Lemari

146 18 0
                                    

"Stev, rumah apa yang disebelah?" tanyaku.

Stev terkejut. "Jangan pernah masuk kesana! Selangkah pun."

"Kenapa?"

"Pokoknya jangan," sergah Stev lalu kembali berjalan.

Aneh.

"Kalian akan tidur disini. Gantilah baju kalian. Masuk saja ke lemari lalu tutup pintunya. Berhitunglah satu sampai lima pelan-pelan. Setelah itu kalian boleh keluar. Jangan beramai-ramai. Cukup 1 orang. Mengerti?"

Kami semua mengangguk. Kamar berisi 5 kasur berdempet. Dengan semua peralatan berkebun. Seperti pot, selang, penyiram bunga, keranjang, dan lain sebagainya. Lumayan keren karena dindingnya berupa batu kerikil warna-warni. Mata kami tertuju pada satu arah. Lemari putih 2 pintu polos.

"Levin, kau saja yang masuk duluan," ucap Stuard.

Levin mendelik. "Aku? Kau saja sana. Atau Christ?"

"Ya Christ. Kau saja duluan masuk," pinta Stuard.

"Aku tidak suka diperintah kecuali dengan orang tua," tegas Christ melipat kedua tangannya.

Aku menghela nafas. "Bagaimana denganmu, Jes? Mau masuk duluan atau tidak?"

Jesse menggeleng. Sudah aku duga. "Aku saja duluan masuk."

Semua menghela nafas lega. Cih, dasar penakut. Kalung pemberian Robbin aku taruh di laci. Kemudian berjalan membuka lemari lalu masuk dan menutup kembali. Gelap. Stev bilang harus menghitung 5 detik perlahan-lahan.

"Satu." Aku merasakan ada cahaya memutari tubuhku. "Dua." Tubuhku merasakan seperti tidak ada pakaian. "Tiga." Bagian tubuh atasku seperti dibaluti pakaian. "Empat." Semua tubuhku dibaluti pakaian. Aku tidak bisa melihat pakaian apa yang aku pakai. "Lima!"

Pintu terbuka sendiri. Terpampang teman-temanku yang melotot melihatku. Aku mencari-cari kaca. Ketemu di ujung kamar. Saat berkaca pun aku melotot. Rambutku bergelombang dengan pita besar sebagai jepitan. Rok gaun selutut putih polos. Ditambah sepatu putih cantik.

"Apa-apaan ini? Semuanya putih. Cepat kotor dong," ucapku.

Christ terkekeh. "Itu agar kamu rajin mencuci."

Aku menatap Christ sinis. "Apa tidak bisa diganti? Warna yang lebih gelap atau yang terkesan tidak cepat terlihat noda. Kita nanti berkebun dan bermain ta—"

"Kalian sudah selesai? Wow."

Kami menoleh. Stev berdiri tepat di depan pintu. Bersama Lyla yang tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya. Lyla menghampiriku yang canggung. Ia menggoyang-goyangkan bahuku. Lalu memutar-mutarkan tubuhku.

"Hei, Lyla!" seruku. "Aku pusing.."

Lyla terkekeh lalu memegang erat kedua bahuku. "Maaf. Tapi.. Ini baju yang langka. Aku tidak pernah mendapat baju ini."

"Langka?" Aku mengernyit. "Bahkan aku tidak suka baju ini. Warnanya, membuat aku cepat kotor nanti."

"Baju ini tidak akan pernah kotor selamanya!" seru Lyla kemudian melihat Stev. "Bagaimana menurutmu?"

Stev masih dalam kondisi bengong. Lyla mencari alasan kenapa Stev seperti itu. "Stev sepertinya menyukaimu!" Lyla cekikikan.

"Apa?" bisikku. "Gila. Aku tidak suka kondisi seperti ini. Bangunkan dia, Lyla. Mereka semua juga."

"Steven !" seru Lyla. "Hey! Semuanya waktu kita habis dengan menatapi Chintya. Cepat semua masuk ke lemari satu-persatu. Kalau tidak, aku dan Chintya yang pergi.  Biarkan saja kalian kena hukuman. Termasuk kamu, oven!"

Stev terkejut. "Seseorang memanggilku oven?"

"Itu aku. Cepat semuanya ganti baju!" seru Lyla.

Teman-temanku berebut masuk ke lemari. Lyla menepuk keningnya. Aku tertawa melihat tingkahnya dan teman-temanku. Lyla berteriak dan akhirnya semua terdiam. Galak sekali. Teman-teman akhirnya masuk satu persatu.

"Semua sudah. Ayo." Lyla berjalan mendahuluiku.

Aku berjalan dibelakang mereka. Stev masih terdiam di posisinya. "Stev, ayo!"

Stev mengangguk lalu berjalan beriringan denganku. "Apa kau merasakan hal yang berbeda saat dekat denganku?"

Aku mengerutkan kening, "Hal yang berbeda seperti apa?"

Steve menunduk. "Seperti jantung berdetak lebih cepat, perasaan aneh yang mungkin tidak pernah dirasakan sebelumnya, ingin selalu bersama terus. Semacam itu."

Langkahku berhenti. "Apa kau pernah merasakannya?"

Steve menatapku. "Pernah. Saat di dekatmu."

Tidak, tidak. Wajahku merah. Dia tidak tau apa pun tentang arti perasaannya? Oh, aku lupa. Dia dari 100 tahun yang lalu. Dari tahun itu, anak kecil tidak tau apa-apa tentang cinta.

"Chintya? Kenapa berhenti?" Steve berteriak.

Aku mendongakkan kepala. Dia sudah jauh melampaui aku. Astaga, aku tertinggal. "I-iya!"

Another World Sahaara LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang