Siang yang panas. Sekolah udah sepi. Hanya terlihat beberapa siswa yang masih berada di sana, sedang menunggu jemputan atau menunggu kegiatan ekskul dimulai.
Rian yang baru saja selesai rapat OSIS melangkahkan kakinya menuju parkiran dengan tergesa. Mamanya sudah ribut menelponnya dari tadi, memintanya untuk cepat pulang. ia emang udah janji mau mengantarkan mamanya ke rumah sodara. Namun, langkahnya langsung terhenti saat sudut matanya menangkap sosok Fela yang berdiri di samping gerbang sambil sesekali melihat ujung jalan dan jam di tangan secara bergantian.
Rian tertegun sejenak. Ditatapnya gadis itu lekat-lekat. Wajah gadis itu tampak cemas, tapi siapapun dapat melihat aura bahagia yang tercetak dari wajahnya.
"Belum datang?" tanya Rian begitu melewati Fela. Fela menaikkan alisnya dan menggeleng.
"Ini udah hampir sejam lho dari bel pulang. Coba telepon. Kali aja Novan lupa atau ketiduran."
"Udah, tapi nggak diangkat. Mungkin dia lagi di jalan."
"Mau aku temani sampai Novan datang?"
"Nggak usah. Bukannya kamu ada janji sama mama kamu? Paling bentar lagi Novan datang."
Rian menatap Fela lama dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada sesuatu di dalam dirinya yang berdenyut sakit. Sesuatu yang membuat dadanya sesak.
"Iiihhh... apa sih natap kayak gitu? Aku bakal baik-baik aja kalo itu yang kamu takutin. Udah pulang sana. Udah ditunggu Tante Sonya noh buat disuapin," Fela mendorong tubuh Rian.
Rian tersenyum sumir, "Ya udah aku pulang. Telpon kalo ada apa-apa."
"Rebes dah." Dan motor Rian pun melaju meninggalkan Fela.
* * *
Lima belas menit... Dua puluh lima menit... Orang yang ditunggu belum datang. Fela sedikit gelisah. Namun, rasa bahagia mampu meredam semua yang mengganggu pikirannya.
"Mbak Fela, kan? Kelas XII MIA-1 temannya Mas Novan?" Pak Narto, satpam sekolah mendekati Fela dan bertanya.
"Iya. Ada apa, Pak?" Fela balik tanya.
"Sebelumnya Bapak minta maaf. Tadi Mas Novan ke sini dan nitip amplop ini sama Bapak. Katanya buat Mbak Fela."
Fela menerima amplop dari Pak Narto diselimuti tanda tanya besar.
"Sebenarnya Bapak mau ngasih amplop ini sejak tadi. Tapi Bapak keburu dipanggil kepala sekolah, terus Bapak jadi lupa ngasih. Sekali lagi Bapak minta maaf."
"Memang Novan ke sini jam berapa?"
"Em... kalo nggak salah sekitar jam delapan tadi."
"Ya udah, makasih banyak ya, Pak."
Dada Fela terasa sangat sesak. Air matanya pun udah nggak dapat ia bendung lagi begitu mengetahui isi amplop yang ternyata adalah surat pamitan Novan yang akan pergi jauh.
Fela segera berlari ke belakang perpustakaan, ke tempat favoritnya. Ia nggak peduli dengan teriakan Pak Narto yang memanggil-manggil namanya. Sesampainya di salah satu pohon, Fela menempelkan pantatnya di akar pohon yang muncul dari tanah dan bisa berfungsi sebagai tempat duduk.
Masih beruraian air mata, Fela membaca tulisan itu sekali lagi. Memastikan bahwa apa yang ia baca adalah benar.
'... Hari ini aku harus terbang ke London. Pesawat take off jam 11. Maaf, bukannya aku nggak mau ngasih tau, tapi ini juga terlalu mendadak bagiku. Rencananya aku baru akan pergi besok, aku nggak tau kalo keberangkatanku maju satu hari dari rencana awal. Papa yang ngatur semua.'
Fela meraba saku baju dan saku rok, bermaksud mengambil HP, tapi nggak ada. Ia mencari di dalam tas juga nggak ada. Sedetik kemudian ia baru ingat kalo tadi pagi HPnya masih ia charge di kamar.
Tangis Fela semakin keras. Yang paling membuatnya sedih adalah ia nggak bisa ketemu Novan untuk yang terakhir kalinya walo hanya sekedar untuk 'say bye'.
"Cuaca panas gini kok di sini hujan?" terdengar suara tanpa wujud.
Fela melakukan senam kepala, mancari sosok si empunya suara. Tapi nggak ada siapa–siapa. Lalu siapa tadi yang ngomong? Bulu kuduk Fela berdiri.
Tiba–tiba... HUP!
Sesosok makhluk muncul dari atas pohon dan langsung duduk di samping Fela seraya tersenyum manis. Kemunculannya yang terlalu mendadak sempat membuat Fela terlonjak kaget.
"Kamu!!" seru Fela begitu tau makhluk itu adalah si setan tengil, Arsya.
"Hai..." Arsya berhigh five. Sepintas adegan 'pintu belakang' kemarin terlintas di benak Fela.
"Aku kan udah pernah bilang jauh–jauh dariku. Ngapain kamu masih ngikuti aku?"
"Siapa yang ngikuti kamu? Ge-er! Lagian kamu tuh, ya... Udah gede masih suka nangis. Nggak malu sama anak kecil?"
Fela bangkit dalam diam. Males menanggapi celotehan si Setan di saat hatinya sedih begitu.
"Eh, mau ke mana? Acara nangisnya udah selesai?" non respon.
Kaki Fela sudah siap melangkah, tapi dengan cepat Arsya menarik kertas yang ada di tangan Fela sehingga memaksa cewek itu membatalkan niatnya untuk pergi.
"Oh... ditinggal hijrah ke London nih ceritanya? Pantes...! Kayak lagunya The Changcuter aja," komentar Arsya setelah membaca sekilas tulisan di kertas.
"Bukan urusan kamu!!" tensi emosi Fela naik. Ia berusaha merebut kertas itu, tapi Arsya menghindar dengan cepat. Fela terus berusaha, tapi posturnya yang kalah tinggi dari Arsya membuatnya sulit menjangkau dan mengambil kertas itu dari tangan Arsya.
"Maksud kamu apa sih?!" emosi Fela benar–benar mencapai puncak. Matanya yang semakin merah menatap tajam kepada orang di depannya yang sepertinya sangat amat sengaja sekali mempermainkan dan membuat dirinya marah.
Arsya menyunggingkan sebelah bibir sambil menaikkan kacamatanya dengan telunjuk.
"Sebenarnya sih aku nggak punya maksud. Aku hanya..." ucapan Arsya terpotong oleh gerakan tubuhnya yang menghindar dari tangan Fela yang terulur cepat, masih berusaha merebut surat itu.
Sadar usahanya sia-sia, Fela melampiaskan kemarahannya dengan menendang keras kaki kanan Arsya. Cowok itu mengerang dan reflek membungkukkan badannya. Belum cukup dengan itu, Fela menyodok punggung Arsya dengan sikutnya, membuat Arsya mengerang lebih keras. Saat itulah Fela merebut paksa surat itu dari tangan Arsya. Kemudian ia berbalik arah dan pergi meninggalkan tempat itu setelah melepas –dengan paksa pula- kaca mata Arsya dan membuangnya di sela–sela rerumputan.
Mata Arsya terus mengikuti kepergian sosok Fela yang lama-lama terlihat buram... buram.... dan semakin nggak jelas.