empty

9.3K 580 5
                                    

Gerald sama sekali gak mengenal Julia Arfani. Lalu siapa dia? Sehingga dia sangat penting bagi Brian.

Entah ini aku gak konsen atau pikiranku isinya penuh dengan Brian, pelajaran sangat membosankan bagiku.

"Ve, nanti kita ngikutin Brian lagi ?" Aku mengangguk lemas.

"Tapi gue gak yakin bisa nemu petunjuknya Tha"

Entahlah. Akurasa Brian terlalu misterius buat di korek.

"Ahhh~ Gerald follow guee" pekik salah satu cewek diikuti riuhan cewek lain.

Sontak aku dan Thata langsung melihat sumber suara itu. Patricia ! dia sangat kegirangan di follow Gerald.

"Ngapain Gerald follow Patricia? dia kan tau kalo Patricia nyekap gue di toilet di gudang juga."

"Lagian, gue juga di follow. Dan gue biasa aja. Alay emang Patricia !"

Entah ada apa hari ini, sepertinya menyebalkan.

****
Besok, adalah hari pengumpulan tugas. Mau gak mau hari ini aku harus menyelesaikannya.

Aku sekarang berada di depan rumah Gerald. Aku memencet bel rumahnya. Tidak ada tanda tanda kehidupan. Lalu ada seseorang yang membuka.

"Reva ?" Aku langsung mendongakkan kepala. Brian tepat di depan mataku. Rupanya aku sudah terbiasa dengan panggilan Reva.

"Gerald ada, gue ada janji sama dia?" Tanyaku tanpa basa basi.

"Lo mau jawaban bohong atau jujur?" Pancing Brian.

"Oke, gue jujur gue gak janjian sama Gerald. tapi gue pengen belajar mtk !" Jelasku cepat. Brian tersenyum melihatku berterus terang

"Kalo lo pengen belajar, lo bisa masuk. Tapi sayangnya Gerald gak di rumah" kali ini Brian yang menjelaskan.

Ya tuhaaan. Terpaksa aku masuk. Kali ini biarlah Brian yang menolongku.

"Yang mana?" Tanyanya.

"Yang ini" kataku sambil menunjukk soal soalnya

Brian menjelaskan dengan sangat gampang. Membuatku mengerti soal mtk.

Sesekali dia meracau kesal karena aku gak bisa mengerjakannya dengan benar.

"Bagus, udah bener semua" kata Brian sambil mengunyah makanan.
"Yeaay !!" pekikku

"Akhirnya, otak lo encer juga" pekiknya. Aku menimpuknya dengan bantal. Dia membalasku keras. Tepat dikepalaku.

"Awww!!" Aku memekik kesakitan. Jahat sekali memang. Dia tega sekali melawan cewek. Brian mengecek jidatku. Memeganginya.

"Mana yang sakit" dia memencet mencet kepalaku. Mukanya tepat di depan mukaku.

Dari dekat terlihat sekali contour mukanya. Garis pipinya. Hidungnya yang mancung. Bahkan aku bisa melihat bola matanya yang coklat dengan jelas. Tiba tiba jantungku berdegup kencang.

"Yang ini?" Tanyanya sekali lagi. Aku bahkan tidak bisa mengalihkan mataku ke wajahnya. Brian kemudian melihatku. Matanya beradu dengan mataku beberapa detik.

Aku tak tahu apa yang ada dipikirannya. Apakah dia sama deg deg an nya denganku. Aku memalingkan mukaku, begitupun Brian

Rasa canggung merebak ke ruangan ini. Bahkan aku berpikir keras apa yang harus ku katakan.

"Aku harus pulang, mama mungkin menungguku" akhirnya kata kata itulah yang keluar dari mulutku.

Brian mengangguk dan membenarkan perkataanku. Dia menawariku tumpangan.

Dream CatcherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang