Part 27

234 7 0
                                    

*Author POV*

Lalu lalang kendaraan memenuhi jalanan Bandung, guyuran hujan tak mampu menghentikan aktivitas orang-orang. Asha menatap tiap tetes air hujan yang turun lewat kaca mobilnya. Ia teringat dengan seseorang yang menyukai hujan, seseorang yang selalu ia sakiti. Keadaan ini membuat ia tertekan, karena harus mengambil keputusan yang sulit. Menghabiskan liburan semester di rumah masa kecilnya adalah pilihan Asha. Saat ini ia membutuhkan waktu untuk sendiri, bukan berarti ia melarikan diri. Tapi justru ia akan memikirkan apa yang telah terjadi, mencoba mencari solusi yang tepat.

Ketika sampai tepat di depan rumahnya, ia teringat akan masa lalu. Dimana ia selalu menghabiskan waktu untuk bermain di taman bersama Dirga. Asha berjalan perlahan menyusuri tiap inci taman depan rumahnya. Ia menduduki ayunan yang dulu sering ia naiki, menatap kosong ke sembarang arah. Teringat saat ia dan Dirga berlarian saling mengejar, Asha selalu kesal jika ia terlalu cepat tertangkap. Bulir-bulir cairan bening menetes dari ujung matanya, ia mencoba tersenyum getir walau terlihat menyedihkan.

"Non Asha, kapan datang? Ayo masuk, diluar dingin, Non." Sambut bibi yang selama ini menjaga rumah Asha.

"Barusan, bi. Aku kangen sama bibi." Dipeluknya bibi yang sedari kecil merawatnya. Lalu mereka masuk.

"Non Asha mau istirahat atau makan dulu?"

"Asha pengen liat-liat sebentar bi, abis itu langsung istirahat aja.

"Baik Non, bibi ke belakang dulu." Asha hanya mengangguk.

Asha berkeliling melihat isi rumahnya, masih sama dan tak terlalu banyak perubahan. Hanya suasananya yang nampak sepi. Terlalu banyak kenangan dirumah ini, kenangan yang membuat senang dan sedih yang datang bersamaan. Dikamarnya banyak foto-foto masa kecilnya terpasang di dinding. Matanya terpaku pada satu foto, ia menatapnya lama. Foto dimana Asha kecil dirangkul seorang anak laki-laki, dia adalah Dirga. Dirabanya foto itu lembut, diam-diam Asha merindukan masa kecilnya. Masa dimana ia selalu bermain, tertawa, dan bahagia. Tanpa harus mengerti masalah orang dewasa, tanpa tahu bagaimana rasanya sakit hati. Jika bisa memilih, Asha memilih tidak akan menjadi dewasa, ia bahagia dengan masa kecilnya.

Aku rindu jadi seperti kalian. Bisiknya pada foto itu.

***

"Selamat pagi putri tidur!" Teriak Nico pada adiknya yang masih tidur, Asha terperanjat kaget.

"Kakak? Ngapain disini?" Tanyanya bingung, ia mengucek matanya.

"Kakak pikir oke juga ikut liburan kesini." Nico menyeringai.

"Dasar penguntit!" Asha kembali menarik selimutnya untuk tidur.

"Heh gak boleh tidur lagi! Ayo jalan-jalan mumpung masih pagi." Ditariknya tangan Asha.

"Males ah! Asha masih ngantuk kak, capek juga gara-gara perjalanan kemarin."

"Alesan! Kakak tunggu dibawah. Titik." Nico keluar dari kamar Asha.

"Hais, nyebelin!"

Perkebunan teh menjadi salah satu tempat favorit Asha, ia berkeliling bersama Nico. Mereka menikmati suasana tenang disana, cuaca sangat cerah, ditambah udara pagi yang segar. Keadaan tersebut tak mungkin mereka jumpai di Jakarta.

"Ah segarnya!" Teriak Asha merentangkan kedua tangan ke atas.

"Gak salah kakak nyusulin kamu kesini." Dirga menyetujuinya.

"Gak ada yang berubah ya kak, suasana kayak gini yang selalu aku kangenin." Ujar Asha.

"Iya gak ada yang berubah, kecuali kita."

"Maksud kakak?"

"Iya kita yang berubah, fisik, sikap, dan keadaan kita. Semuanya berbeda dengan saat kita masih kecil dulu, terutama kamu. Kakak gak tau apa yang terjadi sebenarnya, tapi kakak ngerasain perubahan dalam diri kamu. Cobalah terbuka, berbagi beban gak ada salahnya. Justru dengan kamu seperti ini gak akan merubah apapun. Apa gunanya orang-orang di dekat kamu, kalo masalah selalu disimpan sendirian. Kamu adek kakak satu-satunya, jadi kakak gak akan biarin kamu terluka barang sedikit pun." Tuturnya panjang lebar, Dirga menerawang ke langit.

"Maafin Asha kak, aku pikir bisa menghadapi ini semua sendirian. Tapi ternyata sangat sulit, semuanya terlalu rumit." Sesal Asha, ia menyadari bahwa kakaknya benar.

"Makanya kakak kesini untuk bantu kamu, keluarin semuanya."

Akhirnya Nico tahu semuanya, ia begitu marah mendengar semua kebenarannya. Terlebih ia sangat geram dengan sikap Florence pada adiknya. Nico ingin memberi pelajaran pada Florence, tapi Asha menolak dengan alasan ia tak mau ada apa-apa dengan Dirga. Terpaksa ia diam untuk sementara waktu, semua ia lakukan demi adiknya. Nico menghargai keputusan Asha, ia akan mendukung apa yang Asha lakukan.

"Sekarang gimana?" Tanya Nico.

"Sementara seperti ini dulu, mungkin Dirga lebih baik jauh dari aku kak."

"Gimana sama kamu?"

"Aku gak papa selama itu baik buat Dirga kak, aku baik-baik aja."

"Tapi hati kamu? Ini menyakitkan bukan?"

"Ini gak sebanding sama pengorbanan Dirga selama ini kak, ini bukan apa-apa. Kakak gak usah khawatir, aku gak papa." Senyum dipaksakan tersungging dari bibir tipis Asha.

"Kalo mau nangis, nangis aja. Ada kakak disini." Dirga memegang pundak Asha.

"Gaklah, udah abis air matanya hehe." Mata Asha mulai merah dan berkaca-kaca.

"Kakak bukan orang lain kan?"

"Kakak apaan sih, orang Asha gak mau nangis kok." Air matanya sudah diujung dan hampir jatuh.

"Sini." Ditariknya Asha, ia mendekap erat adiknya yang kini menangis.

"Aku gak papa kak, aku baik-baik aja. Aku gak papa.." ucapnya ditengah isak tangisnya.

"Ssshh kakak tahu."

"Gak, aku gak baik-baik aja. Aku gak baik-baik aja kak.." Jujurnya yang kemudian membuat tangisnya semakin menjadi.

"Iya kakak juga tahu itu."

Lega,

Untuk sementara waktu hatiku lega setelah menangis.

Tapi ini belum berakhir,

Mungkin akan lebih banyak air mata yang akan jatuh di kemudian hari.

Tapi bukan tangis kesedihan.

Aku berharap itu air mata kebahagiaan.

Kebahagiaan yang sebenarnya..

I Can Hear Your VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang