Kereta Besi

210 26 0
                                    

Itu dia!

Aku melihat Jesse dan Stuard yang tertidur berdempet. Aku sungguh senang melihat Jesse tertidur di pundak Stuard. Semoga saja Jesse bahagia dengan keadaannya itu. Kapan lagi ia bisa tertidur di pundak Stuard? Haha.

Aku melihat Christ yang belum tertidur. Ia berusaha melepaskan ikatan di tangannya. Aku segera membantunya.

"Chintya ?"

Aku melepaskan ikatan Christ. "Apa? Maaf aku meninggalkan kalian."

"Tidak apa." Tangannya merah karena ikatan yang keras.

Aku menatapnya. Astaga. "Kau...dipukuli ?"

"Ah, tidak." Christ memalingkan wajahnya.

"Bohong. Memar yang banyak," kataku. "Tidak ada es batu disini." Aku melihat sekeliling.

"Aku tidak apa Chintya," ucap Christ.

Aku melihat sebuah gelas yang berembun dan mengeluarkan asap. Didalamnya ada air biru pucat. Dengan hati-hati, aku menyentuhnya. Dingin sekali, lebih dingin dari es batu. Aku mengambilnya perlahan lalu mencari lap. Christ melihatku.

"Kukompres. Sekarang jangan bergerak," pintahku.

Christ mengangguk lesu. Kukompres wajahnya. Christ sedikit meringis sakit saat wajahnya dikompres. Memarnya langsung hilang saat air itu menyentuh kulitnya.

"Ajaib. Langsung menghilang. Apa sakit ?" tanyaku.

Christ menggeleng. "Apakah kita bisa pulang."

"Tentu bodoh. Kita pasti pulang," balasku.

Christ mengangguk lalu melihat Stuard dan Jesse. "Mereka sangat romantis. Sepertinya mereka mempunyai perasaan yang sama."

Aku menghela nafas, "Jesse sangat menyukai Stuard."

"Stuard juga. Astaga, mereka saling menyukai. Haha." Mata Christ menyipit saat tertawa.

Aku tersenyum saja. Masih meneruskan kompresan. Aku sebenarnya sedikit terisak. Christ berhenti tertawa. Dia melihatku. Aku melihatnya. "Apa?"

"Kau menangis? Matamu berkaca-kaca. Dasar cengeng."

Aku menundukkan kepala. "Aku tidak tau. Mengapa kita bisa sampai di dunia aneh ini. Aku menyesal telah bertemu dengan peri-peri itu. Aku...menyesal..."

Tangisku pecah. Christ tersentak. "Tidak, Chintya. Ini bukan salahmu. Dalam situasi ini kita tidak bisa saling menyalahkan. Kumohon jangan menangis." Christ berusaha menenagkanku.

Aku mengusap air mataku. "Sebaiknya kita—"

"Chintya dibelakangmu !!" seru Christ.

Hup! Terlambat. Mulut dan hidungku di dekap kuat. Aku tidak bisa bernafas. Bau dekapannya sangat menjijikkan. Sehingga kepalaku pusing dan aku tertidur.

•••

"Chintya..."

Sinar terang. Aku memayungi mataku. Seorang berpakaian putih. Seperti dewa di dalam film. Silau sekali. Orang itu berkumis dan berjenggot putih. Jenggotnya panjang sekitar diatas pusar perut. Ia membawa tongkat berwarna biru air, dengan ukiran yang indah.

"Siapa kau?" lirihku.

"Jika kau ingin pulang, laksanakan tugasmu disini... Selamatkan aku... Lalu kau akan pulang... Ingatlah itu... Kau terlindungi Chintya... Kau terlindungi..."

•••

Aku terbangun. Ah, mimpi. Kali ini aku harus serius dengan mimpiku. Mungkin mimpiku adalah kunci dalam hidupku. Sama seperti saat ini. Aku harus mengingatnya. Harus. Tunggu, dimana Christ? Aku melihat kedepan. Cuaca panas sekali, ini gurun pasir. Aku dalam kereta dengan tiang besi berkarat. Seperti kandang hewan atau penjara. Dengan 2 kuda di depan.

"Chintya, kau sadar?"

Aku melihat ke kiri. "Jesse? Astaga." Aku memeluknya.

"Mereka mengira kita ini binatang sirkus yang harus hidup di dalam kandang," sambar Levin angkuh.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Stuard.

Aku menggeleng. "Aku tidak apa-apa. Dimana Christ?"

"Sebaiknya kau jangan melihat kebelakang, Chintya," kata Levin. "Dia terlihat lebih menyakitkan daripada binatang sirkus yang terkurung di kandang."

Aku mengernyit. Jesse dan Stuard melototinya membuat Levin menundukkan wajah. Aku menatap Jesse dan Stuard bergantian. Mereka menggeleng cepat. Aku makin kikuk. Dengan sangat penasaran aku melihat kebelakang.

"Christ ?!"

Another World Sahaara LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang