TWENTY

205 12 0
                                    

langsung yha!

------

SASKYA tampaknya sangat prihatin dengan keadaan abangnya sekarang terlihat dari wajah Zidan yang murung.

"Bang ...," panggil Saskya, Zidan nampaknya masih melihat layar televisi tapi Saskya yakini sekarang adalah bahwa Zidan tak menatap televisi lekat-lekat, pandangannya kosong. Inilah yang Saskya takutkan dari dulu, karena spesifiknya Zidan hanya mencintai perempuan lain selain dirinya dan Ibunya adalah Kiena. Yap, Zidan sudah lama mencintai Kiena, tapi ia pendam rasa itu sampai sekarang, dan kenyataan memang kenyataan, kenyataan itu lebih pait dari bayangan kita.

Zidan menoleh dengan wajah datar, dan bertanya pasal kenapa Saskya memanggilnya. "Apa lo masih shock dengan pernyataan kemarin?"

Zidan menggeleng lalu memfokuskan lagi pada televisi di depannya.

"Bang, gue tau lo lagi patah hati untuk sekarang, tapi coba untuk tidak seperti itu, maafkan Caca yang nggak tau apa-apa dengan perasaan lo itu, dan satu hal lagi, jangan mencoba untuk bunuh diri," sepertinya ucapan Saskya benar-benar melebihkan dan apa boleh buat Zidan hanya memamerkan wajahnya tanpa ekspresi.

"Tasha nggak salah apa-apa, emang gue yang salah."

Saskya lagi-lagi menghela napas panjang. "Caca harus tau tentang ini."

Zidan menahan tangan Saskya lebih cepat, dengan wajahnya yang datar ia menggeleng. "Nggak, Tasha nggak boleh tau sama perasaan gue sebenarnya ke dia, gue nggak mau nanti Tasha merasa bersalah dan dia ... ah gue nggak mau ada yang terjadi setelah ini."

"Caca harus tau, Bang, walaupun ini menyakitkan. Caca harus tentang perasaan lo ke dia, ya seenggaknya begitu lebih baik ya 'kan?"

Zidan tetap mengelak usulan dari adiknya itu, Saskya menarik napas dengan perlahan. "Gue harus nemuin Caca sekarang juga."

"Sas ...."

Saskya menoleh mendapati Zidan yang sedang termangu dan Saskya merasa iba dengan abangnya itu. "Jangan memperlihatkan dengan wajah kasihan lo pada gue, Sas."

Saskya terkekeh melihat Zidan. "Gue mau nemuin Caca dulu, lebih baik lo diam di rumah."

"Kan gue udah bilang, nggak usah bilang hal ini ke Tasha."

Saskya tetap mengelak dengan penolakan lebih halus bahwa Kiena harus tau tentang ini, bagaimanapun ke depannya nanti, yang pasti Kiena harus tau.

-----

"Kangen lo ya sama gue, sampai hari ini lo ngajakin ke kafe Salisa, padahal baru kemarin lo ketemu gue, dasar fans!" wajah Kiena tampak senang bukan main, dan kebalikan dari wajah Saskya yang tampaknya datar-datar saja, tapi bukan itu yang Saskya anggap.

"Gue pengin ngomong soal kemarin, Ca."

Kiena tertawa melihat raut wajah Saskya yang berubah serius seperti itu, baru pertama kalinya melihat wajah sahabatnya itu seperti emak sedang rapat.

"Ca, gue pengin ngomong dengan serius. Kenapa lo ketawa gitu?" tanya Saskya dengan penuh kecurigaan.

"Lo tau, ekspresi lo lucu bung, kayak emak-emak," Kiena tertawa terpingkal-pingkal melihat itu, entahlah Saskya hanya mendengus kesal.

"Caca!" seruan itu membuat Kiena bungkam melihat Saskya yang sepertinya tampak serius.

Kiena berdeham sejenak. "Oke, lo mau ngomong apa?"

KUNATATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang