Tiga

19 1 0
                                    

MOS hari ke–2

"Semua baris yang rapi. Sikap harus sempurna. Nggak ada acara nutupi kepala karena takut panas, terutama yang cewek," suara stereo Ikhsan menggema di lapangan sekolah, menginstruksi beberapa junior yang berdiri di depannya. Posturnya yang tinggi dan gagah semakin menunjukkan kewibawaan pada dirinya.

"Tapi panas, Kak...!" ucap salah satu junior cewek, tangannya sibuk menata rambut untuk menutupi wajahnya. Begitu pula yang dilakukan para junior cewek lain yang ikut terjaring dalam sidak kelengkapan atribut MOS. Mereka yang atributnya kurang lengkap terpaksa harus terjaring razia.

"Jangan khawatir, masih banyak toko yang menjual pemutih wajah."

"Sialan!" Fela yang mendengar ucapan Ikhsan mengumpat dalam hati. Mungkin itu juga yang diucapkan para juniornya.

Kalo urusan kedisiplinan, Ikhsan emang nggak kenal kompromi. Maklum, ayahnya seorang anggota perwira TNI. Wakil ketua OSIS itu juga yang mencetuskan peraturan 'denda Rp. 5.000/menit' tiap telat rapat OSIS yang sanggup membuat pengurus–pengurus lain senewen lantaran mendadak miskin.

Mata Fela menyipit ketika seorang junior berjalan ke arahnya.

"Halo, Kak Fela...!" sapa Arsya dengan senyuman termanisnya. "Gimana kabar anak ayamnya?" sambungnya.

"Nggak usah sok akrab," jawab Fela ketus. Arsya terkekeh melihat ekspresi Fela.

"Untuk apa kamu menghadap saya?" tanya Fela, masih dengan nada yang sama.

"Oh... disuruh Kak Ikhsan. Katanya Kakak sebagai penanggung jawab kandang ayam –setiap kelas memang diberi nama dengan nama binatang- jadi masalah sanksi diserahkan sepenuhnya sama Kakak."

Mata Fela berbinar. Ikhsan emang T-O-P. Nggak rugi minta bantuan ke dia. Tapi sedetik kemudian Fela buru-buru sadar dan berdehem untuk menetralkan hatinya.

"O-oh, gitu?" Fela mencoba bersikap biasa aja. Perubahan sikap kilat yang kontras antara ucapan dan ekspresi pada wajah Fela membuat Arsya kembali terkikik. Tanpa Fela sadari, binar nyala api pada kedua matanya tadi udah terekam jelas di otak Arsya.

"Kenapa ketawa? Ada yang lucu?" tanya Fela.

"Ehm... Enggak." Arsya mati-matian menahan tawanya agar nggak lepas lagi.

"Kamu tau, kamu udah memberi contoh yang kurang baik bagi teman-teman sekelasmu. Dari kandang ayam cuma kamu, kan yang dihukum?"

"Dih, harusnya Kakak tuh bangga sama aku. Niatku tuh baik, mau mewakili kandang ayam buat ikut berpartisipasi meramaikan sidak. Masa kandang bebek, sapi, kuda, harimau bahkan monyet pada ikut berpartisipasi tapi kandang ayam adem ayem? Kan nggak adil, mentang-mentang ayam paling kecil."

Sabar....!! teriak batin Fela, "Kenapa bisa dihukum? "

"Lupa nggak bawa atribut ayam."

"Kenapa bisa lupa?"

"Nggak ingat."

"Kenapa nggak ingat?"

"Lupa."

"Kenapa bisa lupa?"

"Nggak ingat."

"Kenapa bisa... Aduh, udah nggak usah ngeles. Kenapa bisa sampai lupa dan nggak ingat?" Fela buru–buru sadar ia telah masuk lingkaran setan.

"Lah, namanya juga lupa dan nggak ingat. Jadi alasannya juga karena lupa dan nggak ingat."

Fela menarik napas panjang, menahan emosi, "Kamu emang pantas dihukum," desisnya.

"Oke, kemarin kamu tau, kan aku belum selesai menyanyikan lagu 'Anak ayam turun sejuta'? Aku mau kamu yang nyelesaiin."

"Balas dendam nih ceritanya?" Arsya langsung bisa menebak maksud dan tujuan seniornya.

"Udah, nggak usah protes. Ingat, ya! gimanapun caranya anak ayamnya harus habis. Satu lagi, harus pakai gerakan seperti ayam."

Arsya menarik sebelah bibirnya ke atas, keningnya sampai mengkerut. Fela tersenyum menang saat junior di depannya terlihat berpikir keras.

"Yang penting anak ayamnya habis, kan? Oke, siapa takut?" Arsya buka suara setelah diam beberapa saat. Fela tersenyum sinis melihat sikap sok yakin junior tengil itu.

"Ehem... Tek kotek kotek kotek... Anak ayam turun sejuta. Tek kotek kotek kotek... Dibom atom mati semua. Selesai, kan?"

Bola mata Fela membulat. Apa–apaan nih? Rekor lagu terpanjang sejagad raya berhasil dipatahkan hanya dalam hitungan detik.

* * *

"DASAR JUNIOR TENGIL...!!" Fela membenamkan wajahnya ke bantal. Punggungnya masih naik turun, menandakan tensi emosinya masih belum stabil.

Fela nggak pernah membayangkan bisa bertemu junior tengil yang bernama Arsya itu. Apalagi si Tengil itu masuk kelas yang ia dampingi.

Sejak hari pertama MOS dimulai tiga hari yang lalu, Arsya selalu membuat masalah dengannya. Sampai acara MOS ditutup siang tadi, ia masih belum bisa mengerjai balik junior itu. Yang ada malah dia yang dibuat uring–uringan duluan.

Seperti tadi, saat ia nyuruh Arsya untuk menghadap Rian, si Tengil itu malah jawab.

"Aku tau Kakak kesal dan benci sama aku, tapi aku nggak nyangka Kakak setega itu," ucapnya dengan ekspresi seakan-akan sangat terluka.

Jelas Fela bingung dengan omongan Arsya, "Maksudnya? Nggak usah lebay bisa?"

"Kakak nyuruh aku menghadap Rian. Nanti kalo aku menjadi korban mutilasi gimana? Kakak mau dituntut karena ikut terlibat? Aku emang mau terkenal di media. Tapi sebagai artis, bukan sebagai korban mutilasi. Kan nggak etis aku yang keren, imut dan lucu ini jadi hot news sebagai korban mutilasi."

HUUUAAA... Pokoknya sebel... sebel... sebel!!! Kenapa, sih ia selalu sengsara saat MOS? Dulu saat jadi junior, ia dikerjai habis–habisan oleh seniornya. Sekarang saat ia mendapatkan kesempatan untuk balas dendam, malah ia yang dikerjai juniornya. Apa ini peringatan dari Tuhan kalo balas dendam itu nggak baik?

Sledri TengilWhere stories live. Discover now