Part 11

303 7 0
                                    

Langit sore ini mendung, angin sejuk mulai berhembus, tak lama kemudian hujan pun turun. Daun pepohonan meliuk-liuk terkena tetesan air hujan. Senja yang kutunggu sejak tadi tak akan muncul. Kuharap datangnya pelangin nanti, mampu menggantikan rinduku pada senja.

Aku berdiri dekat jendela dikamar, menikmati hujan. Mencoba mengingat mimpi yang akhir-akhir ini menggangguku. Ketika bangun, aku seperti lupa apa dan siapa yang ada dimimpiku. Ya, itu memang hukum mimpi. Semakin kita mengingat, justru semakin tak ingat apapun.

Penasaran apa maksud dari mimpi itu. Terasa seperti potongan-potongan kenangan masa lalu. Karena semua terasa nyata, walau wajahnya tak begitu jelas. Tapi suara itu, suara yang terdengar jelas dan familiar. Aku merasakan suara itu nyata, bukan dimimpi, tapi akhir-akhir ini.

Yang terbersit pertama kali ketika mengingat suara itu adalah Dirga. Suaranya mirip, bahkan terdengar sama dengan suara anak laki-laki dimimpi itu. Ditambah perubahan sikapnya yang drastis, kebaikan dan perhatiannya seperti ada sesuatu yang terjadi. Kuputuskan untuk menanyakan ini pada kak Nico.

Tok tok tok! Cklek.
Aku masuk kekamar kak Nico, ia sedang mengutak-ngatik laptop. Dia menoleh menyadari kedatanganku. Lalu menepuk tempat disampingnya, memberi kode untuk aku duduk disana.

"Asha ganggu gak kak?" Memiringkan wajah, untuk melihat wajahnya yang menatap layar laptop.

"Gak kok dek, kakak cuman ngecek beberapa berkas. Ada apa?" Ia menutup laptop didepannya, dan meletakkan dimeja.

"Kakak deket sama Dirga kan? Asha boleh nanya sesuatu?" Suaraku terdengar ragu. Bingung harus memulai dari mana.

"Boleh dong, kayak sama siapa aja kamu ini." Dicubitnya pipiku gemas. Aku meringis.

"Kenapa sikap Dirga jadi aneh ya kak? Pertama kali ketemu dia gak kayak sekerang, dia acuh dan dingin banget."

"Pertama kali ketemu? Kapan? Sepetinya ada yang belum kamu ceritakan soal Dirga ke kakak, Dek." Kak Nico justru kebingungan mendengar pertanyaanku.

Ah benar! Aku kan belum cerita sama kak Nico. Pantes dia bigung.

Akhirnya aku ceritakan awal kita bertemu, dan kebetulan-kebetulan selanjutnya. Sampai terakhir sejak dirumah sakit, sikapnya berubah.

"Woy kak, kok bengong sih!" Kulambaikan tangan didepan wajahnya. Kak Nico terdiam lama setelah aku selesai bercerita.

Jadi sebelumnya mereka pernah ketemu? Apa mungkin sikap Dirga berubah karena tahu Asha sakit.
Sepertinya mereka memang ditakdirkan untuk bersama. Batin Nico.

"E-eh ke-kenapa?" Dia tergagap.

"Kak dengerin Asha gak sih, huft!"

"Iya dek, kakak nyimak kok."

"Kira-kira dia kenapa ya kak?"

"Tanya sendiri ke orangnya gih!"

"Malu lah kak, dikira Asha ge-er."

"Nah ini aja udah ge-er. Ciee."

"Apaan sih kak, tuh kan malah ngeledek. Nyebelin!" Kulempar bantal disampingku. Kak Nico tertawa.

Nihil. Tidak dapat info apapun dari kak Nico. Yang ada dia menggodaku terus. Apa aku tanya langsung ya?

***

Beberapa hari dirumah sangat membosankan. Sekarang aku diperpus kampus dengan Mia. Menyelesaikan tugas makalah, yang sempat tertunda karena sakit.

"Hai."

"Dirga, lo ngapain disini?" Tanyaku kaget, tiba-tiba dia udah duduk didepanku.

Ia mengangkat buku yang dibawanya. "Hai Mia." Sapanya ramah.

"O-oh halo Dirga."

"Kok udah ngampus aja, udah sembuh?" Ia manatapku intens.

"Lo bisa lihat gue sesehat ini." Kuangkat kedua tanganku sejajar dengan bahu kanan-kiri.

"Syukurlah" ia tersenyum.

"Sha, Ga, gue duluan ya. Mama nelfon, suruh cepet pulang." Mia pamit setelah menerima telpon.

"Gue ditinggal?" Tanyaku.

"Sorry Sha, gue lupa disuruh nganter mama. Ga, gue nitip Asha ya. Anterin pulang lho!" Ia menatapku dan Dirga bergantian.

"Beres." Dirga mengacungkan jempol.

"Tapi Mi.." Belum selesai aku berbicara, ia berlari setelah mencium pipiku kilat.

Aku kembali berkumul dengan tugasku yang menumpuk. Sampai melewatkan makan siang. Dirga asik membaca buku, setelah ia menawarkan bantuan tapi aku tolak.

Kkrrrruukkkk. Astaga perut gue!

Dirga mengangkat wajahnya, menatapku. Aku menunduk pura-pura sibuk dengan makalahku. Sialnya perutku berbunyi lagi, dan lebih keras. Aduh malu banget gue!

"Belum makan?" Tanyanya setelah mendengar bunyi perutku yang ketiga kalinya.

"Hehe belum, tugas gue belum kelar" jawabku malu-malu.

"Seenggaknya kamu makan dulu,baru dilanjut lagi."

"Tanggung nih, bentar lagi."

Hari mulai petang, Dirga mengantarku pulang setelah menemaniku makan. Jalanan sangat macet, dan hujan mulai turun. Aku melihat keluar jendela, asik dengan pikiranku sendiri. Terbersit pikiran untuk menanyakan perubahan sikap Dirga.

Tanya gak ya? Kalau tersinggung gimana? Tapi gue penasaran banget.

"Dirga.." Lirihku.

"Ya?" Dia menoleh.

"Gue mau nanya sesuatu, tapi lo jangan marah ya?" Aku menggeser posisi, agar bisa melihatnya.

"Oke, nanya apa?" Dia masih menatapku, bahkan lebih dalam. Jalanan belum juga bergerak, jadi kita bisa berbicara saling menatap.

"Hmm itu.. Lo kok beda ya hehe, atau perasaan gue aja?"

"Beda gimana maksudnya? Kamu udah inget aku, Sha?" Dirga sedikit kaget.

"Waktu pertama kali ketemu dan seterusnya lo sedikit dingin, tapi abis gue masuk rumah sakit lo jadi lembut dan perhatian banget. Hehe sorry kalau gue nanya gini" aku tersenyum meringis, takut akan reaksinya.

"Masak sih? Perasaan kamu aja kali, aku aslinya gini kok."

"Eh iya ya? Tunggu, tadi lo bilang gue udah inget lo. Maksudnya?"

"Ng.. Gak, dulu kan kita tetangga. Aku pikir kamu inget."

"Yakin cuman itu?"

"Iya"

Benarkah cuma itu? Aku rasa ada sesuatu.

I Can Hear Your VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang