Sepuluh

7 1 0
                                    

Sejak insiden di depan sekolah tadi pagi, pikiran Arsya kacau. Ia jadi nggak bisa konsen dengan pelajaran. Semua materi yang diterangkan guru menguap begitu saja. Ia juga nggak aktif bertanya atau menjawab pertanyaan dari guru. Suatu pemandangan yang janggal yang pertama kali dilihat oleh teman-teman sekelasnya.

Nggak ada yang tau kalo jiwa Arsya sedang tertarik ke sebuah lorong waktu, menembus suatu masa yang selama ini sangat amat ingin ia lupakan. Ia hampir berhasil, sebelum kejadian tadi pagi berhasil mematahkan usahanya selama ini.

"Kenapa, Bro?" tanya Ido pada Arsya yang sibuk memasukkan peralatan tulisnya dengan ogah-ogahan. Nggak ada sahutan. Ido berdecak kesal. Tubuh Arsya memang tetap melakukan kegiatannya, tapi Ido yakin nyawanya entah kelayapan ke mana.

"Wooyyy!!!" Ido menabok keras punggung Arsya.

Arsya terlonjak kaget, "Anjir. Sakit tau!" Arsya balas menabok teman sebangkunya itu.

"Lagian bengong mulu sih. Dipanggil dari tadi dieeemmm aja. Kamu sakit? Wajah kamu pucat gitu."

"Nggak, aku sehat kok."

"Terus?" Ido menyipitkan kedua matanya, "Kamu nggak abis kesambet kan? Tadi pas dihukum, kamu nggak kencing di pohon pojok lapangan itu kan?"

"Sialan, makin ngaco aja ya tuh mulut. Ditabok pake sepatu enak kali ya," Arsya bangkit dan berjalan keluar kelas.

"Hehehe... Ya kali aja. Habisnya kamu aneh banget hari ini," Ido mengekor di belakang.

"Kenapa sih?" Ido mengulangi pertanyaan yang belum terjawab tadi.

"Kamu nggak lagi patah hati kan? Atau kamu punya masalah sama cewek? Atau kamu lagi naksir sama cewek tapi nggak berani bilang? Atau..."

"Beneran aku tabok pakai sepatu nih," ancam Arsya. Ido mingkem seketika. Bahkan kedua bibirnya sampai ia benamkan ke dalam.

Teman sebangku Arsya yang didapat saat MOS ini emang agak mirip cewek. Punya tingkat ke-kepo-an yang lumayan tinggi, kadang sedikit lebay juga sih. Cerewet dan sama gilanya dengan Arsya kalo lagi kumat.

"Aku cuma nggak mau aja terjadi sesuatu sama kamu. Kamu kan tau kalo masa depanku bergantung sama kamu," kata Ido kalem.

Arsya menghentikan langkah dan memutar badan. Ia menatap lama pada orang di hadapannya yang tengah menundukkan kepala. Kemudian ia tersenyum, lebih tepatnya tersenyum geli. Ia paham, sangat paham kalo hidup mati teman sebangkunya ini selama di kelas sangat bergantung padanya, terutama kalo sudah berurusan dengan mafia (Matematika Fisika Kimia). Jam terakhir nanti emang udah dijadwalkan kelasnya akan bertempur melawan pasukan soal matematikanya Bu Indar.

"Tenang aja. Aku pastikan masa depanmu nggak bakal suram."

Ido menatap Arsya dengan tatapan puppy eyes. Firasat Arsya jadi nggak enak. Tangan Ido terentang lebar dan siap menubruk orang di depannya.

"Thank, Bro! Kamu emang..." Nah, kan!

"Weitz... nggak ada peluk-pelukan. Aku nggak mau jadi jomblo permanen gara-gara dianggap homo-homoan sama kamu." Arsya menyilangkan tangannya di depan dada.

"Kalo jadi homo sapien mau?"

"Amit-amit deh. Tapi nggak mungkin juga sih. Mana ada homo sapien yang cakep kayak aku gini?" Arsya menyisir rambutnya ke belakang dengan jari.

Ido ngakak seketika. Arsya is back. Ia melingkarkan tangannya ke pundak Arsya dan merekapun berjalan berangkulan menuju kantin.

Sledri TengilWhere stories live. Discover now