Dua Puluh Dua

8 1 0
                                    

Sejak pertemuannya dengan Tante Ratna, Rian selalu datang ke tempat perbelanjaan tempat ia bertemu dengan Tante Ratna beberapa hari yang lalu.

Rian tau Tante Ratna ada di kota ini. Tapi di mana alamatnya, Rian nggak tau. Nggak mungkin ia mendatangi setiap rumah untuk mencari Tante Ratna. Satu–satunya tempat yang memungkinkan agar dirinya bisa bertemu dengan Tante Ratna adalah tempat perbelanjaan itu.

Rian benar–benar menyesali kebodohannya yang lupa minta alamat Tante Ratna. Padahal, Tante Ratna adalah kunci agar ia bisa ketemu Archi.

Rian menatap bayangan wajahnya di cermin. Wajah yang ia sendiri muak untuk melihatnya.

Ingatan Rian kembali pada masa kecilnya, saat ia menjadi penguasa di kelasnya karena badannya yang lebih besar dari teman-temannya. Ia sering sekali berlaku seenaknya sama Archi sejak masih TK, hanya karena Archi lebih sering unggul dan mendapat perhatian lebih dari guru, teman–teman serta dari cewek yang ia taksir.

Rian ingat betul bagaimana ia dulu sering nantang Archi berantem, sering merebut bekal Archi, sering merebut bahkan merusak mainan Archi, sering ngerjai Archi, dan terakhir ia ingat banget waktu kelas 1 SD menjelang kenaikan kelas, ia dan gang kecilnya sengaja menyuruh Archi manjat pohon untuk ngambil mainannya. Archi yang naik dengan tangga nggak bisa turun lantaran tangganya udah sengaja diambil. Sesuai rencana, Archi kepleset saat turun hingga kepalanya harus dijahit. Itu merupakan kesempatan terakhirnya ngerjain Archi karena setelah itu, ia mendengar kabar bahwa Archi dan orang tuanya mengalami kecelakaan. Mobil mereka masuk jurang hingga semua penumpangnya nggak ada yang selamat.

Sejak itulah Rian selalu dihantui perasaan bersalah. Perasaan yang pada awalnya hanya sebatas rasa takut akan dihantui oleh roh orang yang sering ia jahati, perlahan menjadi sebuah trauma -yang akhirnya membuat dirinya berjanji untuk menjadi anak yang baik. Meskipun kejadiannya sudah lama, tapi perasaan bersalah itu masih terpatri kuat di hatinya. Apalagi saat Archi masih hidup, perasaan itu selalu membayanginya setiap saat.

"AARRGGHHH...!!!" Rian meruntuk kesal. Tangan kirinya menghantam cermin di depannya hingga ia nggak bisa lagi melihat bayangan dirinya.

* * *

"YA AMPUN SLEDRI...!! TANGAN KAMU KENAPA DIPERBAN GITU?!" Fela histeris begitu masuk kelas dan mendapati telapak tangan kiri Rian dibalut perban.

"Hanya luka kecil, nggak apa-apa kok."

"Benar?" Fela kurang yakin.

Rian mengangguk pasti untuk meyakinkan Fela kalo ia baik–baik aja, meskipun sebenarnya ia sendiri merasa nggak baik–baik aja. Sejak pagi tadi ia merasa aneh dengan badannya.

Fela juga sadar kalo sebenarnya Rian nggak baik–baik aja. Wajah cowok itu terlihat pucat. Sesekali ia melihat Rian menyandarkan tubuhnya ke dinding sambil meringis pelan. Tapi setiap Fela tanya, Rian selalu menjawab kalo ia nggak apa–apa, hanya sedikit pusing.

"Udah, jangan bilang kamu baik–baik aja lagi. Pokoknya kita ke UKS sekarang," Fela terus berusaha mengajak Rian ke UKS.

Rian menggeleng pelan, "Aku nggak apa–apa."

"Apanya yang nggak apa–apa? Kamu itu sakit. Wajah kamu pucat banget, badan kamu panas. Pokoknya kita ke UKS!"

"Beneran aku nggak apa–apa. Lagian bentar lagi juga pulang," Rian masih keukeuh.

"Udah deh nggak usah sok kuat. Kita ke UKS sekarang. Aku nggak mau kalo penyakit kamu tambah parah. Ayok!" Fela menarik tangan Rian, memaksa cowok itu untuk bangkit.

Rian akhirnya mengalah dan menuruti Fela. Ia berusaha bangkit sambil memegangi kepalanya yang semakin sakit, matanya terpejam kuat.

Baru beberapa detik berdiri, tubuh Rian udah oleng. Fela buru–buru memegangi Rian supaya nggak ambruk.

"Tuh kan... Masih mau bilang kalo kamu nggak apa–apa?" ekspresi khawatir Fela semakin jelas.

"Tapi aku..." ucapan Rian terputus. Tubuhnya ambruk di pundak Fela diiringi jeritan Fela. Rian pingsan.

* * *

Rian membuka mata perlahan, tapi ia kembali memejamkan matanya dengan kuat. Kepalanya masih terasa berat.

Baru beberapa saat kemudian Rian membuka matanya lagi dan melihat sekitar. Ruangan ini terasa asing baginya. Semuanya serba putih dan ada bau aneh yang menyengat, semacam etanol.

"Alhamdulillah kamu sudah sadar, Yan!" ucap mama Rian lega. Fela yang ada di samping wanita itu, ikut mengucap syukur.

"Apanya yang sakit, Nak?" tanya mama Rian sambil mengelus kepala anaknya penuh sayang.

"Apa yang terjadi? Kok aku ada di sini?" Rian masih bingung kenapa ia ada di ruangan ini.

"Tadi kamu pingsan di sekolah. Sempat sadar bentar tapi kamu pingsan lagi. Karena takut terjadi sesuatu, makanya kamu dibawa ke rumah sakit," Fela menjelaskan.

"Dokter bilang kamu terkena tifus dan tensi darah kamu rendah banget. Kamu terlalu kecapekan, Yan... Belakangan ini kamu pulang malam terus, sementara perut kamu jarang diisi," Mama Rian ikut ngomong.

"Mama panggil dokter dulu ya," Mama Rian keluar kamar. Sekarang tinggal Fela dan Rian yang berada di kamar itu.

"Aku tau belakangan ini kamu sibuk nyari tantenya Archi. Tapi kamu nggak boleh ngelupain kesehatan kamu. Kalo kamu seperti ini, gimana kamu bisa nemuin Archi. Kamu butuh tenaga agar tetap bisa mencari Archi."

"Udah ada kabar?"

Rian menggeleng pelan, "Aku nggak tau harus nyari ke mana lagi."

"Kamu nggak boleh nyerah. Aku yakin suatu saat kamu bisa nemuin Archi. Tinggal masalah waktu aja. Everything's gonna be okay," Fela menggenggam tangan Rian dengan erat, berusaha memberi semangat.

Rian tersenyum dan mengangguk. Apa yang Fela lakukan barusan benar–benar membuat semangatnya kembali menyala. Fela nggak tau kalo sebenarnya jantung Rian sedang dag dig dug.

"Permisi..." terdengar suara dari arah pintu diikuti kemunculan cewek cantik berambut panjang yang masih berseragam lengkap.

"Rian, Ya ampun... kamu kenapa?" ucap cewek itu sambil meletakkan telapak tangannya di kening dan leher Rian ­setelah tadi menggeser posisi Fela dengan paksa.

"Tadi aku ke sekolah kamu, tapi katanya kamu dibawa ke rumah sakit dekat sekolah. Aku khawatir banget jadi aku langsung ke sini. Kamu sakit apa sih? Jangan sakit dong. Kalo kamu sakit kan aku jadi sedih."

Fela mengerutkan dahi dan menarik sebelah bibirnya ke atas. Sel–sel otaknya sedang bekerja untuk menemukan jawaban atas pertanyaan 'siapa cewek ini? Datang–datang langsung pegang–pegang Rian kayak gitu. Ganjen banget'. Jujur, Fela nggak suka.

"Kamu mau apa? Makan? Minum? Biar aku yang ambilkan." Cewek itu masih semangat menunjukkan perhatiannya pada Rian. Rian hanya diam sambil sebentar-sebentar melirik Fela.

Tiba–tiba Mama Rian masuk membawa nampan yang berisi semangkok bubur.

"Dokternya bentar lagi ke sini. Kamu makan dulu ya, Yan... Dokter bilang perut kamu harus segera diisi supaya kamu cepat sembuh."

Fela baru aja mau mengambil nampan itu dari Mama Rian, tapi lagi–lagi diserobot oleh cewek itu, "Biar aku aja, Tan yang nyuapin," ucapnya.

Fela tambah kesal. Sebenarnya cewek itu siapa sih? Teman Rian atau orang yang lagi dekat sama Rian?

Akhirnya Fela memutuskan untuk keluar daripada ia harus melihat Rian dan cewek itu pamer kemesraan. Apalagi Letta and the gang juga ke sini, membuatnya langsung pamit pulang.

Sledri TengilWhere stories live. Discover now