Penyerangan

119 9 0
                                    

Setelah mendengar penjelasan kakek, itu membuatku semakin semangat. Semangat untuk membantu dunia ini. Membuatnya indah dan makmur lagi.

"Aku pergi."

"Tepuk panah ini 2 kali. Maka fungsinya akan hilang."

"Baik kek."

Dengan bantuan kakek, aku bisa langsung keluar dari penjara ini. Sekarang, aku sudah berada di taman istana. Berbekal tembakan panah dan jubah terbang. Tak lupa harmonica. Kalian akan tau kenapa aku membawa harmonica, nanti.

"Oh tidak."

Aku menelan ludah. Prajurit yang banyak sekali. Ayolah, berani Chintya. Menyerang dari belakang. Ya, ide bagus.

"Hey!!"

Ups.
Zep! Zep! Zep!

Suara tembakan panah mengejutkan pendengaranku. Tidak biasa. Kecuali suara tembakan pistol yang aku ikuti di sekolah dulu. Ya, sekedar kegiatan untuk bela diri. Aku merindukan sekolah. Walaupun saat di dalamnya aku ingin sekali berhenti sekolah.

"Chintya!"

Aku menoleh.
Oh tidak, prajurit menyerang dibelakang.
Brugg!!

"Christ ?!" mataku terbelalak tapi akhirnya bernafas lega.

"Argh!" Christ langsung menusuk dada prajurit yang menyerangku. Darah keluar dari dada prajurit itu. Menjijikkan. "Ew.."

Aku tertawa melihat wajah Christ yang jijik. "Untunglah. Terima kasih."

"Lain kali hati-hati," ucapnya menarik pedang dari dada prajurit itu. "Ini kali pertamanya aku melakukan ini. Kalau di sekolah, aku terbiasa menggunakan tongkat dan orang-orang jerami."

Itu membuatku tersenyum. "Kalau begitu, kau bisa diandalkan."

"Tentu saja!" serunya bangga dengan menepuk-nepuk dadanya.

Bibirku tersenyum miring. Sangatlah membosankan mendengar sifatnya yang satu ini.

"Ngomong-ngomong, aku bertemu Ayahanda Hasa tadi. Aku di ceritakan semuanya tentang dunia ini. Beliau memintaku memanggilnya kakek dan aku dibebaskan. Dan aku.. bertemu denganmu.." ucapnya dengan kebahagiaan yang memudar.

"Memangnya kenapa?"

Christ menggeleng. Ia memegang kalung pemberian Kak Robbin lalu menciumnya. "Aku rasa kita hanya punya 1 kesempatan."

"Kau bawa harmonica?"

Ia mengangguk dan mengeluarkan harmonica-nya. "Aku membebaskan Yang Terhormat Saha dengan hanya membunyikan harmonica saja."

Aku mengangguk.

"Hey.. Ide kita sama," Christ terkekeh. Ia mengamankan harmonica-nya di saku celananya. Menepuk-nepuk memastikan itu aman.

Bagus. Kita mulai kegaduhan.

•••

Memang tidak mudah untuk dapat mencapai titik terakhir. Terutama, aku hanya berdua dengan Christ. Panah ini tidak akan pernah habis. Itu membuatku semakin semangat. Tapi aku berani jujur, Christ lebih gesit daripada aku.

Another World Sahaara LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang