CHAPTER 6

21.2K 819 5
                                    

Pagi-pagi Selena mendengar suara ribut dari bawah. Seperti suara panci beradu. Ia melihat jam. Pukul 8. Kenapa berisik sekali? Ah dia lupa tidak seharusnya Ia mengeluh. Ia menumpang di rumah orang lain sekarang. Harus tahu diri. Ia bangkit dari kasurnya. Berjalan ke arah asal suara. Begitu sampai ingin tertawa rasanya. Jessica dengan apron yang kotor entah karena apa. dan dapur yang sudah seperti kapal pecah.

            “kamu lagi ngapain Jess?” Jessica tersentak. Berbalik perlahan kemudian menyengir malu. “Kamu udah bangun? Maaf ya pasti karena aku?” Selena tersenyum menghampiri Jessica.

            “Bukan karena kamu kok. Kamu mau ngapain pagi-pagi?”

            “eh... ini .. tadinya aku mau bikin sarapan tapi....”

            “udah aku aja yang masak. Kamu bersihin tuh apron kamu.”

            “Tapi..”

            “Udah gak papa.” Jessica tersenyum ke arah Selena. Ia bergegas mengganti apronnya. Selena melihat-lihta isi kulkas. Apa yang mau Ia masak? Cuma ada nasi putih, telur, sosis, baso, sama daun bawang? Ah buat nasi goreng sajalah.

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

            “Wow! Ini enak banget!” Jessica menjerit antusias. Selena hanya terseyum menanggapi. Gadis itu kembali bertanya macam-macam, dimana dia belajar? kenapa masakannya bisa seenak ini? Yah, dia jawab sekenanya saja. Sampai terdengar bunyi bel. Jessica bangkit dari duduknya. Membukakan pintu.

            “Mama! Papa! Kok kalian ke sini?” Jessica kembali berteriak histeris  lagi. Selena penasaran. Tadi Jessica teriak mama dan papa. Berarti orang tuanya datang? Mati dia. Harus bicara apa?

            Selena muncul dari punggung Jessica.  Berencana menyapa orang tua Jessica. Tidak cukup buruk. Mereka baik. Jessica menjelaskan semuanya kenapa dia bisa disini. Tentunya setelah mendapat izin dari Selena. Sama seperti reaksi Jessica. Mereka kaget sekaligus kasihan. Selena seperti mendapat keluarga baru. Mereka sangat ramah. Ah, beruntung sekali dia bertemu dengan orang-orang baik.

            Selena dan Jessica mengantar orang tua Jessica sampai depan pintu. Ibunya mengelus kepalanya. Berpesan agar hati-hati dan menjaga bayinya. Selena mengangguk. Rasanya seperti punya ibu lagi. Meskipun tidak sama seperti ibu kandungnya.

            “Jess, kamu bilang kamu punya restoran?” Selena bertanya saat mereka sedang santai di ruang TV. Jessica mengalihkan wajahnya “Iya. Kenapa?”

            “Aku boleh kerja di restoran kamu? Aku pengalaman kok jadi pelayan.” Jessica membulatkan matanya. kerja? Dalam keadaan hamil? Yang benar saja!

            “Nggak boleh!”

            “Kenapa?”

            “kamu lagi hamil! Nanti kalau bayi kamu kenapa-kenapa gimana?”

            “Jess, aku gak mungkin selamanya hidup gratis sama kamu kan? Aku gak apa-apa kok.. please Jess..”

            “Tapi- “

            “Jess...” Jessica menghela nafas. Satu sifat yang Jessica baru tahu dari Selena, keras kepala. “Oke.” Senyum Selena mengembang. “Tapi kamu hanya boleh kerja dari jam 8 sape jam 12.” Selena mengangguk semangat. Terus menggumamkan terima kasih. “Tapi Jess, gajiku gak dipotong kan kalau cuma kerja 4 jam?” Jessica tertawa. “Gak kok. Kalau kamu mau tahu, gaji untuk pelayan di restoranku tuh kecil, Cuma 500 ribu perbulan.”

-----------------------------------------------------------------------------------------------------

            Adinda terlihat masih shock. Wajahnya pucat. Ia khawatir sekali dengan adiknya. Sangat. Dimana dia sekarang? Ia melihat ke arah ibunya. Masih berada di pelukan ibu Bramawijaya. Menenangkan. Maklum mereka kan teman dekat. Ibu Brama langsung kesini saat mendapat telfon dari sahabatnya bahwa Selena hilang. Kaget setengah mati. Panik dan khawatir langsung bercampur jadi satu. Ia hubungi suaminya, suruh lapor polisi. Pak Brama langsung mengiyakan. Ia kerahkan ajudannya.  Ia juga sudah menganggap Selena sebagai putrinya. Anak itu baik sekali. Sopan pula.

            “Udah, tenang. Lena pasti gak apa-apa.” Ibu Ratih –ibu Selena– masih menangis. Ia tidak bisa tenang. Ia tidak tahu apa putrinya baik-baik saja di luar sana. Naluri ibunya berbicara disini. ia khawatir. Adinda juga tidak bisa berbuat apa-apa. air matanya sudah kering. Mereka hanya bisa pasrah dan menunggu kabar  dari polisi dan orang suruhan pak Brama. Ia memejamkan mata. Menarik nafas berat “Kamu kemana Len?” gumamnya miris.

            Aldo memasuki rumahnya dengan santai. Ada kakaknya Alvin yang tiba-tiba turun tergesa-gesa. Ia melirik jam di tangannya. Jam setengah 4. Tumben kakaknya pulang cepat. Biasanya sampai malam.

            “Mas, tumben pulang cepet?”

            “Aldo! Akhirnya kamu pulang. Ikut Mas yuk, cari Lena!” Aldo membelalakan matanya. mau apa cari Selena? Dan ini sebabnya kakaknya lalu lalang gak jelas cari kunci mobil?

            “Dia kabur dari rumah.” jawab Alvin seolah bisa membaca pikiran adiknya itu.

            “Kenapa kabur? Dia bertengkar sama ibunya?” Aldo berusaha tenang.

            “Gak tahu. Kata Adinda dia cuma ninggalin surat yang isinya permintaan maaf.” Mata Aldo semakin membuka lebar. Jangan-jangan kekhawatirannya selama ini terbukti? Selena hamil? Lalu kabur dari rumah. dan semua ini adalah salahnya. Aldo merutuki dirinya. Ia melihat kakaknya sudah lebih dahulu jalan mendahulinya. “Mas, aku ikut!”

            Kedua kakak beradik itu menyambangi rumah ibu Selena. Miris melihat wanita paruh baya itu menangis tersedak. Mengkhawatirkan putrinya. Alvin maju berlutut di hadapan Ibu Ratih. “tante, aku janji bakal bawa Selena pulang.” 

This Is Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang