"...Cerita selesai, ada yang ingin bertanya?"
"Apa orang-orang seperti kami bisa keluar dari sini?"
"Apa yang terjadi pada kita nanti?"
"Dimana jasad Saha dan Ara dimakamkan?"
"Apa maksud Chintya, antara bintang dan peningkatan budak?""Chintya kau tidak ingin bertanya?" Rudi berkata.
Aku menggeleng, "Mungkin nanti."
"Akan aku jawab satu persatu," Rudi menghela nafas. "Kalian bisa saja keluar dari sini. Setelah ini kalian akan dijual dan dijadikan budak. Jasad mereka terkubur di rumah mengapung itu. Maksud dari Chintya-lah yang akan menjadi jalan keluar dari sini. Chintya mungkin sudah tau."
"Boleh aku yang menceritakan?" tawarku.
"Silahkan," ucap Rudi.
Aku menceritakan semuanya secara detail. Sama seperti yang Ketua Peri katakan padaku Terowongan masih gelap. Aku melihat sebuah cahaya kecil di luar. Mungkin itu jalan keluar dari sini.
"Apakah cahaya kecil itu merupakan jalan keluar?" tanyaku.
"Ya. Tapi kalian yang menutup mata jangan membuka mata. Sampai aku memerintahkan kalian," pinta Rudi.
"Baik!"
"Kita dijual menjadi budak. Itu artinya kita harus berpisah?" tanya Levin.
Aku tertawa, "Tidak. Tidak akan dan tidak boleh terjadi."
"Aku belum tau rasanya menjadi budak," ucap Jesse.
"Tapi bagaimana jika kata Levin itu benar?" tanya Christ. "Maksudku, kita tidak mungkin dibeli secara sekaligus. Kita pasti akan terdampar di suatu tempat."
Kita terdiam cukup lama. Entahlah aku mau menjawab apa. Mulutku serasa terkunci oleh perkataan Christ. Ada benarnya juga. Tidak mungkin seseorang membeli 5 budak kecil yang lugu seperti mereka. Yang baru tau tentang dunia aneh ini beberapa hari yang lalu.
"Ngomong-ngomong kapan mata mereka boleh dibuka, Rudi?" tanyaku.
"Mungkin 3 menit lagi. Katakan 'ya' saat kita sudah berada di luar gua. Atau lebih bagus beberapa meter jauh dari gua ini," balas Rudi.
Aku mengangguk, "Baiklah Ru—"
"Apakah kalian berusaha mengganti topik pembicaraan? Permisi, aku butuh jawaban," potong Christ kasar.
"Apa aku perlu mengajarimu tentang pembicaraan yang sopan?" Rudi balik bertanya.
Christ mendesah. "Maaf Rudi. Tapi aku tidak begitu tau tentang dunia ini. Sangat asing. Aku orang yang pemalu. Tanpa teman-teman, aku tidak bisa berbuat sesuatu. Aku cepat naik darah. Aku tidak ingin berpisah dari kalian. Terutama dari gadis yang sering aku contek kertas ulangannya."
Aku terkekeh. "Gadis itu sangat cantik."
"Itu dirimu, jelek," ucap Christ. "Kamu misterius tapi terkadang cerdik juga. Jika aku kehilangan kamu, kapan lagi aku bisa memainkan harmonika untuk melakukan hal yang baik?"
Dasar. Dia hanya ingin mengambil untung sendiri. Dengan membuat aku tersenyum oleh harmonica itu, yang ia kira itu hal baik.
Panas sekali, wajahku memerah. Untung saja gelap gulita disini. Mereka tidak mungkin tau.
"Rudi, apakah disini masih ada kekuatan sihir?" tanya Jesse.
Suasana diam sejenak. Lalu Rudi angkat bicara, "Seingatku bukan sihir namanya. Tapi sifatnya atau cara kerjanya seperti sihir. Aku lupa namanya apa. Yang jelas, Chintya sepertinya mempunyai kelebihan itu."
Aku mendelik, "Aku lagi?"
"Terkadang kau suka berpikir yang aneh-aneh. Kau suka berimajinasi. Taukah kalau kamu menciptakan sesuatu karena pikiranmu yang aneh itu?" tanya Rudi.
Jadi...aku yang menciptakan peri-peri itu? Oh, mungkin itu maksud dari Ketua Peri. Aku membuat mereka? Wow. "Kau ingin menyebarkan aib-ku yang suka mengkhayal?"
Rudi terkekeh, "Itu bukan aib, itu keahlian. Kau bisa saja menambah kekuasaan sihir itu. Makanya, kau harus belajar."
"Dimana aku bisa belajar?"
"Tentu saja di tempat kau bekerja. Kau akan mendapatkan teman. Entah temanmu muda, remaja, atau lansia seperti Jake," Rudi tertawa begitu juga semua. "Kau akan belajar dari mereka nanti. Sebagian besar penduduk disini ramah. Kecuali bos-mu. Mereka sebenarnya baik, tapi berpura-pura galak. Itu agar kalian tidak lamban dalam tugas."
Aku mengangguk mengerti. "Kiranya kekuatan ini bisa untuk apa?"
"Banyak hal. Kau harus bersyukur mempunyai kekuatan itu. Kau bisa menggunakannya di mana pun. Termasuk tempat tinggalmu. Kau bisa menyelamatkan orang, membantu orang, menciptakan apa pun, termasuk mengirim pesan untuk kawan-kawanmu jika ada rencana untuk bertemu," jawab Rudi.
Semangatku memburu, "Benarkah? Bagus sekali. Itu jawaban untukmu, Christ."
"Apakah kita boleh membuka mata? Aku mendengar suara ibuku memanggil," ucap Levin.
"Jangan! Itu ilusi," cegah Jesse cepat. "Mana mungkin ibumu ada disini."
Nafas Levin memburu, "Sedang kuusahakan. Aku rasa ibuku berusaha memancingku dengan daging sapi panggang lezat. Ditambah dengan minuman milkshake ekstra cokelat. Dan hidangan penutup berupa jelly cokelat ditabur dengan fla vanilla dingin—"
"Kau membunuhku, gendut," potong Stuard. "Ayolah, kita di dunia yang berbeda. Tidak mungkin ada milkshake atau daging sapi panggang atau jelly dengan fla—"
"Wowo. Tutup mulut kalian, gendut dan kerempeng. Kalian akan segera melihat dunia ini," ucap Christ.
"Benar. Dalam hitungan ke-3, kalian boleh membuka mata," kataku. "Satu..."
"Dua..." sambar Christ cepat.
"Jangan terburu-buru Christ," cegahku.
"Cepatlah kawan, aku ingin menikmati makanan dari ibuku," sambar Levin. "Hey, siapa yang memegang pundakku?! Itu menggelikan, bung. Kau membuat bulu kudukku terbangun."
"Aku rasa itu bukan salah satu dari kalian. Itu pasti godaan. Atau arwah jahat. Huuu..." Rudi menakut-nakuti Levin.
Aku tertawa, "Itu ilusi ibumu yang ingin memberimu makanan, Levin. Mungkin ibumu sedang menawari kamu ikan segar yang baru dipancingnya. Kalian akan membakarnya hingga gosong."
Levin terkesiap, "Menjijikkan. Aku tidak suka ikan gosong. Hey ilusi! Kau bukan ibuku. Lagipula, ibuku tidak bisa memancing ikan. Terakhir kali ia bukan mendapatkan ikan, tapi sandalnya yang tercebur tahun lalu. Ia kapok memancing lagi."
Kita tertawa terbahak-bahak. Terowongan ini sangat lama. Sampai akhirnya kita keluar. Jauh dari terowongan. Kira-kira sudah 50 langkah. Matahari mulai terlihat. Aku bisa melihat wajah Christ. Dia melempar senyuman padaku, aku membalas hal yang sama. Lupa dengan teman-teman yang masih menutup mata.
"Ya. Tiga!" seruku. Mereka masih menutup mata. "Hey, aku katakan tiga. Kalian tidak dengar? Astaga, kalian harus membersihkan telinga kalian."
"Apa artinya?" tanya Jesse.
Aku menepuk kening. Christ tertawa kecil. "Buka mata kalian," desahku kemudian.
Mereka membuka mata. Levin dan Stuard menghela nafas lega. Raut wajahnya mulai santai. Mungkin mereka tegang sedari tadi. Aku tidak bisa merasakan bagaimana keadaan mereka saat di terowongan itu. Mungkinkah banyak ilusi? Aku tidak pernah melihat ilusi sebelumnya.
"Rudi, kau mengatakan saat Ara meninggal ia mengeluarkan permata biru bukan?" tanyaku.
Rudi mengangguk. "Ya. Permata itu hilang. Seseorang menyebar luaskannya. Jika 2 pasangan membawanya, maka mereka akan bersatu. Mereka takdir penyelamat dunia."
"Apa maksudmu kalung ini?"
⚔
KAMU SEDANG MEMBACA
Another World Sahaara Land
FantasyKhayalan. Chintya el'Queen. Namanya saja Queen. Apakah dia ratu? Apakah dia anak yang spesial? Spesial. Satu-satunya yang spesial dari dalam dirinya adalah sifatnya yang gigih dan cocok dinobatkan sebagai seorang Ratu. Harmonika bergeming. Orang-or...