Pagi itu Asha bangun dengan kondisi kurang baik, kepalanya terasa sakit. Perlahan ia berjalan ke kamar mandi, menatap wajahnya di cermin. Wajah yang selalu ceria terlihat kurus dan pucat. Matanya nampak sayu, dengan lingkaran hitam dibawah matanya. Tiba-tiba darah segar merembes dari hidungnya, bersamaan dengan mual yang luar biasa. Ia muntahkan isi dalam perutnya, terdapat banyak bercak darah. Tak lama pandangannya kabur, dan ia jatuh pingsan.
Tok tok tok.
"Non Asha, bangun non." Tak ada jawaban.
Cklek.
"Non Asha, dikamar mandi?" Bibi mengetuk pintu kamar mandi, namun tak juga ada jawaban.
"Ya Allah non Asha! Non kenapa non?" Bibi terkejut melihat Asha tergeletak di kamar mandi.
Segera bibi menelpon ambulans dan Asha dilarikan kerumah sakit. Bibi mencoba menghubungi orang tua Asha, namun belum ada jawaban. Nico juga tak bisa dihubungi. Akhirnya bibi menghubungi Mia, karena ia satu-satunya orang terdekat di keluarga Asha.
"Apa yang terjadi, Bi?" Tanya Mia sesampainya di rumah sakit.
"Saya gak tahu non, tadi non Asha pingsan di kamar mandi."
"Tante sama om kemana? Nico juga."
"Bapak sama ibu ke kantor pagi-pagi, Non. Dan tidak bisa dihubungi, den Nico juga tidak bisa."
"Astaga Ashaa.. Ya Tuhan semoga Asha baik-baik aja." Mia panik.
Setelah menunggu lama, dokter keluar dari ruangan. Ia mencari keluarga Asha.
"Keluarga Natasha Dimitri?"
"Saya sahabatnya, dok. Sampai sekarang keluarganya belum bisa dihubungi."
"Maaf keluarganya harus segera mengambil keputusan, ini menyangkut keselamatan pasien."
"Bisa bicarakan dengan saya dulu, dok? Sementara saya datang sebagai walinya."
"Baik, silahkan keruangan saya."
Mia terpaku ditempat duduk setelah ia mendengarkan penjelasan dokter. Air matanya mengalir, ia tak sanggup berkata-kata lagi. Mia mencoba menghubungi mamanya Asha lagi.
"Halo Mia." Akhirnya diangkat juga.
"Ha-halo ta-tante.." Mia terbata menahan tangis.
"Iya, Mia. Kamu kenapa nangis?"
"Asha tante, Asha.."
"Iya Asha kenapa?" Mama Asha mulai panik.
"Asha colaps tante, dan sekarang kritis di rumah sakit."
"Astaghfirullah Asha! Dokter bilang apa, Mia?"
"Dokter bilang Asha harus segera melakukan transplantasi tante."
"Kamu jagain Asha dulu ya, tante sama om segera kesana."
"Iya tante."
***
Pukul 13.30, ditempat berbeda terlihat beberapa raut wajah yang memancarkan kesedihan. Wajah-wajah penuh air mata, doa, dan pengharapan. Isak tangis memenuhi ruangan yang dominan berwarna putih.
Seseorang terbaring lemah di kamar rumah sakit dengan tubuh penuh alat yang terpasang. Wajah lelah, pucat pasi, dan tampak tenang. Dokter dan perawat masih berusaha sekuat tenaga untuk melewati masa kritis pasiennya. 1 jam, 2 jam, namun layar monitor tak juga menandakan keadaan normal.
Setelah hampir 4 jam berjuang, akhirnya ada tanda-tanda kritis telah terlewati. Laki-laki itu terbaring lemah dengan mata tertutup dan mulut yang mengatup rapat. Tak lama ia pun dipindahkan dari ICU ke kamar rawat VVIP.
