"Bener nggak sih ini rumahnya?" Fela bertanya pada dirinya sendiri. Ia mengamati rumah di depannya dengan seksama. Fela akhirnya bersedia memenuhi undangan dari bundanya Arsya. Maunya sih nggak datang, males banget kalo ketemu si Tengil itu. Tapi ia merasa nggak enak juga mau nolak.
Fela melihat sekali lagi kertas berisikan alamat yang diberikan bundanya Arsya tempo hari. Jalan dan nomor rumahnya udah bener, kok. Lagipula ada banyak bunga yang memenuhi halaman depan rumah, persis seperti kata bundanya Arsya.
Tok... tok... tok....!!!!!
Fela mengetuk pintu dengan ragu. Ia masih berdoa dalam hati semoga dirinya beneran nggak nyasar.
Klek! Pintu terbuka.
"Malam, Rasya...!" sapa Fela begitu Rasya muncul dari balik pintu. Syukurlah nggak nyasar.
"Bunda... Kak Fela udah datang...!!!"
Dasar anak kecil, Rasya bukannya mempersilakan Fela masuk, tapi malah berlari ke dalam sambil berteriak memanggil bundanya. Jadi, Fela ditinggal sendirian di depan pintu.
"Maaf, cari siapa?" terdengar suara dari belakang. Fela menoleh. Ekspresi malesnya langsung keluar. Tuh kan ketemu makhluk ini lagi.
"Lho, kok..." Arsya kaget begitu tau siapa tamunya. Ia mendekati Fela untuk memastikan itu memang seniornya.
"Kok ada di sini. Ngapain?" lanjutnya, bingung. Belum sempat Fela menjawab, Arsya udah nyerocos lagi.
"Oh, aku tau! Yaela.... nggak usah segitunya, kali. Besok juga ketemu di sekolah. Udah kangen banget ya sampai dibela-belain nyari alamatku dan datang ke sini? Duh, jadi terhura. Jadi aku diterima nih jadi sephia kamu?"
Fela sok tuli, males nanggapi. Ia jadi sedikit nyesel datang ke sini. Kalo bukan gara-gara bundanya Arsya, nggak bakal deh ia sudi datang ke rumah ini.
"Eh, Fela udah datang. Kok nggak diajak masuk?"Akhirnya, penyelamat datang.
***
"Om.... Tante.... Makasih makan malamnya," ucap Fela sebelum pulang.
"Kami juga berterima kasih sekali sama kamu udah mau datang ke sini," ucap ayah Arsya.
"Kamu pulang sendiri?" ganti bunda Arsya yang ngomong. Fela mengiyakan.
"Biar Arsya aja yang ngantar."
"Enggak usah, Om.... Saya bisa pulang sendiri," Fela langsung menolak.
"Nggak! kamu diantar Arsya aja. Udah malam, nggak baik anak cewek pulang sendirian. Ar, kamu antar Fela!"
"Ayah emang pengertian banget," Arsya terkekeh dan masuk ke dalam. Beberapa saat kemudian ia keluar dengan jaket, kunci motor dan 2 helm.
"Kak Fela kapan-kapan main lagi ya...!" Rasya ikut ngomong yang langsung ditanggapi Fela dengan jawaban iya. Motor pun meluncur pergi.
Jalanan begitu lengang. Hanya beberapa kendaraan yang masih on the way. Arsya menjalankan motornya dengan kecepatan sedang.
"Heh, kamu masih di motor, kan?" tanya Arsya di tengah perjalanan.
"Menurut kamu?"
"Aku kira udah loncat dari motor. Habis nggak ada suaranya sih."
"Kenapa, kamu terlalu nervous ya berada satu motor dengan jarak sedekat ini sama aku? Atau kamu nyesel nggak bisa meluk aku gara-gara duduknya nyamping? Mau tukar posisi biar bisa meluk aku?" lanjut Arsya.
Dih, mulai lagi, batin Fela. Ia emang sengaja duduk nyamping biar nggak perlu pegangan apalagi sampe meluk cowok itu.
Akhirnya mereka sampai di depan rumah Fela.
"Thanks," ucap Fela setelah turun dari motor dan menyerahkan helm.
"Aku nggak ditawari masuk?" tanya Arsya begitu Fela membalikkan badan, siap masuk rumah.
"Sekedar mampir minum atau apa gitu. Syukur-syukur ketemu orang tua kamu. Aku kan pengen kenalan juga sama calon mertua."
"Nggak usah aneh-aneh. Nggak usah ngarep."
"Oh, iya ding, aku kan cuma selingkuhan ya." Arsya memasang ekspresi sedih.
"Oke, aku akan nunggu sampai aku jadi pacar resmi kamu. Makanya kamu cepet putus gih sama pacar kamu yang jauh di mato itu. LDR-an itu nggak enak deh pokoknya."
Fela memutar bola mata. Makin malam, makin kumat aja ketengilan si Setan.
"Semerdekamu lah." Fela milih ngalah. Ia membalikkan badan lagi tapi lagi-lagi Arsya mencegahnya.
"Kamu belum bayar." Arsya menengadahkan tangan.
"Bayar?" Fela kaget plus bingung.
"Iya, bayar. Tadinya sih mau ngasih gratisan karena aku udah diterima jadi selingkuhan, tapi kayaknya aku yang terlalu ge-er. Dan berhubung aku udah jadi ojek kamu. Jadi sekarang aku minta bayaran."
"Tapi kan aku nggak minta kamu ngantar aku. Salah sendiri tadi kamu mau disuruh ngantar," Fela mulai emosi lagi.
"Terserah, yang penting kamu udah terlanjur naik motorku. Jadi kamu harus bayar."
Tangan Fela bergerak-gerak. Ingin sekali rasanya membinasakan spesies yang satu ini. Dulu waktu hamil, bundanya nyidam apa sih? Padahal tadi Fela udah bisa sedikit mengubah penilaiannya terhadap Arsya. Tapi sekarang semua itu udah nggak berlaku lagi.
"Oke, jadi berapa yang harus aku bayar?" Fela membuka tasnya.
Arsya tersenyum menang. Ia paling suka kalo Fela udah ngamuk-ngamuk. Skor 2-0
"Em.... aku nggak minta bayaran uang."
"So?"
"Sebagai gantinya, besok Minggu temani aku jalan-jalan."
"Nggak!"
"Cuma jalan-jalan, nggak aneh-aneh, kan? Kenapa, kamu malu jalan sama junior?"
Fela diam. Itu emang salah satu alasannya.
"Kok nggak jawab? Kalo nggak jawab berarti setuju. Oke, besok Minggu pokoknya kita jalan. Tempat dan waktu nanti aku kasih tau. Sampai jumpa besok Minggu, da....!!" motor Arsya udah melaju sebelum Fela sempat memberi penolakan.
Apa-apaan, sih cowok itu? Ngambil keputusan sendiri seenak udelnya. Jalan? Sama junior tengil itu? Ya ampun...!