"Orang yang Anda hubungi sedang asyik selingkuh. Silakan dibunuh apabila dia sudah pulang."
Seperti itulah kedengarannya suara operator di kuping Aftha. Lelaki yang memakai jas hitam, kemeja panjang putih, dan dasi kotak-kotak biru ini memang sering berfantasi. Mulai dari yang ringan——misalkan, memiliki asisten cantik bak supermodel yang dadanya ranum, pinggangnya ramping, dan perutnya rata——hingga yang ekstrim, seperti sistem hukum di Indonesia yang berubah menjadi Sistem Hukum Alam.
Yeah, Negeri Hukum Alam. Di mana siapa saja yang berbuat dosa, maka balasan perbuatannya adalah saat itu juga. Misal begini, ketika seseorang mencuri, maka tangannya akan memanjang hingga kukunya menyentuh tanah. Orang-rang menjadi tahu kalau dia adalah pencuri sehingga batinnya akan ikut terhukum.
Memang kedengarannya gila, tapi Aftha Raja Genio amat menikmati fantasinya.
Dan sejauh ini, khayalan tergila yang Aftha pikirkan adalah membungkus Si Begundal——begitulah ia memanggil istrinya—— dengan lakban lalu memotong kecil-kecil seukuran bakso, kemudian menabur cincangan tadi ke laut.
Wanita yang menjadi istrinya itu memang kurang ajar. Sudah 10.800 detik ia membuat Aftha menggembel di depan toko yang sudah tutup dari jam 7 tadi. Tidakkah dia tahu kalau Aftha mulai mencium bau bangkai dari ponselnya? Benar-benar begundal! Sudah hobinya cuma bikin Aftha jengkel, istananyapun masih digembok rapat-rapat.
Begini, Aftha Raja Genio dan Si Begundal itu memang sudah menikah, tapi belum kawin. Status suami-istri mereka merupakan suatu paksaan dari orangtua. Well, desakan klise bernama perjodohan. Hhhh!
Baik Aftha maupun Si Begundal, mereka adalah dua makhluk saling kontra. Aftha menjaga harga diri tinggi, sedangkan dia murahan. Aftha benci kopi, wanita itu pecintanya. Aftha setia, dia khianat. Aftha idealis, dia liberalis.
Satu-satunya yang sama hanya satu. Yakni kebencian. Dan itulah alasan kenapa keduanya belum mencicip firdaus perkawinan. Jangankan memadu kasih di atas ranjang, bicara bahkan saling menganggap satu sama lain saja tidak.
"Kalau dua menit lagi kamu nggak muncul, aku tinggal!" Aftha mengancam lewat pesan suara.
Ketika Aftha hendak beranjak ke mobil, tiba-tiba saja hatinya mencelos. Mata cokelatnya baru saja menangkap satu sosok. Si Begundal! Bersama pacarnya.
Mereka berciuman setelah turun dari taksi. Sangat lama. Horni. Dan penuh gairah. Yang lelaki kelihatan rakus melahap cumbuannya. Begitupun lawannya.
"Ehem!" Aftha berdehem sambil mendekat. Dua orang itu tak berhenti dan malah semakin menikmati perlumatan di lidah masing-masing. "Ehem!" sekali lagi Aftha menegur, lebih keras, dan terkesan membentak. "Ralin istriku, sudah selesaikah?"
Si Begundal alias Ralin mengabaikan Aftha. Ia tersenyum malu-malu pada pacarnya, Mario. Mukanya merah, mirip gadis yang jatuh cinta di pandangan pertama.
"Sudah selesai?" tanya Aftha sekali lagi.
"Sayang, aku pulang dulu, ya." Ralin bicara pada lawan cumbuannya.
"Iya, Sayang. Nanti jangan lupa telpon, ya."
Jawaban dari mulut Mario membuat beberapa indera Aftha cedera. Telinganya panas mendengar kata-kata barusan. Hatinya remuk saat istrinya digoda. Dan hidung mancungnya nyaris melempem saat menghirup alkohol dari mulut Mario.
"Oke, Sayang. Besok ketemu lagi, ya. Dadaaah. I love you. Mmmuwah."
Ralin melambai mesra pada Mario. Ia benar-benar tak menganggap kehadiran Aftha yang menggiringnya ke mobil. Ia bahkan tak henti memberi gestur kiss bye pada kekasihnya.
"Masuk!" titah Aftha.
"Iya, Sayang! Kalau udah nyampe aku langsung telpon!" Sekali lagi, Ralin tak menganggap Aftha. Ia terus saja memberi impuls cinta pada kekasihnya.
Aftha membuka pintu mobil lalu mendorongnya ke dalam. Ia tak memberi celah lagi, maka perjumpaan Ralin dan Mariopun terputus.
"Mami sama Papi terus-terusan telpon aku," Aftha ngomel sambil menghidupkan mobil. "Kamu gimana, sih? Katanya dua jam. Aku nunggu dua kali lipatnya, tahu!"
"Gue nggak minta ditungguin," jawab Ralin sambil membuang muka pada jalanan. Ia lebih suka rentetan objek di balik kaca daripada suami abal-abalnya. Najis mughallazhah!
"Nih, emut permen ini! Mulut kamu bau ludah si biadab."
Ralin mendelik kesal. Kekasih yang ia cintai disebut biadab? Aftha ini cari mati atau memang sudah punya keberanian untuk melawan Ralin? Kurang asem!
Ralin tak sempat menjitaknya sebab mendadak saja paha kiri Aftha bergetar. Gara-gara ponsel. Si empu hape lantas meraihnya lalu mengangkat panggilan.
"Wa'alaikumsalam, Bun," Aftha menjawab sapaan. "Iya. Kami sudah di jalan.... Nggak jauh-jauh kok, cuma main di alun-alun..... hmmm, soal program keluarga, ya?...Nanti akan kami bicarakan lagi. ..... Eh? Bunda mau bicara sama Ralin?"
Aftha menyerahkan ponselnya.
"Iya, Bunda. Kenapa?"
Ralin bercakap dengan mertuanya. Nadanya manis layaknya nyonya rumahan yang dermawan. Begitu sopan. Lembut. Penuh pengetian.
"Aftha baik banget, Bun. Ralin bahagia nikah sama dia..... Oh, itu? Kalian tunggu ajalah. Kami pasti ngasih cucu buat kalian. Tinggal pilih, mau laki-laki atau perempuan?"Benar-benar muka dua! batin Aftha sambil menginjak pedal gas dengan penuh emosi.
"Oke, nanti Ralin bilangin ke Aftha.... Hmmm, wa'alaikumsalam, Bunda."
Benda pipih yang sudah diam seribu bahasa itu kembali pada pemiliknya.
"Sampai kapan kita akan seperti ini?" geram Aftha. "Kalau gini sih, enak di pihak kamu." Ia menunggu reaksi Ralin sambil menurunkan gigi mobil.
"Idih, siapa suruh terima perjodohan ini?"
"Dalam perjanjian, kamu memang dibolehkan kencan sama Mario, tapi bukan berarti kamu bisa leluasa seperti tadi. Kalau orangtua kita tahu kamu ciuman sama Mario di depan mataku, aku berani taruhan mereka bakal gantung kamu hidup-hidup."
Ralin memberi tatapan merendahkan. "Bodo amat!"
-bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Untouched
RomanceRalinda tahu sebanyak 99,99% pasangan hasil perjodohan itu bahagia. Tapi itu di cerita fiksi. Yang awalnya saling benci, lalu dengan buaian kata-kata si penulis maka dua insan itu menjadi saling mencintai. Oh, ayolah! Itu sebuah kebohongan. Mitos. I...