Pria itu merubah posisi duduknya dengan tidak nyaman. Jok mobil sedan yang sedang Ia naiki rasanya sangat tidak pas sekali. Berkali-kali melihat ke arah jam di tangan kirinya. Resah sendiri jadinya. Entah Ia harus menyalahkan siapa. Namanya juga kota besar. Ibukota Indonesia ini pasti padat penduduk sekali bukan? Tapi sungguh mengapa akhir-akhir banyak sekali mobil yang berkeliaran di jalan. Bukan pertama kalinya ke Jakarta. Justru Ia menetap di kota ini. Hanya saja sepertinya lebih nyaman menentap di Jogja. Tidak cukup banyak mobil yang lalu lalang. Tidak seperti disini. Dalam satu rumah saja mungkin ada 5 mobil yang berdiam di garasi. Makanya jadi padat begini. Memang sih kendaraan pribadi sangat dibutuhkan, apalagi orang-orang yang pekerjaannya berlomba dengan waktu. Pasti sangat membutuhkannya. Tapi kalau sudah macet begini bisa-bisa kalah dengan waktu kan? Seperti dirinya saat ini. Ia ada janji bertemu dengan rekan bisnisnya. Direktur utama. Bos dari Selena. Rencananya akan menandatangi kontrak kerja sama secara resmi. Mereka janji bertemu jam 3 sore. Sekarang saja sudah jam 2 lebih 25 menit. Mana jalan macet begini. Ia sudah membuat kesan yang buruk saat pertama kali bertemu Selena. Ia tidak mau dianggap sebagai orang yang molor dengan waktu. Daniel memberi isyarat untuk sang supir agar lebih cepat. Tapi tidak bisa. Ada ratusan mobil yang menghalangi jalannya. Rasanya ingin dia lindas semua sekalian dengan mobil tronton. Astaga! Kalau sudah begini siapa yang mau dia salahkan?
Daniel turun dengan tergesa. Memasuki gedung tinggi itu dengan berlari. Ia tidak peduli sekretarisnya mengikuti dari belakang dengan terengah. Sudah jam 3 lebih 15 menit. Ia tidak mau orang itu menunggu lama. Menekan tombol lift dengan tergesa. Kalau ruangan sang Direktur ada di lantai 2 atau 3 mungkin dia sudah menaiki tangga darurat sekarang. Sayangnya, ada di lantai 12. Ia tidak mau pingsan ketika sampai diatas nanti. "Oops, maaf!" Pria yang ditabrak hanya mengangguk saja. Memperhatikan pria yang tadi menabraknya. Seperti mengingat seseorang. Tapi tidak tahu pasti juga. Rasanya seperti pernah liat entah dimana. Aldo menggelengkan kepalanya. Mungkin Ia hanya salah lihat. Melanjutkan jalannya sambil menekan-nekan layar sentuh smartphone miliknya. Menelfon seseorang. Hanya terdengar nada sambung. Ia kembali mencoba. Orang di sebrang sana belum menjawab. Rencananya Ia akan mengajak Kasia pergi jalan jalan sore. Kemana saja yang gadis kecil itu inginkan. Ayahnya juga. Kenapa menelfon disaat yang tidak penting sih. Ujung ujungnya Ia datang hanya untuk berbicara masalah kerjasama perusahaan milik ayahnya dan milik ayah Jessica. Aldo memasukan Handphone ke dalam sakunya. Lelah mencoba. Ingin membelikan sesuatu saja sepertinya untuk Kasia. Enaknya dibelikan apa ya?
------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Lelaki itu menghela nafas untuk kesekian kalinya. Menjatuhkan dirinya diatas kursi dengan kasar. Mengurut keningnya. Rasanya ingin memecahkan kepala memikirkan semua ini. Bagaiman bisa? Ya Tuhan! Bagaimana bisa gadis kecil yang selama ini dikenalnya adalah keponakannya sendiri. Terlebih hasil dari adiknya dan wanita yang Ia sukai. Yang sudah memiliki sebagian hatinya. Wanita yang selalu memikatnya. Jujur saja, selama ini Ia hanya menganggap Jessica sebagai adiknya. Tidak lebih. Tapi sepertinya wanita itu benar-benar telah jatuh hati padanya. Ia tidak tahu harus bagaimana sekarang. Awalnya Ia kira Jessica pasti tidak tertarik dengannya. Mungkin hanya formalitas menghormati orang tua mereka dengan bersikap baik satu sama lain. Ia kira rencana pertunangannya akan digagalkan. Tau-taunya malah seperti ini. Alvin mengusap wajahnya. Memasang pose frustasi. Astaga! Masalah Kasia juga. Entah sampai kapan Aldo dan Selena akan menyembunyikan hal ini dari orang tuanya dan ibu Selena. Ingin rasanya menelfon sang ibunda di kota sebrang. Mengatakan yang sesungguhnya. Mencari jalan keluar dengan semua ini. Tapi tidak bisa. Ia tidak tahu apa yang mengganjalnya. Ah, biarlah dua orang itu menyelesaikannya. Biar mereka yang memutuskan harus bagaimana. Ia sudah lelah dengan kebohongan yang mereka ciptakan sedemikian rupa.
PIIIPP PIIIPPP PIIIIPPPP
Alvin mengecheck pager miliknya. Tersentak beberapa saat kemudian. Pasiennya sekarat. Bangkit dari duduknya. Berlari dengan cepat. Tidak ingin kalah degan waktu. Ia tidak bisa membiarkan masalahnya ini mengganggunya. Ada seseorang yang lebih membutuhkannya saat ini. Biarlah masalah yang lain Ia kesampingkan. Tidak lucu bukan ada satu nyawa yang melayang akibat masalah konyol keluarganya?
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Hai Len! Aku boleh masuk?" Selena mengalihkan pandangannya. Menatap Jessicayang menjulurkan kepalanya di pintu. Wanita itu tersenyum kemudian mengangguk. Menaruh asal tumpukan kertas yang sudah lelah Ia baca. Jessica mendudukan dirinya di sofa. Selena mengikutinya. Menempatkan diri tepat disamping sahabatnya itu. "Kenapa Jess?" wanita itu menggeleng. Merapatkan tubuh ke arah Selena. Bersandar layaknya beruang kecil dalam dekapan sahabatnya itu. Selena mengerutkan kening. Ada apa? Tumben sekali Jessica merajuk seperti ini. "Jess... kamu nggak apa-apa?" Selena bisa merasakan sahabatnya itu mengangguk dalam dekapannya. "Trus kamu kenapa gini?"
"..."
"Ada masalah?"
"..."
"Jess..."
"..."
"Jess, serius deh kamu kenapa? Cerita sama aku."
"Kamu udah cukup banyak masalah Len. Pasti banyak yang kamu pikirin sekarang. Tentang Kasia terutama. Aku gak mau ngeberatin masalah kamu." Selena menghela nafas. Menatap sahabatnya itu. "Jess, kamu itu sahabat ku. Apapun yang mengganjal di pikiran kamu, kamu bisa ceritain ke aku. Ngerti?" Jessica mengangguk. Menegakkan duduknya. Mengambil nafas dalam-dalam.
"Ini tentang Alvin." Selena masih mengangguk masih setia mendengarkan. "Tadi aku barusan nyamperin dia ke rumah sakit. Nemuin dia sekaligus nganterin makanan. Tapi sikapnya aneh Len. Dia nggak biasanya ketus sama aku. Biasanya aku nemenin dia sampai dia selesai makan. Tapi tadi Len, dia ngusir aku. Mesipun gak secara kasar. Dia bilang dia ada jadwal operasi. Tapi setelah aku liat schedule-nya dia nggak ada operasi hari ini."
"..."
"Tadi pagi juga, dia sama sekali nggak pamit sama aku mau berangkat. Dia pergi gitu aja."
"..."
"Aku takut hati dia bukan milikku Len." Selena berdehem. Membersihkan tenggorokkannya yang tiba-tiba terasa kering. "Dari awal aku ngerasa kalau dia mungkin suka sama wanita lain. Tapi aku menyangkal semua pikiran-pikiran itu. Aku ini calon tunangannya, tapi dia memperlakukan aku layaknya adiknya." Selena membenarkan duduknya. Astaga! Harus bagaimana dia sekarang? Sungguh Ia tidak mau menyakiti hati sahabatnya ini. Bagaimana kalau Jessica tau tentang pernyataan Alvin tadi malam? Mungkin Ia akan membenci dirinya selamanya. Alvin memang lelaki yang baik. Tapi sungguh, Selena hanya menganggapnya sebagai seorang kakak. Tidak lebih.
"Ehm... mungkin dia masih shock tentang Kasia. Kamu ngerti lah Jess. Pasti berat untuk dia tahu kalau Kasia itu adalah keponakannya."
"Mungkin... tapi entahlah Len, aku ngerasa kalau dia–"
"Jess, Alvin pasti akan jadi milik kamu. Aku yakin itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
This Is Our Story
Teen FictionSelena adalah seorang gadis remaja biasa. Cantik, pintar, dan sedikit lugu. Dirinya bukan gadis yang berasal dari keluarga kaya. Suatu ketika dia mendapati kenyataan bahwa dirinya mengandung anak dari musuhnya sendiri. bagaimanakah Selena harus meng...