Sejenak kurasakan dunia seakan berhenti berputar. Air mata tak sanggup menggambarkan perasaan sedih ini. Disudut ruangan aku duduk dengan memeluk lutut, atmosfir dingin merasuk dalam tubuhku. Ku terdiam dengan wajah sayu dan tatapan kosong. Mungkin keadaanku sekarang persis seperti zombie.
Mengigat semua kejadian yang telah terjadi, dadaku terasa sesak seakan hampir meledak. Tubuhku menggigil, bergetar menahan tangis. Membenamkan wajah diantara kedua lutut, memeluk diri sendiri semakin erat. Kurasakan tangan kekar menyentuh pundakku lembut. Aku mendongak sebentar, kemudian kembali ke posisi semula.
"Dek makan yuk, kamu juga perlu istirahat." Ucap kak Nico lembut, ia mengusap puncak kepalaku. Aku menggeleng cepat.
"Dari kemarin kamu gak makan, mau sampai kapan kamu seperti ini? Kamu bisa sakit." Tambah kak Nico.
"Ini semua salahku kak, semua salahku, semuanya.." Tangisku kembali pecah. Kak Nico memelukku erat.
"Ssshh bukan, ini udah takdir. Jangan pernah menyalahkan dan menghukum diri sendiri seperti ini. Kamu harus tegar, untuk menguatkan dia juga. Dengan kamu seperti ini gak akan merubah semuanya. Hidup masih harus berjalan, ingat juga ada orang-orang yang harus kamu bahagiakan. Kakak yakin kamu bisa melewati semuanya, Asha yang kakak kenal selalu kuat dan gak gampang nyerah seperti sekarang. Kakak percaya sama kamu, Dek." Kupeluk kak Nico lebih erat lagi. Kak Nico benar, seharusnya ia tidak lemah seperti sekarang.
"Makasih kak." Aku mendongak, ia tersenyum tanpa melepaskan pelukan.
Setelah selesai mandi, aku mematut diri di cermin. Wajah pucat, wajah sayu, mata sembab, benar-benar terlihat seperti zombie. Ku pandangi diri lama, dan berbicara pada pantulan cermin. Seakan menguatkan diri sendiri.
Kamu harus tegar, Sha. Kamu kuat!
Kamu bisa melewati semuanya, harus dan pasti bisa!Kupercepat langkah ketika sampai dilorong rumah sakit, sudah hafal benar harus menuju ruang mana. Aku berdiri di depan pintu, memegang gagang pintu tapi tak membukanya. Ada sedikit perasaan ragu, bercampur sedih yang luar biasa. Helaan nafas panjang berulang kali aku lakukan.
Kubuka perlahan pintu tersebut. Seseorang tak sadarkan diri dengan tubuh penuh luka, dadanya dipenuhi dengan selang yang terhubung ke sebuah monitor. Wajahnya terlihat sangat pucat, dengan luka memar dimana-mana. Matanya terpejam entah sudah berapa lama, ia terlihat begitu lemah. Suasana hening, hanya suara monitor yang menggema keseluruh ruangan.
Aku duduk di samping ranjang, ku pandangi ia lama. Meraba perlahan tangannya, terasa dingin tak sehangat biasanya. Ku genggam erat, tak sadar air mataku mulai turun. Sedikit mendekat untuk mengelus pipinya, dan membisikkan sesuatu.
"Hai aku datang lagi, kamu gak mau nyapa aku? Tidur lama banget, kamu gak bosen? Temenin aku ngobrol, aku gak suka bicara sendiri seperti ini." Air mata kembali mengalir, suaraku berubah parau.
"Aku janji gak nangis lagi, asalkan kamu bangun ya? Oh iya aku punya sesuatu buat kamu." Kuletakkan sebuah permainan rubik di tangannya.
"Kamu koleksi ini kan, jadi aku bawakan satu. Dulu kita suka main rubik, tapi aku selalu kesal karena gak bisa nyelesein dengan sempurna, sedangkan kamu selalu berhasil dengan cepat. Aku juga inget kamu pernah bilang, saat kamu sedih atau ada masalah kamu selalu main rubik sampai berhasil. Seenggaknya satu masalah terpecahkan, walaupun itu bukan masalah sebenarnya. Kamu inget kan?" Aku tersenyum getir, kemudian menghela napas panjang.
"Aku bosan melihat senja dan sunset sendirian, kamu janji mau nemenin aku terus kan. Kamu bangun dong! Seneng ya ngeliat aku bicara sendiri kayak orang gila? Udahan bercandanya kek. Aku nangis loh!"
Hening. Panjang lebar aku berbicara, namun tak ada satu pun jawaban. Kuhapus air mata yang hampir mengering, menghela napas panjang sekali lagi. Kupejamkan mata, kembali mengingat kejadian itu.
DOR!
Satu tembakan tepat mengenai bahu kiri Davin. Aku tersentak kaget, aku pikir Davin benar-benar menembak Dirga. Ternyata tembakan itu berasal dari seorang polisi yang datang bersama kak Nico. Tak lama kemudian beberapa polisi datang untuk meringkus dua penjahat suruhan Davin. Syukurlah mereka datang tepat waktu.
"Asha! Kamu gak papa?" Kak Nico memelukku. Aku menggeleng cepat.
"Dirga kak.. Dirga terluka parah."
Secepat mungkin kami membawa Dirga kerumah sakit, ia terlalu banyak kehilangan darah. Bahkan ia tak sadarkan diri sejak tadi, dengan wajah sangat pucat. Aku menangis meraung melihat keadaan Dirga, takut sesuatu buruk terjadi padanya.
"Asha.." Panggilan tante Mirna membuyarkan lamunanku.
"E-eh tante." Kucium tangannya kemudian ia memelukku erat.
"Udah lama? Kamu sendirian sayang?" Tanya lembut, melepas pelukanku.
"Lumayan tante, iya Asha sendiri. Hmm tante.." Panggilku ragu.
"Iya sayang?" Ia mengamatiku.
"Ma-maaf, maafin Asha tante. Gara-gara Asha, Dirga jadi seperti ini." Ucapku tulus, mataku mulai berkaca-kaca.
"Gak perlu minta maaf sayang, ini bukan salah kamu. Jangan berpikiran seperti itu." Tante Mirna tersenyum sambil menggenggam tanganku lembut.
"Tante, Asha boleh nanya sesuatu?"
"Tentu sayang, apapun."
"Sebelumnya Dirga apa punya penyakit lain tante?" Tanyaku hati-hati, enggan membuatnya sedih.
Tante Mirna terlihat sedih, ia diam cukup lama. Menatap pojok ruangan dengan tatapan menerawang, seakan mengingat sesuatu. Kemudian menghela napas panjang.
"Sebenarnya tante takut bicara soal ini, dari dulu Dirga selalu melarang tante, terlebih cerita sama kamu. Tapi tante rasa ini saatnya kamu tahu semuanya, sebelum terjadi penyesalan nantinya. Kamu inget kan kalian dulu pernah kecelakaan? Sejak saat itu kalian sama-sama menderita, kamu dengan kerusakan hati dan harus menjalani transplantasi hati. Sedangkan Dirga, ia menderita lemah jantung." Tante Mirna diam sejenak, aku menunggu.
"Sejak saat itu dia jadi sangat lemah, tidak boleh melakukan aktivitas berat. Bahkan untuk sekedar berlari ia dilarang. Sekian lama ia harus menjalani rawat jalan, check up, bahkan obat-obatan yang jumlahnya tidak terhitung lagi. Terlebih ia sangat terpukul setelah tahu kamu juga sama menderitanya, ditambah saat itu kamu harus pindah ke Jakarta. Dirga menjadi penyendiri, pendiam, dan tertutup. Sekian lama ia selalu menunggu dan mencari kamu, Asha. Kemudian suatu waktu dia bertemu kakakmu, dan sejak saat itu ia memantau keadaan kamu lewat Nico. Setelah tahu kamu baik-baik aja, Dirga seperti menemukan semangat hidupnya. Ia jadi Dirga yang dulu, dia juga terlihat lebih bahagia. Tante bersyukur kalian dipertemukan kembali, juga sampai saat ini kalian baik-baik aja."
Bagai tersambar petir disiang bolong, mendengar cerita tante Mirna. Air mataku sejak tadi sudah mengalir deras, tenggorokan seperti tercekik rasanya. Ternyata Dirga selama ini sangat menderita, ia bahkan menutupi kalau dia sakit. Aku begitu bodoh karena tak tahu apa-apa, dan sangat terlambat mengetahui semua ini.
Aku menangis sejadi-jadinya dipelukan tante Mirna, ia sama terisaknya denganku. Aku merutuki diri sendiri karena tidak peka dengan keadaan Dirga, bahkan ketika aku dan dia sama-sama dirumah sakit, aku tak menanyakan apapun setelahnya. Selama ini aku begitu jahat, egois, dan tidak tahu diri. Sulit rasanya memaafkan diri sendiri, setelah tahu keadaan yang sebenarnya.
"Tante tahu benar gimana perasaan kamu sayang, pasti kamu hancur. Sama halnya dengan tante waktu itu. Tapi kita tidak boleh larut dalam kesedihan, dan jangan menyesali apapun. Toh semua ini bukan kehendak kita, takdir yang membuat semuanya seperti ini. Bersyukurlah karena diberi kesempatan kalian bisa bertemu lagi satu sama lain, walaupun dengan keadaan yang sedikit berat. Kamu ngerti kan sayang?" Tante Mirna mengelus lembut rambutku.
"Iya tante Asha paham, cuman Asha ngerasa begitu jahat sama Dirga. Maafin Asha tante." Aku kembali terisak.
"Sshh udah sayang, kita gak boleh begini. Sekarang kita doain buat kesembuhan Dirga aja, dia hanya butuh doa dan dukungan untuk sekarang ini. Tangisan kita gak akan merubah semuanya. Kita harus kuat demi Dirga."
Kudekati Dirga, mengamatinya sangat lama. Dalam hati berdoa untuk kesembuhannya, jujur aku terlalu takut mengahadapi semua ini. Takut jika hal buruk akan terjadi.
Dirga bangunlah, aku rindu tatapanmu, senyummu, suaramu, bahkan bau tubuhmu. Aku rindu kamu.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Can Hear Your Voice
Teen FictionNatasha Dimitri (22) Nicolas Dimitri (25) Dirgantara Wijaya (23)