CHAPTER 9

19.9K 734 4
                                    

“Saya di pindahkan ke Rumah Sakit pemerintah di Jogja Dok? Apa saya punya salah?” Alvin bertanya dengan nada terkejut. Memangnya kenapa dia dipindahkan? Ada yang salahkah dengan pekerjaannya? Pria dengan status dokter kepala itu menggeleng menjawab pertanyaan juniornya. “Gak ada yang salah. Hanya untuk menambah pengalaman kamu saja. Lagi pula disana kekurangan dokter berpengalaman. Hanya ada KOAS. Sementara pasien menumpuk.” Alvin mengangguk mengerti. “Jadi bagaimana? Kamu mau kan?” Alvin mengangguk sekali. Kemudian tersenyum “Kapan saya berangkat Dok?” Dokter Kepala itu berpikir sebentar. “Lusa bisa? Soalnya saya harus ngurus SP kamu dulu.” Alvin tersenyum “Baik Dok.”

            Alvin berjalan keluar dari ruangan atasannya dengan wajah lesu. Bukan karena Ia tidak mau dipindahkan. Ia sih mau-mau saja. Toh menambah pengalaman. Yang Ia pikirkan adalah kondisi Ibu Ratih. Siapa yang nanti akan merawatnya? Akhir-akhir ini kondisinya terus drop. Memang banyak dokter spesialis jantung lainnya. Teman-temannya juga bisa Ia minta tolong untuk merawatnya selama dirinya pergi. Tapi tetap saja Ia khawatir.

            Handphone-nya berdering tepat ketika Ia akan menyalakan mobil. Ibunya yang menelfon ternyata.

            “Kenapa Ma?” Ia diam sebentar. Mendengarkan penjelasan ibunya. “Kok bisa drop lagi? obatnya gak diminum?” wajahnya berubah khawatir sekarang. “Yaudah aku pulang sekarang.”

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

            “Maaf Pak Aldo, saya bisa izin pulang? Ibu saya drop lagi.” Adinda bertanya takut-takut pada atasannya. Yah, meskipun dia lebih tua dari Aldo, tapi disini Aldo adalah atasannya. Statusnya hanya sebagai sekretaris. Aldo mengalihkan pandangannya dari dokumen yang tadi Ia baca ke arah Adinda.

            “Tante Ratih drop lagi Mba?” wajahnya agak khawatir. Bagaimananpun juga Ibu Ratih begini karena Selena kabur. Dan penyebab Selena kabur adalah dirinya. jadi secara tidak langsung ini kesalahannya. Lagi pula, saat Ia masih kecil dulu Ibu Ratih yang mengasuh dirinya dan sang kakak. Mengingat Ibu Ratih sudah berkerja dengan ibunya sejak Ia belum lahir. Makanya Ia sudah anggap Ibu Ratih sebagai Ibu kedua.

            Adinda mengangguk menjawab pertanyaan Aldo. “Yaudah, Mba boleh pulang. Semoga Tante ratih cepet pulih ya. Maaf aku gak bisa jenguk.” Adinda mengangkat wajahnya menatap Aldo. “Gak papa Pak. Saya permisi dulu.” Saat hendak berbalik, Adinda mendengar Aldo memanggilnya. “Mba Dinda, gak usah manggil Pak. Aku kan lebih muda.” Adinda terseyum “Tapi kamu kan atasan aku.”

            Aldo menghela nafas malas “ya ampun, itu aja di permasalahin. Yaudah pokonya kalau ada orang lain Mba manggil aku pake Pak, tapi kalau gak ada orang kayak sekarang ini panggil aku Aldo aja. Oke?” Adinda tersenyum manis lagi “Terserah kamu deh.”

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

            “Ratih, kamu kenapa gak diminum obatnya?” Ibu Ratna bertanya sambil mengompres dahi sahabatnya itu. Ibu Ratih hanya tersenyum lemah. “Aku gak apa-apa Ratna. Maaf ya aku jadi jarang masuk kerja.”

            “Masih mikirin kerja lagi. udah kamu gak usah kerja. Toh Adinda sekarang udah punya kerjaan tetap kan? Mendingan kamu mikirin diri kamu sendiri. Katanya mau nyari Lena, kalau kamu drop terus kamu gak akan kuat.” Ibu Ratih tersenyum miris.

            “Lena sekarang lagi apa? apa dia udah makan? Dia masih hidup kan? Di baik-baik aja kan?” air matanya mulai mengalir. Ibu Ratna memeluk sahabatnya. “Dia pasti baik-baik aja. Aku yakin kita pasti bisa nemuin dia.” Ibu Ratna semakin mengeratkan pelukannya. Memberikan kekuatan dan keyakinan pada sahabatnya yang rapuh.

CKLEK

            Alvin datang dengan wajah khawatir. Dibelakangnya mengikuti Adinda. Mereka datang bersamaan. Menuju kamar Ibu Ratih. Adinda langsung mengambil tempat di samping ibunya. Menggantika posisi ibu Ratna. Wajahnya tampak sangat cemas. Alvin langsung mengambil peralatan dokter-nya. Memeriksa detak jantung Ibu Ratih. Untung tidak terlalu drop. Ia menghela nafas lega. Berkata pada Ibu Ratih agar menjaga kondisi. Yang dijawab dengan anggukan lemah. Ia melihat ke arah ibunya. Isyarat untuk bicara berdua. Mereka keluar. Meninggalkan Ibu Ratih dengan Adinda.

            “Kenapa Vin?”

            “Aku di pindah tugaskan di Jogja Ma.” Ibu Ratna sedikit terkejut.

            “Memangnya kenapa? Kamu buat salah apa?” Alvin menggeleng. “Bukan Ma. Mereka bilang disana kekurangan Dokter.” Ibu Ratna mengangguk mengerti. Kemudian meyadari sesuatu

            “Kalau kamu pindah, yang ngerawat Ratih siapa?” Alvin menghela nafas.

            “Itu yang jadi masalah. Aku tadi udah sempet minta temenku untuk ngerawat dia. Tapi aku–“

            “tetep khawatir? Takut temen-mu itu gak bisa jaga Ratih?” potong Ibu Ratna cepat. Alvin mengangguk. Ibu Ratna mengusap lengan anaknya. “Tenang aja. Mama yang bakal jagain dia 24 jam. Nanti mama bilang sama Adinda agar mau pindah ke rumah kita.”

            “Kalau gak mau?” Alvin menatap gusar.

            “Harus mau.” Ibunya memberi senyum yakin.

---------------------------------------------------------------------------------------------------------

            “Len, gak kerja? Tumben ke sini pagi-pagi.” Selena menjatuhkan tubuhnya ke sofa ruang tamu Jessica. menghela nafas lelah kemudian. Jessica datang membawa minum. “Nih.”

            Selena hanya tersenyum, kemudian meneguknya setengah “Makasih.” Dia meanrik nafas sebentar. “Hari ini aku cuti, ngambil cuti lebih tepatnya. Kasia lagi rewel. Katanya dia mau setiap dia pulang sekolah aku ada di rumah. yaudahlah, sekali ini aku turutin. Pekerjaan juga gak banyak-banyak banget.” Jessica menggelengkan kepala. “Tumben banget Kasia manja. Dia kenapa?”

            Selena menghela nafas lagi. memasang wajah frustasi. Jessica mengerutkan kening. Kemudian mengenggam tangan Selena. “Kenapa Len? Cerita aja. Kamu berantem sama dia?” Selena menatap Jessica. “Dia pengen punya ayah.” Jessica membelalakkan matanya. “Katanya, Ia lihat temen-temennya di jemput orang tua mereka. trus pada cerita liburan bareng sama kedua orang tua. Dia pengen kayak gitu. Katanya aku Cuma sibuk ngurusin kerjaan. Setiap hari pulang sekolah dia Cuma ditemenin sama PSP-nya. Dia pengen aku selalu ada di rumah, dan ayahnya yang kerja untuk kita.” Selena berhenti sebentar. Menahan tangis “aku harus gimana?”

            Jessica ikut-ikutan menghela nafas. “Kamu kasih pengertian ke dia. Bilang ayahnya sudah meninggal. Meskipun kenyataannya–“

            “Aku udah jelasin ke dia. Cerita karangan tentang ayahnya itu. tapi tetep dia gak mau ngerti. Aku pusing mesti gimana lagi?” Jessica memeluk Selena. Memberi ketenangan.

            “Nanti juga dia biasa lagi. Anak kecil mood-nya cepet berubah kok.” Selena mengangguk lemah.

This Is Our StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang