Part 21

388 7 0
                                    

Langit sore yang cerah perlahan mulai gelap, berganti mendung berwarna pekat. Saat ini senja tak lagi aku tunggu, bahkan sunset seindah apapun tak lagi berharga. Untuk apa menikmati keduanya sendirian, tanpa teman, tanpa kawan, tanpa Dirga.

9 hari sudah sejak Dirga masuk rumah sakit, duniaku terasa sepi. Hari demi hari kujalani tanpa semangat, pagi siang malam terasa sama saja. Setiap hari aku dengan setia menemaninya, berbicara, bahkan melontarkan lelucon untuknya. Ia tetap tak bergeming, masih asik dengan tidur lelapnya. Aku duduk bersandar pada kepala ranjang tempat tidur, memeluk boneka tedy pemberian Dirga. Rinduku padanya tak berangsur berkurang, justru setiap detiknya makin bertambah.

Apa yang kamu pikirkan dalam tidurmu Dirga?

Ku benamkan wajah diantara kedua lututku, memejamkan mata sejenak. Mencari kekuatan dalam diri.

"Sayang kamu baik-baik aja kan?" Mama sudah duduk dipinggiran ranjang, mengelus rambutku. Aku mendongak.

"Baik, Ma. Cuman sedikit lelah." Mencoba tersenyum walau dipaksakan.

"Jangan terlalu larut dalam kesedihan, mama tau perasaan kamu saat ini. Dirga pasti akan sadar, mama yakin."

"Asha takut jika terjadi sesuatu yang buruk, Ma. Asha gak akan maafin diri Asha sendiri."

"Doain aja sayang, minta yang terbaik buat semuanya. Jangan berpikiran yang gak-gak, pikirkan yang baik-baik aja. Kamu gak kerumah sakit?"

"Iya, Ma. Asha selalu doain Dirga. Sebentar lagi, Ma. Kak Nico bilang mau nganter Asha."

"Yaudah kamu siap-siap ya sayang, mama kebawah dulu." Aku mengangguk. Kemudian mama keluar.

Drrtt.. drrtt.. Ponselku bergetar.

From : Nico
Dek sorry kakak ada meeting dadakan, kamu kerumah sakit sendiri gak papa kan?

To : Nico
Gak papa kak.

From : Nico
Nanti kakak nyusul.

To : Nico
Iya kak.

Dalam perjalanan kerumah sakit aku berhenti di sebuah toko kue, membeli red velvet kesukaan Dirga. Walau terkesan sia-sia tapi aku tetap membelinya. Feelingku mengatakan sebentar lagi Dirga akan bangun.

Sesampainya di rumah sakit aku melihat om Wijaya dan tante Mirna berbicara dengan dokter. Tapi ada yang aneh, tante Mirna seperti menangis. Aku buru-buru berlari menghampiri mereka.

"Dirga baru saja collapse, tekanan jantungnya juga sangat lemah. Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi semua tergantung rencara Tuhan. Kita sama-sama bedoa semoga keadaannya lekas stabil." Tutur dokter.

"Lakukan apapun untuk kesembuhan anak saya, Dok. Saya mohon.." Tante Mirna kembali terisak.

Aku mematung dengan jarak 2 meter dari mereka, sangat terkejut mendengar perkataan dokter barusan. Kantong plastik di tanganku terlepas begitu saja, red velvet itu jatuh dan hancur berantakan. Tenggorokan ku tercekat, air mata mengalir tanpa henti.

"Ashaa.." Tante Mirna menatapku menyadari kehadiranku. Aku masih terpaku.

"Anda Asha? Selama kritis, Dirga mengigau sesuatu, samar-samar terdengar seperti memanggil nama Asha. Saya rasa kehadiran anda akan sedikit membantu, secara fisik Dirga masih bisa mendengar walau tidak jelas, dan bisa merasakan kehadiran seseorang." Tutur dokter kepadaku.

Kutatap sosok laki-laki yang akhir-akhir ini mengisi pikiranku. Ia terlihat semakin kurus, tulang pipinya terlihat lebih menonjol, dan otot-otot tangannya tercetak jelas. Perlahan mendekat dan mengusap pipinya lembut.

"Dirga aku datang, kamu nyari aku? Dokter bilang tadi kamu ngigau manggil namaku. Maaf gak dateng tepat waktu, tadi aku mampir beli kue kesukaan kamu, red velvet. Tapi sayang tadi jatuh, dan hancur. Lain kali aku pasti bawain buat kamu lagi." Ku genggam tangan Dirga erat.

"Ini udah hari ke 10 kamu tidur, gak capek? Oh iya kamu masih punya hutang sama aku, waktu itu kamu bilang mau beliin boneka tedy putih buat nemenin tedy cokelatku. Aku mau tedy itu sekarang, kamu gak boleh curang dengan pura-pura tidur terus. Kalo gak bangun, aku marah." Hening.

"Kamu inget gak bentar lagi aku ulang tahun? Aku pengen ngerayain di pantai, sambil liat sunset. Dan aku minta 2 kado dari kamu. Gak boleh protes, oke?"

Tanpa sadar aku tertidur dengan posisi duduk, sambil menggenggam tangan Dirga. Dalam mimpiku, aku melihat dua anak kecil berlarian saling mengejar dibibir pantai. Tunggu, mereka adalah Asha dan Dirga kecil. Tapi aku melihat mereka dengan jelas, dengan kondisi fisik yang sekarang sebagai Asha dewasa. Tapi aku tak melihat Dirga, aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari sosok Dirga dewasa.

Dari kejauhan aku melihat Dirga berdiri diatas tebing, aku berlari secepat mungkin untuk menyusulnya. Aku panggil ia berkali-kali, dia tak bergeming. Tetap dengan posisinya berdiri menghadap kelaut. Saat jarak kita hanya 2 meter, ia berbalik menatapku. Tatapan matanya tersirat kesedihan yang mendalam, raut wajahnya terlihat sangat lelah. Ia menatapku lama, sangat lama, kemudian tersenyum.

***

*Dirga POV*

Gelap. Sunyi. Sepi. Sendiri.
Empat kata itu yang kurasakan sekarang. Hanya kegelapan yang menyelimuti kemana pun aku memandang. Tak ada siapapun yang bisa aku mintai penjelasan, aku dimana, dan kenapa aku sendirian.

Kurasakan tangan halus dan mungil menyentuh pipiku, perlahan berganti menggenggam tanganku. Samar-samar terdengar suara seseorang berbicara. Tapi aku tak bisa menangkap dengan jelas apa yang ia bicarakan. Sepertinya ia berbicara sangat panjang, suara itu menggema begitu lama. Namun aku menikmatinya.

"Hai aku datang.."

"Ayo bangun.."

" Senja dan sunset itu.."

"Boneka tedy.."

"Dirga bangunlah.."

Suara itu bersahutan tanpa henti. Aku bangkit dari tidurku, mencari dari mana asal suara yang sejak tadi terngiang-ngiang di kepalaku. Aku berlari tanpa arah, hingga kelelahan. Tanpa putus asa, aku kembali bangkit dan berlari lagi, mencari, mencari, dan mencari. Namun sosok itu tak nampak sedikit pun.

Aku duduk dengan memeluk kedua lututku, lelah luar biasa menjalar keseluruh tubuhku. Tubuhku bergetar hebat, dadaku terasa sesak dan menyakitkan.

"Asha.."

"Asha.."

"Asha.."

Perlahan mataku mulai terpejam. Suara itu tak lagi terdengar, yang ada hanya keheningan.

Gelap. Sunyi. Sepi. Sendiri. Lagi.

I Can Hear Your VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang