CHAPTER 7

20.9K 821 5
                                    

11 tahun kemudian.....

            “Sayang! Cepet bangun! Kamu harus ke sekolah!” Selena berteriak memanggil putri semata wayangnya. Ia melihat putri kecilnya itu masih berada dalam mimpi sambil memeluk guling kesayangannya. Tidak terasa sudah 11 tahun berlalu. Selena mengalami hari-hari yang menyenangkan sekaligus  menyedihkan. Menyenangkan karena dengan kebaikan hati orang tua Jessica, ia bisa menyelesaikan SMA. Tidak sekolah formal. Home schooling. Setelah itu ia bisa menyelesaikan S1-nya dalam bidang marketing. Dengan dibiayai orang tua Jessica juga, tentu saja. Setelah itu ia di pekerjakan di perusahaan cabang milik pak Aryo –ayah Jessica- sebagai manager pemasaran. Perusahaannya bergerak di bidang home shopping. Selena sangat berterima kasih kepada mereka. Bagian meyedihkannya dimana dia dengan umur yang sangat muda harus melahirkan Kasia –putrinya- seorang diri. Hanya ada Jessica dan ibunya. Dia juga harus membesarkan Kasia. Untung saja ibu Jessica mau membantunya. Selena sudah dianggap sebagai putrinya sendiri. Selena tinggal dirumah Jessica sampai Kasia berumur 5 tahun. Setelah itu dengan uang gajinya, ia menyewa sebuah apartemen kecil. Yang murah saja. Gajinya tidak seberapa besar. Meskipun posisi Manager pemasaran bukanlah posisi yang bisa dibilang rendah. Yah, yang penting cukup untuk membiayai hidupnya. Tadinya ingin berniat mengembalikan uang yang selama ini orang tua Jessica berikan padanya. Dengan cara mencicil tentu saja. Tapi mereka bilang tidak apa-apa. Di paksa pun mereka menolak.

            Selena membuka jendela. Cahaya sang mentari menyeruak masuk. Putri kecinya masih belum mau bangun. Sampai mesti di kelitiki dulu pinggangnya baru membuka mata. Disertai gerutuan sebal. Langsung Ia suruh mandi. Tidak lucu kalau dia terlambat di hari pertamanya bersekolah di SMP. Meskipun umurnya masih 11 tahun, Kasia termasuk golongan anak jenius. Anak itu ikut kelas akselarasi. Jangan-jangan pengaruh GEN. Selena dan Aldo termasuk anak yang berotak encer kan? Ia menggelengkan kepala. Aldo lagi. ia tidak mau mengingatnya. Biar saja Kasia anggap ayahnya sudah mati. Itu jawaban yang sering Ia berikan ketika putrinya itu bertanya. Selena membereskan tempat tidur putrinya. Merapihkan kamar anaknya itu. berantakan. Tidak sama sepertinya yang memang suka rapih dari kecil. Ya sudahlah, nanti dia ajarkan.

            “Len, Kasia udah bangun?” Jessica melongokkan kepala di tepi pintu. Ia menginap tadi malam. Bosan. Sepi sendiri di rumah katanya. “Udah, tuh lagi mandi” Jessica mengangguk “Oke, aku tunggu di ruang makan ya!”

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------

            Dokter muda itu menatap kesal pada pria yang sekarang duduk di depannya.  Apa mau adiknya satu ini? Jujur saja beberapa tahun ini adiknya jadi sangat menyebalkan. Dulu Ia pintar, sopan, penurut. Sangat malah. Tapi kenapa jadi berandalan begini?

            “Kamu mau ngapain disini?” Alvin memandang tajam ke arah Aldo.

            “Mas, nyantai aja sih. Aku cuma mau nyampein pesen papa.”

            “Pesen apa? kenapa mesti dateng? Kamu nggak punya Handphone? Aku banyak pasien sekarang.” Aldo menatap malas.

            “Kata papa nanti malem jam 8 ke restoran yang biasa. Jangan sampe terlambat. Pake jas yang rapi.”

            “Ada acara apa?” Aldo menaikkan bahunya. Tidak tahu. “Kamu dateng juga?”

            “Gak tahu. Liat nanti aja. Tapi kayaknya perjodohan deh mas.” Aldo terkikik geli melihat ekspresi kakaknya itu berubah kaget. “Yaudah aku pergi dulu. Mau ke kantor. Dari tadi papa udah sibuk nelfon.”

            Aldo keluar dari ruangan kakaknya itu. handphone-nya berdering. Ia terkesiap. Ini nomor ‘orangnya’. Apa dia sudah dapat informasi dimana Selena berada? Ia mengangkat telfonnya tidak sabar. Sudah ketemu, kata Line di sebrang. Ia kirim alamat katanya. Aldo mematikan sambungan. Bergegas begitu menerima SMS alamat itu. Bagaimanapun Ia harus menemui Selena. Tidak peduli. Ia yang menyebabkan keadaan jadi kacau begini. Ibu ratih jatuh sakit. Kena serangan jantung. Alvin yang merawatnya. Ia juga jadi seperti ini. Kelakuannya berubah total. Ia tidak tahu mengapa. Pusing juga memikirkan anaknya di luar sana. Masih hidup atau tidak. Dia menyalahkan dirinya sendiri. Selena juga. Kenapa tidak beritahu dia sih? Apa salahnya? Ia sudah mempersiapkan diri untuk tanggung jawab. Apa dia takut? Takut dirinya menolak kehadiran si jabang bayi? Yang benar saja. Aldo tidak sebrengsek itu untuk menyuruh Selena membunuh bayinya. Paling tidak kalau Selena mengaku mereka hidup bersama sekarang. Meskipun tanpa cinta. Tapi setidaknya anak itu tahu dengan jelas siapa orang tuanya.

            Aldo sampai di depan sebuah sekolah. Alamat yang diberikan oleh ‘orangnya’ sama persis dengan lokasi sekolah ini. Ia berjalan menuju tata usaha. Menanyakan apakah ada guru yang bernama sama dengan gadis yang dicarinya. Ternyata ada. Aldo mempersiapkan diri sementara guru itu di panggil. Saat sudah berdiri dihadapannya, rawut kecewa terlihat dengan jelas di wajahnya. Bukan Selena yang ia cari. Hanya mirip nama saja.

            Aldo memasuki mobil dengan putus asa. Sedari tadi Ia terus menekan-nekan jari telunjuknya dengan ibu jari. Kebiasaan dari kecil saat menahan emosi. Kemana gadis itu. ia sudah mencari ke mana-mana. Salah dia juga. 11 tahun ini Ia hanya mencari berbekal nama. Ia tidak punya foto Selena. Kalau minta dengan ibunya nanti curiga. Aldo kan musuhan dengan Selena. Mereka pasti heran kenapa Aldo ikut-ikutan mencari. Ia tahu ia bodoh. Banyak ‘Selena’ di dunia. Mau sampai botak dia cari kemungkinannya hanya 1% menemukan Selena asli hanya berbekal nama. Aldo mengusap wajah memasang pose frustasi. Handphonenya berdering. Dari ‘orangnya’. “BODOH! Bukan dia orangnya! TOLOL! Cari sampai dapat!” Ia luapkan emosinya. Jujur Ia lelah. fisik dan psikis. Ia hanya ingin menebus dosa dengan gadis itu. Aldo membenamkan kepalanya di kedua tangan. Air matanya mengalir. Katakanlah dia lemah. Tapi sungguh, Ia sangat lelah menanggung rasa bersalah di hatinya.

This Is Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang