SIXTEEN

178 14 0
                                    

hai. 

-----

KELAS tampak seperti di pasar, ricuh sana-sini teriakkan anak perempuan yang hendak ingin ini-itu, anak laki-laki yang juga samanya seperti perempuan, tak mau kalah dengan teriakkan mereka, ia juga bingung kenapa laki-laki dan perempuan tak ada bedanya dengan kelakuan mereka ini. Anak laki-laki tampaknya sedang menonton film action di depan, dan sorai anak perempuan yang hendak ingin mengabadikan momen inilah dan anak perempuan tak segan-segannya masuk-keluar kelas yang hanya ingin mencari perhatian terhadap kelas sebelah, itulah kelasnya jika tidak ada guru yang mengajar.

Teman perempuannya mengajaknya untuk berselfie-ria, tapi yang diajak malah menolak mentah-mentah, dengan alasan "Muka lo cepet tua kalau foto mulu! Di mana-mana foto, sekalian aja di comberan lo foto sana!" astaga, kejam sekali pernyataan yang ia berikan, tak habis pikir, setelahnya teman-temannya malah ketakutan dan tidak ingin mendekat pada dirinya, sedangkan dirinya hanya mengidik bahu tak tahu.

Dan apa yang dilakukannya sekarang? Ia hanya menampakkan wajah tak berdosanya, sekali-kali ia iseng dengan temannya yang hendak berfoto ataupun yang sedang melakukan aktivitas lainnya, karena sekarang dirinya sangatlah bete. Ya itulah moodnya saat ini, setelah lelah menjahili teman kelasnya, ia hanya ingin sendiri ditemani dengan secarik lembaran kertas tebal yang disebut novel ini, ia menyumpalkan earphone dengan mendengarkan lagu favoritenya. Tak berapa lama ia ingat pada pernyataan Alvo lusa lalu, "Gue hanya nggak mau liat orang yang gue sayang kena penyakit karena memakai earphone itu". Uh itu adalah pernyataan paling manis tapi walaupun nada yang ia berikan terkesan sinis, tak apalah, yang penting ia bahagia sejenak dan berpikir juga tentang pertanyaan atau ah bahkan dirinya tak bisa mengungkapkan lebih jelas, "Emang kita mau pacaran?" setelah itu ia tak bisa berbicara apa-apa lagi, bukan bermaksud untuk nyuekin Alvo atau apalah itu, ia hanya tak bisa membayangkan kalau ia sampai jadian dengan Alvo.

Bukan, bukan. Ia tak ditembak oleh Alvo, hanya saja Alvo berbicara seperti itu karena, ya karena Alvo hanya menanyakan hal itu saja, setelah itu dirinya melihat wajah polosnya Alvo dan langsung minggat dari mobilnya, dan esok paginya Alvo menjemputnya, seperti hari sekarang, dan keduanya tidak membahas pertanyaan Alvo semalam, seperti tidak ada kejadian apa-apa, dan Alvo sendiri juga sepertinya lupa, ah tak apalah, hal yang terpenting baginya adalah bisa bersama sepanjang hari bersama Alvo.

"Ca!" sahut teman sebelahnya membuat kerutan diwajahnya mulai terlihat.

"Apa?" tanyanya singkat dan dingin, hanya saja untuk sekarang ia tidak ingin diganggu.

"Dingin banget sih kayak es!" desis Zila, sampingnya saat ini, ia melihat Kiena dengan tatapan tajam penuh arti.

"Apaan sih?" tanyanya gemes sendiri dengan perlakuan Zila sekarang.

Terdengar helaan napas. "Gue denger, Kak Afza lagi deket sama Raina, entah kenapa mereka jadi deket gitu, gue, gue merasa hal aneh dengan kedekatan mereka," tampaknya Zila serius akan hal ini.

Apa? Kak Afza lagi dekat dengan Raina? Apa-apaan ini, eh tapi 'kan apa pedulinya gue dengan dia? Teman pun juga tidak, oh astaga Kiena kau berbicara apa sekarang?

"Kok lo ngelamun deh Ca!" pekiknya melihat kelakuan Kiena yang sedang menopang dagu, bahkan dirinya sesaat tampak berpikir setelah itu ia lanjutkan dengan membaca novel di hadapannya ini dengan wajah yang sengaja tutupkan dengan buku tebalnya itu.

"IH CACA, lo mah nggak menanggapi omongan gue sih ih, kesel gue sama lo," decakan sebal terdengar dari telinganya walaupun telinganya sudah tersumpal oleh earphone.

KUNATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang