Selena menghela nafas lelah. Menjatuhkan tubuhnya ke dalam kursi kerjanya. Mengurut keningnya. Kepalanya sakit sekarang. Entahlah. Masalah tentang Kasia belum selesai juga sekarang. Malah semakin buruk. Meskpiun tadi pagi putrinya itu memeluknya, Ia yakin Kasia sangat kecewa dengannya sekarang. Pasti marah dengannya. Ia yakin itu. Belum lagi tentang Alvin yang sudah mengetahuinya sekarang. Entah bagaimana nanti bila keluarga Bramawijaya tahu. Lalu dengan ibu dan kakak perempuannya. Ia tidak tahu lagi bagaimana cara mengatakannya. Sekretarisnya masuk. Memberi salam kemudian melaporkan beberapa hal tentang pekerjaan. Selena hanya mengangguk-ngangguk saja. Jujur saja apapun yang dikatakan oleh wanita muda itu sama sekali tidak Ia dengarkan. Di tambah lagi sekarang ada setumpu file yang sangat setia sekali menunggu untuk Selena baca. Ia memejamkan mata. Rasanya Ia ingin memenggal kepalanya sekarang juga.
TOK TOK
Pintu perlahan terbuka. Selena masih memejamkan matanya. Tidak berniat untuk membukanya. Ia tidak peduli siapapun itu sekarang. Mau bosnya datang sekalipun Ia tidak peduli. Sungguh. “Hai Lena!” Selena menghela nafas. Lagi-lagi pria ini. Bukannya apa-apa hanya saja saat ini dirinya tidak berniat untuk berbicara dengan siapapun. Selena bisa merasakan pria itu mengambil tempat duduk di depannya. Tepat dihadapan meja kerjanya. “Len... aku hari ini mau ke Jakarta katanya Direktur utama mau ketemu sama aku. Kamu ikut?”
“...”
“Katanya dia mau membicarakan beberapa hal penting sama aku. Jujur aja aku nervous gimana harus presentasinya nanti. Dia orangnya baik nggak Len? Aku denger-denger katanya dia tegas gitu ya?”
“...”
“Len? Kamu nggak apa-apa?”
“...”
“Lena, kamu sakit? Kok daritadi diem aja?” Pria itu mengulurkan tangannya ke kening wanita itu. Selena menepisnya dengan kasar. Daniel agak terkejut sebenarnya. Ada apa dengan wanita ini? Kemarin Ia rasa hubungan mereka sudah baik-baik saja. Sudah jauh lebih dekat malah. Tapi kenapa sekarang Selena begini? Kembali menjadi Selena yang pertama kali Ia temui dengan wajah dingin. Memang pertemuan pertama mereka memang berkesan kurang baik. Ia yang datang terlambat dan di saat rapat pun Selena harus menjelaskan beberapa kali agar Ia mengerti maksudnya. Jujur saja Daniel memang tidak memiliki basic bisnis sama sekali. Passion yang Ia miliki hanyalah untuk bermusik. Memainkan tuts-tuts piano sehingga mengeluarkan nada yang sangat merdu. Dulu Ia adalah seorang pianis. Akibat kecelakaan mobil yang Ia alami 2 tahun lalu, tangan kanannya patah. Harus dioperasi 3 kali. Belum sembuh total sekarang. Dokter memperkirakan kemungkinan tangannya untuk kembali normal seperti dahulu hanya 40%. Kecelakaan yang Ia alami cukup parah. Ia sempat koma selama 3 hari. Saat mengetahui tangannya tidak akan bisa kembali seperti dulu tentu saja Ia sangat depresi. Rasanya seperti kehilangan setengah nyawa. Hanya satu yang dapat membuatnya bangkit melanjutkan hidup. Putra kecilnya. Sekarang masih berumur 9 tahun. Kalau Ia tidak bangkit seperti dulu bagaimana Ia bisa mengurus putranya itu. Hal itu lah yang menjadi semangatnya melanjutkan hidup. Menerima tawaran sang ayah untuk mengiris satu-satunya perusahaan keluarga. Arfan, putranya hanyalah satu-satunya penyemangat dalam hidupnya. Kalau bukan karena Ia, Daniel tidak akan mau bekerja untuk perusahaan ayahnya. Jujur saja Ia tidak suka bekerja dengan orang tuanya. Ujung-ujungnya pasti dianggap tidak kompeten oleh pegawai lain. Masuk perusahaan karena koneksi dengan sang Direktur Utama. Sejak awal masuk SMA Ia adalah seorang anak yang mandiri. Tidak pernah mau bergantung dan memakai harta keluarga. Ia menjadi guru di sekolah musik sejak Ia masih kuliah. Sampai akhirnya bertemu dengan seorang wanita yang Ia idamkan. Ibunda dari Arfan. Mereka menikah saat berusia 19 tahun. Kemudian istrinya itu meninggalkannya. Meninggalkan putra mereka. Ia juga tidak tahu apa alasannya. Yang pasti suatu malam Ia menerima pesan dari istrinya itu untuk tidak menghubunginya lagi. Sakit? Tentu saja. Ia sudah percaya dengan wanita itu untuk menjadi pedamping hidupnya. Tapi ujung-ujungnya malah ditinggalkan. Ia rela meninggalkan rumah orang tuanya demi wanita itu. Rela dikejar-kejar bak maling oleh sang ayah hanya demi bersama gadis itu. Ternyata hanya menginginkan uangnya saja. Ketika Ia sudah tidak punya apa-apa malah ditinggalkan.
“Maaf Dan, aku nggak maksud. Hanya saja aku lagi banyak pikiran.” Pria itu tersenyum. “It’s okay... nggak apa-apa kok. Jadi sepertinya hari ini aku harus ke Jakarta sendiri kan?” Selena mengangguk. “Maaf ya... tenang aja Bosku itu orangnya baik kok. Dia nggak makan orang.”
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Gadis itu duduk diam di tepi kolam rumah besar itu. Beberapa kali Kasia menghela nafasnya. Ia sudah sampai di rumah ‘Om Aldo’nya sekarang. Kembali menempati rumah ini lagi. Ada yang aneh rasanya. Kalau dipikir-pikir ini berarti rumah kakek dan neneknya kan? Kasia bertemu dengan Nyonya rumah itu tadi. Menyambutnya dengan ramah. Memeluknya. Ia tidak berkata apa-apa. Ia tau pasti hal ini akan mengejutkan mereka nanti. Pasti reaksinya akan sama seperti dirinya nanti. Maka dari itu Ia berjanji pada hatinya untuk diam. Sampai kedua orangtuanya mau berterus terang. Ia mengerti. Hal ini adalah sesuatu yang sangat besar. Sangat mengejutkan. Ia sudah cukup lelah dengan semua ini. Ia tidak marah pada Ibunya. Juga pada om Aldo-nya atau ayahnya. Kesal mungkin? Entahlah. Ia mengerti bagaimana posisi kedua orangtuanya. Pasti sangat aneh bagi mereka. Ia tidak mau dengar bagaimana sejarah mereka dulu. Ia tidak mau tahu. Yang Ia tahu sekarang Ia memiliki ayah. Sudah pasti. Tapi bisakah Ia memiliki keluarga yang benar-benar Ia idamkan? Dengan ibu ayah dan dirinya? Bisakah?
“Kasia...” Aldo duduk tepat di samping gadis itu. Merangkulnya dengan hangat. Kasia tidak menolaknya. Ia melihat Aldo memberikan senyum ke arahnya. “Sayang, semua perlu waktu. Kamu tahu itu kan?” Kasia menatap pria itu. Seolah Aldo tahu apa yang Ia pikirkan. Ah, mungkin karena Aldo ayahnya jadi bisa membaca pikirannya? Konyol. “Suatu saat nanti, kamu akan mendapatkan apa yang kamu inginkan sayang. Semua membutuhkan waktu dan proses. Kamu harus sabar. Oke?” Kasia mengangguk. “Mama kamu dan... Papa butuh waktu. Kami nggak bermaksud menyembunyikannya dari kamu dan semuanya tentang ini. Kami hanya perlu waktu.” Aldo menelan salivanya susah payah. Baru saja Ia menyebut dirinya... Papa dihadapan Kasia. Astaga! Pria itu menghembuskan nafas. Aldo mengelus pelan kepala gadisnya itu sayang. Kasia menyandarkan kepalanya ke bahu sang ayah. Merasakan hangatnya tubuh sang ayah. Tubuh yang sangat Ia idamkan. Mendengar pria itu menyebutnya dirinya sendiri dengan panggilan itu entah kenapa membuat hatinya senang. Benar! Ia punya ayah sekarang. Hatinya menghangat. Menenggelamkan diri lebih dalam ke dalam pelukan sang ayah.
Kasia meneggakkan kepalanya. Ada yang bergetar di saku Jas Aldo. Aldo tersenyum pada putrinya itu. Melihat siapa penelpon yang menghancurkan momen indahnya bersama sang putri. “Halo ada apa Pa?”
“....”
“Sekarang?”
“...”
“Sekitar setengah jam lagi aku sampai.” Aldo melihat ke arah putrinya. “Kasia Pa.. Pa.. Papa harus pergi dulu ya. Ada kerjaan. Kasia di rumah nggak apa-apa kan? Nanti Nenek Bram sama Nenek Ratih juga pulang. Kamu nggak apa-apa kan tinggal sendiri? Nanti mau apa-apa minta saja sama bibi. Oke?” Gadis kecil itu mengangguk tersenyum. Aldo mengelus pelan rambut Kasia. Mencium pucuk kepala putrinya itu. Beranjak kemudian. Entahlah, Ia sangat bahagia sekarang. Baru berjalan beberapa langkah. Gadis itu berdiri menhana tangannya. “Hati hati ya... Pa.” Hati Aldo menghangat. Tersenyum dengan lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
This Is Our Story
Teen FictionSelena adalah seorang gadis remaja biasa. Cantik, pintar, dan sedikit lugu. Dirinya bukan gadis yang berasal dari keluarga kaya. Suatu ketika dia mendapati kenyataan bahwa dirinya mengandung anak dari musuhnya sendiri. bagaimanakah Selena harus meng...