Part 4

426 16 0
                                    

Aku tidak suka rumah sakit. Baunya, suasananya, dan semua yang ada disana. Kebencianku berganti kebiasaan selama 7 tahun ini. Ya sejak usia 15 tahun, keluar masuk rumah sakit bukan lagi hal yang mengagetkan. Rumah sakit seakan menjadi 'rumah keduaku'.

Aku sadar setelah hampir 10 jam tertidur. Melihat sekeliling, hanya dinding putih dan bau yang menyengat. Ah tempat ini lagi.

"Sayang ini mama, kamu mau apa? Minum?" Tanya mama melihatku sadar. Raut wajahnya terlihat jelas bahwa ia khawatir. Matanya berkaca-kaca, dikecupnya kedua pipi dan keningku.

Aku menggeleng lemah. "Asha kenapa, Ma? Ayo kita pulang" ucapku pelan, terdengar seperti bisikan.

"Kamu harus sembuh dulu baru kita pulang sayang, kamu janji akan selalu sehat kan?" Kali ini papa tidak kalah khawatirnya. Dia menggenggam erat tanganku.

"Asha baik-baik aja Pa, Ma. Kalian jangan khawatir, Asha kan kuat" senyum dipaksakan yang keluar dari bibirku. Aku tidak suka suasana sedih seperti ini.

Tak terasa sudah 5 hari aku dirumah sakit. Aku sudah merasa lebih baik sekarang, tapi dokter Rian masih menahanku untuk pulang. Sekarang aku duduk dikursi dorong, sendirian ditaman rumah sakit.

Bosan. Bosan. Bosan. Apa aku kabur aja ya? Ah konyol! Tapi aku pengen pulang.

Aku berjalan perlahan, memutar roda kursiku. Menikmati suasana taman yang tidak begitu ramai. Tanpa kusadari, roda kursiku tersangkut dan tidak bisa bergerak. Aku panik, tak ada siapapun disini.

Aku coba untuk mendorong, tapi nihil. Kudorong lebih kuat lagi, sampai tersentak dan aku hampir jatuh. Ada sosok yang menarik kursiku dari belakang. Dan aku kembali terduduk. Jantungku berdegup kencang saking takutnya.

"Lo gak papa?" Tanyanya yang melihat aku shock dan hampir menangis. Aku menutup mukaku, tanpa sadar ada tetesan air mata dipipi.

"Gu-gue.. G-gak papa" jawabku gugup. Aku masih sangat shock.

"Lo dikamar berapa? Biar gue anter" dia berjongkok dihadapanku. Baru aku bisa melihat siapa dia.

Dia lagi? Laki-laki itu. Kenapa selalu dia? Tapi, kali ini dia menyelamatkanku.

Dia menatapku lekat. Aku masih berkutat dengan pikiranku sendiri. Sampai dia beberapa kali melambaikan tangan didepanku.

"Hei!" Aku tersadar dari lamunanku.

"E-eh i-ya?" Tanyaku bingung.

"Lo dikamar berapa? Lo gak papa?" Dia mengernyitkan dahi. Heran.

"Eh itu.. 302." Jawabku sekenanya.

Kok dia pake baju rumah sakit juga. Apa dia sakit? Tapi terlihat sehat-sehat aja.

Dia mendorongkan kursiku, berjalan menjauhi taman. Hening. Tak ada satu katapun yang keluar dari mulut kita. Ah canggung banget sih!

"Lo pasien juga?" Tanyaku penasaran.

"Iya sama sepertimu" nadanya tetap sama, datar.

"Tapi kayak orang gak sakit" gumamku pada diri sendiri.

"Orang sakit gak harus terlihat sakit." Mampus. Kok dia denger?

"E-eh i-iya. Sorry aku gak maksud gitu. Btw, lo yang waktu itu kan?" sesalku. Aku mengalihkan pembicaraan. Bodoh kamu, Sha!

"Udah sampe. Gue pergi" tanpa menghiraukan pertanyaanku. Dia berlalu pergi.

"Terimakasih banyak" sepertinya dia tidak mendengar. Karna berjalan begitu cepat.

Apa dia marah? Apa aku menyinggungnya? Ah bodoh!

I Can Hear Your VoiceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang