Pengadilan

124 17 0
                                    

"Ya, ini salahku. Aku akan menggantinya." Christ beranjak meninggalkan kami.

Tinggal aku dan Stuard. Masih tenggelam dengan pikiran masing-masing. Apa yang terjadi selanjutnya, entahlah. Aku pun tidak tau di dunia ini menganut kepercayaan terhadap Tuhan atau tidak.

"Chintya!"

Aku menoleh ke Stuard. "Kau memanggilku?"

Stuard menggeleng. "Aku rasa Jesse memanggilmu di belakang."

Aku menoleh. Dan yang benar saja. Jesse menghampiriku dan Stuard. "Kamu dipanggil Ketua-maksudku, Peter."

Aku mengangguk. Lalu berdiri. Perasaanku mengatakan ini hal yang tidak memungkinkan. Semoga perasaanku ini salah.

Berjalan dari tempat tadi sampai ke tempat Peter berada, lumayan jauh. Sambil berjalan aku mengumpulkan keberanian. Lagipula bukan salahku disini. Aku mencegah Christ, tapi Levin dan Stev yang kena batunya. Dan salah satu orang yang kena batunya itu merupakan adik kesayangan Peter.

Sampai. Pintu masih terbuka. Banyak orang berkumpul disana. Terlihat Peter dengan wajahnya yang sehabis menangis. Terlihat dari matanya yang sembab, wajahnya yang pucat, kantong mata, dan bulu matanya yang basah. Begitu juga dengan wajahnya yang memerah. Tunggu, ada Christ?

Aku menunduk. Sekarang aku harus memanggilnya Ketua. "Maafkan aku, Ketua."

"Aku bukan Ketua," ucap Peter serak. "Istilah itu membuat aku keras terhadap saudara yang sebenarnya harus aku sayangi."

Aku menunduk. "Maafkan aku, Peter."

Peter menggeleng. "Kau tak perlu meminta maaf. Ini salah temanmu." Peter melirik Christ.

"Aku akan menggantinya," ucap Christ. "Aku bersumpah kepadamu, Peter. Tidak akan ada yang terjadi dengan Stev. Dia pasti akan hidup. Begitu juga dengan Levin, temanku."

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu?" tanya Peter.

"Karena aku tau cara menyembuhkan mereka," Christ berbicara mantap.

Aku terkesiap. "Caranya?"

"Tolong panggilkan Laura Si Tabib kemari," pinta Christ.

Laki-laki tua mengangguk lalu keluar memanggil Laura. Laura adalah wanita-mungkin bisa dipanggil ibu-yang sangat penyayang. Hatinya sangat murni. Terlihat dari wajah ke-ibuannya. Saat mengobati Levin dan Stev, ia begitu hati-hati. Dan wajahnya terlihat tidak tega melihat keadaan mereka.

Laura akhirnya datang. "Ada yang bisa saya bantu?"

"Laura, kau mengatakan padaku kalau Stev bisa disembuhkan, bukan?" tanya Christ.

Laura mengangguk. "Tapi..obatnya tidak ada disini."

Christ mengerutkan kening. "Apa?"

"Ya. Obatnya ada di menara apung kediaman Yang Terhormat Saha, Tuan. Kau bisa meminta obat itu disana," ucap Laura.

"Bagaimana caranya kami bisa kesana?" tanyaku.

"Aku tau," ucap Peter. "Jangan bilang kalau adikku terkena penyakit mematikan itu."

"Benar, Tuan. Anak gendut itu mungkin tidak apa-apa dan masih bisa disembuhkan. Tetapi, adikmu terkena penyakit itu. Mungkin para perompak menusuk adikmu dengan cairan racun yang menempel di senjatanya. Jadi saat menusuk, racun itu akan menyebar ke seluruh tubuhnya," jelas Laura.

Peter menjambak rambutnya. "Dia masih bisa diselamatkan, bukan?"

"Tentu saja bisa! Kita akan berusaha!" seru Christ.

Another World Sahaara LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang