Satu

37 1 0
                                    

Tek kotek kotek kotek...
Anak ayam turun sejuta...
Tek kotek kotek kotek...
Mati satu tinggal sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan...

Tek kotek kotek kotek...
Anak ayam turun sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh sembilan...
Tek kotek kotek kotek...
Mati satu tinggal sembilan ratus sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus sembilan puluh delapan...

BRAAKKK!!!

"SLEDRIII... !!!" Fela mengeluarkan suara super stereonya setelah menggebrak pintu ruang OSIS. Wajahnya yang biasanya manis kali ini terlihat sangar.

"Apaan sih, Fe? Berisik, tau!!" beberapa anak di ruangan itu mengeluarkan protes atas pelanggaran HAM yang baru aja Fela lakukan, yaitu mengganggu ketertiban umum dan melakukan penganiayaan terhadap telinga mereka.

Fela nggak peduli. Ia masing masang ekspresi layaknya singa yang siap melahap mangsanya.

"Ada apa sih, Fela Sayang?" seorang cowok jangkung mendekati Fela dengan senyum khasnya. Kedua lesung pipi yang terbentuk saat senyuman itu terukir membuat hati cewek-cewek yang melihatnya langsung lumer. Namanya Redrian, yang akrab dipanggil Rian –tapi Fela lebih suka manggil dengan sebutan Sledri. Dia sahabat Fela sekaligus ketua OSIS di sekolah Fela.

"Tanggung jawab!!" tuntut Fela begitu Rian sudah berdiri di hadapannya.

"HAH?" mulut Rian reflek menganga.

Ruangan itu mendadak senyap. Semua mata serentak tertuju pada dua sosok di depan mereka. Di bola mata mereka terpantul sebuah tanda tanya besar.

"Tunggu–tunggu! Tanggung jawab apa nih?" Rian masang tampang innocence. Ekspresi yang sanggup membuat tanda tanya seisi ruangan mengembang besar.

"Tanggung jawab atas apa yang udah kamu lakuin ke aku lah!!"

"HAAHHH???" mulut Rian bertambah lebar.

"Mangapnya biasa aja bisa?"

"Jangan bercanda deh. Nggak lucu."

"Siapa yang bercanda? Aku serius, tau! Kamu harus tanggung jawab!"

"Udah, Yan... tanggung jawab aja."

"Iya, Yan! tanggung jawab dong... Kamu udah ngelakuin apa sama Fela?"

"Jangan cuma mau enaknya aja, Yan. Giliran dimintai tanggung jawab ya harus tanggung jawab. Tapi aku nggak nyangka ternyata kamu orangnya kayak gitu."

"Tanggung jawab aja daripada ntar digorok sama Fela." Beberapa anak mulai memberikan dukungan kapada Fela untuk menuntut Rian.

Rian meremas-remas rambutnya frustasi. Ia benar-benar merasa terintimidasi dengan berpasang-pasang mata yang tengah menatap tajam ke arahnya, menuntut penjelasan atas apa yang ia sendiri belum tau pasti salahnya apa. Sebenarnya tanggung jawab untuk apa sih? Perasaan ia nggak pernah ngelakuin hal yang aneh-aneh sama Fela.

"Maksud kamu apa sih? Aku beneran nggak ngerti. Coba jelasin kenapa aku harus tanggung jawab ke kamu!"

Fela melotot, "Jadi kamu belum ngerti juga? Dengar, ya! Gara–gara kegiatan bodoh kamu, aku dipermalukan si depan para junior, tau!"

Ruangan yang tadinya diselimuti atmosfer penuh ketegangan, seketika itu meredam. Ekspresi cowok di depannya yang tadinya amburadul juga langsung berubah.

"Ah, kamu, Fe! Aku kira beneran udah diapa–apain sama Rian."

"Iya, nggak asyik banget."

Penonton kecewa kalo ternyata endingnya hanya seperti itu. Jauh banget dari yang mereka bayangkan.

"Huahaha... Jadi hanya gara–gara itu?" tanya Rian di sela–sela tawanya. Tubuhnya sampai membungkuk menahan tawa.

Fela makin melotot, "Apa? Kamu bilang HANYA? Kamu nggak tau sih penderitaan apa yang baru aja aku terima," ucapnya bersungut–sungut.

Rian tambah cekikikan. Sesekali ia meringis sambil memegangi perutnya yang kaku.

"Nyebelin banget sih!" Fela memonyongkan bibir.

"Hmmfff.... Sori–sori. Terus kamu mau aku tanggung jawab apa?"

"Ikut aku!" Fela menarik dasi Rian dan memaksa cowok itu ikut dengannya.

* * *

"Ckckck... ini laper apa doyan? Kayak nggak dikasih makan seminggu aja," komentar Rian yang dari tadi menatap Fela dengan takjub. Nggak lebih dari 3 menit, semangkok miso (mie bakso) dan segelas es jeruk udah menjadi penghuni perut cewek itu. Sementara mangkok di depannya masih utuh, malah nyaris belum tersentuh. Perutnya mendadak penuh melihat cara makan Fela yang ekstrim kalo lagi marah.

"Cerewet! Ini gara–gara kamu juga, kan?" tukas Fela. Tangannya secepat kilat menggeser mangkok di depan Rian.

"Kok punyaku diambil juga?"

"Daripada cuma kamu pelototi, mending aku makan," jawab Fela dengan mulut penuh bakso.

"Kalo tiap hari kamu makannya kayak gini, bisa tekor aku."

"Perhitungan banget sih. Cuma seminggu, juga. Ini tuh belum seberapa dibanding penderitaan yang aku alami. Malu, tau!"

"Iya–iya." Rian ngalah.

"Terus selain harus nraktir kamu selama seminggu, aku harus tanggung jawab apa lagi? Jangan yang aneh–aneh, lho!"

"He-eh, untung kamu ingetin," Fela menelan bakso yang masih mengganjal di tenggorokannya sebelum melanjutkan bicara.

"Aku mau kamu membalas penderitaanku."

"Maksudnya?"

"Maksudnya kamu harus ngerjai junior itu."

"Caranya?"

"Aduh... please deh! Kamu itu kan ketua OSIS. Masa ngerjai junior aja masih tanya caranya. Terserah deh mau kamu apain. Mau kamu banting, tendang, aniaya bahkan kamu mutilasi juga nggak apa-apa, yang penting penderitaanku impas. Kamu kan punya wewenang," Fela jadi senewen. Dasar, ngakunya sok jenius, ternyata!

"Nggak bisa gitu dong. Itu sama aja menyalahgunakan wewenangku sebagai ketua OSIS," Rian langsung nolak. Ia nggak mau statusnya sebagai ketua OSIS tercoreng hanya karena urusan balas dendam pribadi.

"Sekali–kali menyalahgunakan wewenang kan nggak apa–apa. Yang kebanyakan terjadi emang seperti itu kok," ucap Fela setelah menyeruput es tehnya.

"Tapi aku mau OSIS masa kepemimpinanku mendapat predikat baik di mata semua. Lagian kamu lupa kata Pak Roni, MOS itu bukan ajang perpeloncoan, bukan ajang buat balas dendam atau unjuk senioritas."

Fela diam. Meskipun hatinya agak dongkol, tapi ia bisa ngerti kenapa Rian menolak permintaannya. Rian itu orang yang yang akan memegang teguh prinsip dan amanat yang diberikan orang lain padanya apapun yang terjadi.

Ekspresi Fela mendadak berubah ketika matanya menangkap sesosok makhluk.

"Nah, itu dia biang kerok dari penderitaanku," ucap Fela berapi–api. Ubun-ubunnya kembali berasap.

"Mana?" bola mata Rian bergerilya mencari sosok yang dimaksud Fela.

"Itu, tuh! 3 cowok yang baru datang, yang pake kacamata."

"Oh, dia? Namanya Arsya, kan? Dia emang pintar. Waktu tes PPDB kemarin dia dapat nilai tertinggi," jelas Rian. Matanya masih terpusat pada junior yang sedang duduk di pojok kantin.

Sepertinya junior itu sadar dirinya sedang diperhatikan. Dengan PD ia melayangkan salam dua jari pada Fela. Kemudian kedua tangannya digerakkan seperti sayap ayam.

Tekanan darah Fela kembali naik melihat ulah junior itu. "Kamu liat kan gayanya. Ugghhh... nyebelin banget. Pokoknya aku nggak rela... Nggak rela!! Kamu harus bantu aku untuk balas dia," Fela menancap–nancapkan garpu pada baksonya dengan kasar.

"Iya–iya, aku bantu!!"



Sledri TengilWhere stories live. Discover now