah disini. Tapi sudahlah. Sebentar lagi juga Ia lulus.
Selena berjalan pulang menuju rumahnya. Sendirian. Tadinya sih bersama Tari. Tapi berhubung rumah Tari sudah lewat, Ia harus melanjutkan perjalanannya sendiri. Sekarang sudah jam 4 sore. Ia tadi harus mengikuti pemantapan dulu di sekolahnya. Sudah kelas 3. Sebentar lagi Ujian Nasional. Tidak terasa umurnya sudah mau lepas 17 tahun. Tadi Ia dapat surat dari Kepala Sekolah. Isinya Ia dapat beasiswa penuh lagi dari Universitas Indonesia. Senang sekali. Belum lulus, tapi sudah pasti akan di terima kuliah. Ibunya pasti senang kalau Ia beritahu. Omong-omong soal ibunya, pasti belum pulang kerja. Ibunya pulang jam 10 malam.
CKIITT!
Langkah Selena terhenti saat melihat sebuah mobil sedang berhenti tepat di depannya. Menghalangi jalan. Ia sudah mau marah-marah saat melihat pemilik mobil keluar. Alvin berjalan dengan senyum manis ke arahnya.
“Baru pulang Len?” Entah kenapa menurut Selena, suara Alvin terdengar saat merdu di telingannya. Ia menyunggingkan senyum, kemudian mengangguk. “Mau temenin aku gak?”
“Kemana Mas?”
“Toko buku. Abis itu aku traktir makan deh.. gimana?” Selena berfikir sebentar. “Boleh. Aku juga mau sekalian beli buku.” Lelaki itu menyunggingkan senyum. Menarik tangan Selena dengan riang ke dalam mobil.
“Let’sss go!!”
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Alvin memperhatikan wajah Selena dengan seksama. Cantik juga gadis ini. Selama ini Alvin hanya melihatnya sebagai seorang adik kecil yang manis. Dia tidak punya adik perempuan. Yang ada adik laki-laki yang sangat dingin dan perfectionist. Kaku sekali. Tidak enak untuk di ajak seru-seruan. Tidak seperti Selena. Gadis itu sangat antusias menemaninya. Komunikasi mereka bisa dibilang sangat nyambung. Alvin tertawa kecil saat Selena tersedak karena makanannya. Gadis itu menatap sebal ke arahnya.
“Mas kenapa ngetawain aku?”
“Siapa yang ngetawain kamu?”
“Itu.. ngapain senyum-senyum gitu? Udah tahu aku keselek, bantuin ngasih air minum kek. Malah di ketawain.” Alvin benar-benar tertawa puas kali ini. Ia mengacak-acak rambut Selena dengan gemas. Menghasilkan erangan protes dan tatapan sebal dari sang empu-nya.
“Ih.. Mas Alvin udah dong ketawanya.”
“Hahaha maaf.. hhaha”Alvin mulai berhenti tertawa. Mengatur nafas. Selena berdehem. Memulai pembicaraan.
“Makasih ya mas.”
“Untuk?”
“Udah beliin aku buku-buku ini.” Selena mengangkat sekantung buku di hadapannya. Alvin tersenyum. “Gak apa-apa. gak usah terima kasih gitu. Kamu tuh kayak sama orang lain aja.” Mereka tersenyum kecil. Tiba-tiba Selena tersentak. Melihat jam di tangan kanannya. Jam 6.50. Mati dia. Dia masuk kerja jam 7 malam sebagai pegawai restoran Itali.
“Mas, aku duluan ya. Aku hampir telat masuk kerja. Sekali lagi makasih atas bukunya.” Selena hendak pergi saat tangan Alvin mengenggamnya erat.
“Kamu mau kemana? Kerja? Kerja apa? trus dimana? Kok gak pernah cerita sama aku?”
“Aduh Mas, nanti aja ya kalau mau interogasinya. Aku hampir telat nih. Nati aku di pecat.”
“Yaudah aku anter. Yuk!” Alvin menyeret tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
This Is Our Story
Teen FictionSelena adalah seorang gadis remaja biasa. Cantik, pintar, dan sedikit lugu. Dirinya bukan gadis yang berasal dari keluarga kaya. Suatu ketika dia mendapati kenyataan bahwa dirinya mengandung anak dari musuhnya sendiri. bagaimanakah Selena harus meng...