Hampir seharian ia tidur, tubuhnya mulai bergerak tanda akan sadar. Perlahan matanya sedikit demi sedikit terbuka, melihat sekeliling. Matanya terhenti pada sosok wanita yang menangis disampingnya, menggenggam erat tangannya.
"Ma.." Ucapnya lirih.
"Iya, mama disini. Kamu istirahat aja, Sayang." Wanita itu berbicara menahan tangis.
"To-tolong do-donorin hati i-ini buat Asha, M-maa." Ujarnya terbata.
"Gak, mama gak mungkin ijinin itu. Mama yakin kamu pasti kuat, kamu harus sembuh."
"A-aku mohon, Ma. Sekali ini aja."
"Gak, sayang. Mama gak bisa." Mamanya terisak.
"Ma.. Aku sayang mama."
"Mama tahu, mama sangat tahu. Mama juga sayang sama kamu, Nak."
Laki-laki itu tersenyum hangat, air mata menetes dari ujung matanya. Perlahan matanya mulai menutup lagi, dan nafasnya tersengal. Mamanya dengan sigap memanggil dokter.
"Sayang, mama mohon kamu harus kuat. Jangan tinggalin mama." Ia menangis dengan menggenggam erat tangan anak laki-lakinya.
Tak lama dokter datang dan mengambil tindakan. Mamanya menunggu di luar, bersama papanya yang baru saja menyusul.
"Pa, bagaimana dengan anak kita. Mama takut terjadi sesuatu. Mama takut, Pa." Ia menangis dipelukan suaminya.
"Sabar, Ma. Kita berdoa saja untuk kesembuhan anak kita. Papa yakin dia anak yang kuat."
Dokter keluar dan menjelaskan bahwa anaknya tidak bisa diselamatkan. Kedua orang tua tersebut menangis sejadi-jadinya. Mereka tak percaya bahwa anak laki-lakinya akan pergi secepat itu.
"Sayang bangun, jangan tinggalin mama. Bangun anakku!" Wanita itu menangis tersedu-sedu melihat anaknya yang sudah tak bernyawa.
"Ma, sabar, Ma. Kita ikhkaskan anak kita pergi."
"Tapi kenapa secepat ini, Pa. Mama gak rela."
"Kita harus ikhlas, Ma. Biarkan ia tenang disana, mungkin ini yang terbaik untuk anak kita. Papa yakin."
"Sayang, maafin mama. Mama ikhlas kamu pergi, tapi janji sama mama kamu harus bahagia disana." Tangis wanita itu kembali pecah.
Ia usap wajah anaknya lembut, penuh kasih sayang. Dikecupnya kening yang pucat itu, terasa dingin. Wajah lelah itu terlihat begitu damai. Wanita itu mengingat permintaan terakhir anaknya, ternyata anaknya sudah mempunyai firasat ia akan pergi.
"Pa, anak kita punya permintaan sama mama."
"Apa itu, Ma?"
"Dia minta hatinya di donorkan buat Asha. Kita harus bagaimana, Pa?"
"Tidak ada pilihan lain, Ma. Kita harus kabulkan permintaan terakhir anak kita."
Tanpa di sangka, kematian datang secepat itu kepada ia yang tadinya sehat-sehat saja. Lelaki yang terlihat kuat, ia tak sanggup mengelak jika kematian sudah menghampirinya.
Kematian memang tak bisa dihindari, hadapi kehadirannya dengan lapang. Dengan bekal kebaikan selama hidup.
Sekali lagi, jangan takut akan mati. Karena tanpa di pikirkan pun, ia akan datang dengan sendirinya.
Dengan berakhirnya hidup seseorang, itulah awal mula kehidupan kekal yang akan ia jalani setelahnya.
Semoga kebahagiaan yang kekal hadir bersamanya..
KAMU SEDANG MEMBACA
I Can Hear Your Voice
Teen FictionNatasha Dimitri (22) Nicolas Dimitri (25) Dirgantara Wijaya (23)