Kawan Baru

165 20 3
                                    

Kuda putih membawa kami ke tempat yang banyak tulip. Seperti Belanda, tulipnya beraneka ragam warna. Sebelum terbang aku memasukkan kalung pemberian Kak Robin ke dalam baju agar tidak terlihat. Christ juga melakukan hal yang sama.

Kami mendarat mulus di tanah. Langit masih terang, sekitar jam 2 siang. Banyak orang bekerja menyiram bunga-bunga. Sebagian besar disini wanita. Aku terpukau melihatnya, damai sekali. Sampai seseorang menepuk pundakku dari belakang.

Aku menoleh. Nampak gadis dengan topi dan keranjang penuh dengan bunga tulip. Ia tersenyum ramah. "Kalian orang baru?"

"Iya," sahut Levin. "Kau siapa?"

Gadis itu menundukkan badannya seperti putri kerajaan. "Aku Lyla. Sama seperti kalian aku seorang budak yang sangat beruntung bisa mendapatkan tempat yang ramah seperti ini. Kalian ikuti aku, akan aku tunjukkan rumah kalian."

Kami berjalan mengikuti Lyla. Aku masih bertanya-tanya. "Apa maksudmu tempat yang ramah? Memangnya tempat lain tidak seramah ini?"

"Tepat sekali." Lyla terus melihat ke depan. "Teman-temanku di tempat lain banyak memberi kabar kalau mereka diperlakukan tidak layak. Dipukuli, dimaki, ditampar, dan berbagai macam seperti itu. Mereka kebanyakan menjadi kurus kering."

Levin meringis, "Apa mereka juga tidak mendapatkan makanan yang layak?"

Lyla melihat Levin, ia mengangguk. "Hanya sisa rempah-rempah roti. Itupun harus menutup mata dan hidung kalian."

"Kenapa?"

Lyla mendesah. "Roti itu masih ada bekas air liur orang. Namanya juga bekas sisa. Kalian lebih baik mati atau makan apa adanya."

Seketika kami terdiam. Sebagian dari kami ingin muntah membayangkan makanan itu. Menjijikkan sekali. Siapa yang bersalah malah mendapatkan kenikmatan.

Seorang remaja laki-laki menghampiri kami. Ia membawa sabit dan beberapa tangkai bunga. Pakaiannya ala-ala koboi yang baru saja mengetahui zaman modern. "Hei semua. Kalian budak baru? Datang dari tahun berapa?"

"2016," jawab Stuard.

Laki-laki itu melihat keatas seperti mengingat sesuatu. Kemudian ia menghitung jari-hari tangannya. "Berarti 129 tahun lamanya. Benar kan?" lelaki itu menatap Lyla. Lyla hanya mengangguk saja.

"Maksudmu 129 lamanya?" tanya Jesse. "Dan siapa kau?"

Lelaki itu menepuk keningnya. "Aku lupa hal itu. Namaku Steven, kalian bisa memanggilku Stev. Tapi jangan memanggilku Ven. Orang-orang disini akan tertawa dan menyamai aku dengan oven."

"Soal 129 itu, kami datang sebelum kalian sejak 129 tahun yang lalu," jelas Lyla. "Wow, umur kita sudah 129 tahun lebih, Stev!"

"Apa?!"

Kami terkejut bukan main. 129 tahun yang lalu tapi mereka seperti umur 15 tahun. Mereka tidak tumbuh kah? Tidak ada tanda-tanda pertumbuhan umur di wajah mereka. Seharusnya mereka sudah mati. Seketika itu terlintas satu nama dunia dipikiranku. "Apa ini Neverland?"

Stev tertawa, "Tidak. Ini dunia Sahara."

"Tapi kenapa kalian bisa tidak tumbuh? Seperti Neverland?" tanyaku. "Ada peri-peri juga."

Stev dan Lyla berpandangan. "Peri-peri?"

Aku mengangguk mantap. "Iya peri-peri. Mereka sekecil kelingking. Mereka mempunyai tongkat sihir dan serbuk aneh yang membuat aku bisa menghilang. Jubah merah membuat aku bisa terbang."

"Lalu dimana mereka?"

Aku terdiam. Apa yang harus kujawab? Meninggalkan mereka di sungai. Sepertinya jawaban itu terdengar kejam. Tapi ada jawaban yang jelas disana. Berbohong juga tidak baik. Tapi bagaimana memulainya?

Another World Sahaara LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang