Part 23

327 6 0
                                    

"Ashaaa! Kangen banget gue sama lo." Teriak Mia melihatku dari jauh.

"Jahat sih lo, gak pernah nyamperin gue." Ujarku.

"Hehehe. Oh iya gimana kabar Dirga?"

"Baik, kemarin dia baru aja sadar. Banyak yang belum gue ceritain ke elo Mi."

"Syukurlah, buruan cerita gih!"

Di taman kampus aku ceritakan semua tanpa terlewatkan satu poin pun, bercerita dari A sampai Z. Mia sedikit terkejut mendengarnya, namun ia belum berkomentar apapun sebelum aku selesai bicara. Mataku berkaca-kaca, Mia memegang tanganku.

"Keliatan banget Dirga sayang sama lo, Sha. Buktinya dia rela nglakuin hal itu." Ucap Mia setelah aku selesai.

"Gue jahat banget gak sih, Mi. Gue udah egois sama dia." Isakku.

"Sshh gak ada yang jahat, gak ada juga yang salah atau benar. Mungkin ini jalan yang harus kalian lewati. Akhir-akhir ini lo terlalu banyak menangis, Sha." Mia memeluk dan mengusap punggungku.

"Semua terlalu menyedihkan, Mi. Dan juga terlalu tiba-tiba, bahkan terlalu mengagetkan."

"Jangan sedih, masih ada mama papa, kak Nico, gue, dan juga Dirga yang akan selalu bantu lo, ada di samping lo."

"Iya, Mi. Makasih selalu support gue. Jam berapa sekarang?"

"Jam 1, lo ada acara?"

"Gue mau kerumah sakit, gue tinggal gak papa?"

"Gak papa, gue harus nemuin dosen dulu. Sorry gue gak bisa nemenin lo, salam buat Dirga ya? Lo hati-hati ya."

"Oke, Mi. Gue pergi ya." Ia mengangguk, mengecup kedua pipiku.

Di rumah sakit, Dirga tidak ada di ruangan. Aku sempat panik, kemudian berkeliling untuk mencarinya. Berlari kesana kemari tapi nihil. Takut terjadi sesuatu yang buruk pada Dirga, ia belum sembuh total. Sekali lagi aku berkeliling di semua tempat. Aku mengingat-ingat sejenak. Ah taman!

"Kamu disini?" Tanyaku terengah-engah.

"Kenapa ngos-ngosan?" Dirga terkejut.

"Abis maraton nyari kamu!" Jawabku sewot, tapi lebih ke khawatir.

"Kenapa gak telpon?"

"Oh iya ya, bodohnya aku!" Menepuk jidatku sendiri. Dirga tertawa.

"Bosen banget dikamar terus, makanya aku jalan-jalan sebentar."

"Makanya cepet sembuh, kamu mau kemana aja pasti aku turuti."

"Beneran? Janji ya!" Aku mengangguk.
"Oh iya Mia nitip salam tadi, dia minta maaf belum bisa jengukin kamu."

"Iya gak papa."

Aku berkeliling taman bersama Dirga, menikmati siang yang mendung. Banyak hal yang ingin aku tanyakan, tapi bingung harus mulai dari mana. Aku mendorong kursi roda Dirga dengan perlahan, pandanganku sedikit tak terarah. Berkutat dengan pikiranku sendiri, hingga tak sadar Dirga memanggil berkali-kali.

"Asha!" Aku terkejut saat kursi roda tiba-tiba berhenti.

"E-eh i-iya, ada apa?" Aku tergagap.

"Kamu mikirin apa sih, hmm? Aku ngoceh sendiri kamu gak denger kan."

"Mmm itu, eh gak kok. Gak ada."

"Sini deh, kamu kayak orang linglung. Sejak tadi aku liat kamu gak fokus, jujur sama aku ada apa?" Dia menarik ku untuk duduk di kursi taman. Kita saling berhadapan.

Aku terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk memulainya. Mengingat semua apa yang dilakukan Dirga selama ini, hatiku terasa sakit. Mataku berkaca-kaca, aku menahan tangis sekuat tenaga. Bahkan sekarang air mataku tak mau kompromi, ia turun begitu saja.

"Kenapa nangis?" Dirga memegang tanganku lembut.

"Dasar bodoh! Dirga bodoh!" Aku kembali terisak, hinggal nafasku tersengal.

"Ada apa Asha?" Ia bingung.

"Aku udah tau semuanya, tentang penyakit kamu, tentang semua yang kamu lakukan buat aku."

"Kamu tau dari mana? Pasti mama."

"Iya, tante Mirna udah cerita semuanya. Bukankah kamu harus segera di operasi untuk kesehatan jantung kamu? Kenapa gak dilakuin? Seenggaknya sakitmu bisa sedikit berkurang."

Dirga terdiam lama, seperti memikirkan sesuatu. Wajahnya terlihat gusar, ia menghela nafas panjang berulang kali.

"Dirga kenapa?"

"Aku gak bisa, Sha. Mungkin gak sekarang.." ucapannya terpotong.

"Kenapa gak bisa?"

"Ini akan terasa gak adil buat kamu."

"Maksudnya?"

"Aku gak bisa menjalani operasi sebelum kamu mendapat donor hati yang cocok. Aku akan operasi ketika kamu juga melakukan transplantasi hati. Aku rasa ini cara yang adil, karena waktu itu kita mengalami kecelakaan bersama."

"Bodoh! Pemikiran macam apa itu, kamu harus segera di operasi. Gak perlu khawatir soal aku, toh sampai saat ini aku baik-baik aja. Tapi kamu? Bahkan kamu baru aja sadar dari koma. Pikirin kesehatan kamu Dirga, aku mohon, demi aku." Air mataku tak berhenti sejak tadi, tangisku makin pecah.

"Maaf, Sha. Keputusanku udah bulat, aku bisa lewati ini semua kok, selama ada kamu di sampingku." Aku mendongak menatapnya.

"Kamu tau gak apa yang dulu aku takutkan?"

"Apa?"

"Kematian. Aku takut mati dan ninggalin orang-orang yang aku sayang. Mama, papa, kak Nico. Dan sekarang aku lebih takut lagi karena belum bisa membalas apa yang kamu lakukan sama aku. Aku takut Dirga." Dirga memelukku.

"Jangan takut akan hal itu, semua orang pasti akan mengalami kematian, semua tergantung waktu. Ninggalin orang yang kita sayang itu pasti menyakitkan, tapi pikirkan aja bagaimana kita membahagiakan mereka selama masih hidup. Lakukan yang terbaik selama kita bisa, jadi kamu gak perlu takut. Toh siap gak siap kematian itu sendiri akan menghampiri, karena itu memang hal mutlak untuk setiap manusia." Tuturnya.

"Tapi gimana kalo kita belum sempat bahagiain mereka?"

"Mungkin kebahagiaan mereka bukan sama kita, nantinya mereka akan bahagia walau tanpa kita. Bukan berarti kebahagiaan orang terdekat kita ada pada kita. Jadi jangan terbebani dengan itu, bukan hak kita menentukan kebahagiaan orang lain."

"Kamu benar, ternyata pikiranku selama ini terlalu dangkal. Aku sama sekali gak mikir sampai sejauh itu. Makasih ya." Aku sangat lega.

"Masih ada lagi atau cukup?"

"Sementara cukup."

Aku belajar banyak hal dari Dirga. Mulai dari bagaimana menghargai orang lain, menyikapi setiap masalah, bahkan cara pikir dari sudut pandang yang berbeda. Sejak kenal Dirga, maksudku sejak mengingat dia lagi, satu persatu teka-teki dalam hidupku perlahan menemukan jawabannya. Mulai hari ini aku tidak menyesali semua yang telah terjadi, Dirga benar bahwa ini takdir yang harus kita jalani. Untuk saat ini beban dalam diriku sedikit demi sedikit berkurang, semoga ini tak terlalu cepat berakhir.

I Can Hear Your VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang