Sembilan Belas

4 1 0
                                    

Fela kembali melakukan kebiasaannya, datang pagi-pagi ke sekolah, duduk menyendiri mencari ketenangan sambil memikirkan masalahnya di bawah pohon favoritnya.

Namun, begitu sampai di tempat itu, ternyata Rian udah menunggunya di sana. Saat melihat Rian, Fela segera memutar langkah, tapi Rian lebih dulu menarik tangannya dan mencegahnya pergi.

"Kita perlu ngomong," katanya.

"Nggak perlu." Fela mengibaskan tangannya.

"Tapi aku perlu. Aku perlu tau kenapa kamu menghindari aku. Aku telepon nggak pernah diangkat, chat-chatku juga nggak pernah dibales. Aku ke rumah kamu tapi kamu nggak pernah mau ketemu. Kenapa? Aku punya salah sama kamu?"

Kenapa? Fela merasa lucu dengan pertanyaan yang Rian lontarkan. Kenapa? Itu juga yang ingin Fela ketahui jawabannya.

Kali ini Fela siap meledakkan emosinya yang sempat ia tahan. Ia ingin tau dengan jelas jawaban atas pertanyaannya. Namun, semua amarah yang ingin ia keluarkan mendadak hilang begitu Fela mencium bau wangi parfum Rian. Sial, kenapa setiap nyium wangi itu hatinya selalu luluh? Heran, apa parfum itu semacam 'minyak wangi nyong-nyong' yang udah kena jampi-jampi?

"Selama ini jadi apa aku di hidupmu?"

Rian kaget dengan pertanyaan Fela. Apa Fela tau rencana pernyataan cinta malam itu? Apa Fela marah karena tau dirinya akan menyatakan perasaannya? Apa Fela marah karena menganggap dirinya telah menghianati persahabatan mereka?

"Kenapa tanya seperti itu? Tentu aja, kamu itu sahabatku," jawab Rian cari aman -walo aku menginginkan kita lebih dari sekedar sahabat, batin Rian.

"Oh ya? Jadi kamu masih nganggap aku sahabat?" tanya Fela sinis.

"Menurut kamu, apa seorang sahabat itu tega ngebohongin dan ngecewain sahabatnya sendiri?"

"Enggak. Sahabat nggak akan pernah tega nyakiti sahabatnya sendiri. Karena kalo sahabatnya terluka, maka dia akan merasa lebih terluka lagi."

"Harusnya yang terjadi emang seperti itu. Tapi sayang nggak semua orang punya pikiran kayak gitu. Ada juga ternyata seorang sahabat yang tega nyakiti sahabatnya sendiri." Fela menarik napas, mengontrol emosi.

"Ada dua orang sahabatan. Sahabatnya itu baik, sering menemaninya makan, ngobrol, jalan, nglamun, sahabatnya itu juga selalu membantunya, selalu ada di saat suka maupun duka, dan orang itu sangat mempercayai sahabatnya.

Suatu hari orang itu ditinggal pergi oleh seseorang yang sangat ia sayang dan nggak pernah dapat kabar. Sahabatnya itu selalu menghiburnya. Orang itu merasa beruntung mempunyai sahabat yang baik. Tapi itu dulu, sebelum orang itu tau kalo ternyata sahabatnya sudah membohonginya. Semua yang sahabatnya katakan untuk menghiburnya itu ternyata hanya topeng untuk menutupi kebohongannya. Menurut kamu, apa salah kalo akhirnya orang itu marah dan kecewa dengan sahabatnya?"

"Nggak, orang itu berhak marah karena nggak ada orang yang mau dibohongi, apalagi dibohongi sahabat sendiri, pasti sakit banget," Rian udah tau arah pembicaraan Fela.

"Tapi kenapa sahabatku sendiri tega ngebohongi dan ngecewain aku?" Fela menatap Rian sengit.

"Jadi, kamu udah tau?"

"Menurut kamu?"

Keduanya saling diam untuk beberapa saat. Hanya kedua mata mereka yang berbicara. Satu dengan penuh bara api, sementara yang satu penuh dengan penyesalan.

"Maaf," ucap Rian lirih.

"Aku cuma nggak ngerti, kenapa kamu tega ngelakuin itu sama aku. Kamu tau gimana susahnya aku nyari kabar tentang Novan. Kamu juga tau gimana perasaanku saat aku sama sekali nggak pernah tau kabar Novan. Tapi kamu selalu ngeyakinin aku kalo Novan masih ingat aku dan suatu saat Novan pasti menghubungi aku. Tapi apa buktinya? Selama ini ternyata kamu sering komunikasi sama Novan dan kamu sama sekali nggak pernah ngasih tau aku!!" nada bicara Fela agak sedikit meninggi.

Ya, waktu Fela membuka chat Line di posel Rian waktu di restoran, ternyata Novan pengirimnya. Dari chat history itulah Fela yakin kalo selama ini diam-diam mereka sering berkomunikasi tanpa sepengetahuannya.

"Bukan maksudku seperti itu. Sumpah. Tapi Novan sendiri yang minta supaya aku merahasiakan hal ini dari kamu. Dia nggak ingin kamu tau."

"Dan kamu setuju?"

"Maaf, aku udah terlanjur janji," ucap Rian penuh penyesalan.

"Apa masih ada lagi kebohongan yang kamu sembunyikan dariku?"

Rian menatap Fela agak lama sebelum akhirnya menjawab, "Iya. Surat itu... aku yang nulis."

"Surat?"

"He-em, surat yang diberikan Pak Narto, yang katanya dari Novan. Sebenarnya... aku yang nulis, bukan Novan." Satu lagi pengakuan Rian yang berhasil membuat Fela syok berat.

"Aku nggak pernah nyangka kalo ternyata selama ini kamu udah banyak banget bohongi aku. Dan kamu baru ngaku sekarang."

"Maaf, aku nyesel banget udah bohong sama kamu." Rian menundukkan kepala.

Fela tersenyum sinis, "Kamu nyesel karena udah ketahuan, kan? Coba kalo nggak ketahuan, mungkin selamanya kamu nggak akan pernah ngaku. Terus maksudnya ini apa, hah?!! Kenapa kamu tega banget sama aku? Kenapa? Kenapa?!!" Fela lepas kontrol, ia mendorong-dorong tubuh Rian, dadanya turun naik karena emosi.

"Justru aku ngelakuin hal itu karena aku nggak tega sama kamu," Rian berusaha melakukan pembelaan.

"Nggak tega? Seperti ini kamu bilang nggak tega?!!"

"Oke, aku akui aku salah. Tapi kamu harus tau, pagi itu sebelum berangkat, Novan nelpon kamu, tapi HP kamu nggak aktif. Lalu dia nelpon aku dan ngasih tau kalo dia mau pergi. Dia ngelarang aku ngasih tau kamu. Tapi aku kasian sama kamu. Paling nggak, kamu tau Novan pergi ke mana. Makanya aku nulis surat itu. Sekarang terserah kamu, kamu emang berhak marah. Aku bukan sahabat yang baik buat kamu."

Fela pergi tanpa suara. Apapun alasannya, ia udah terlanjur kecewa dan sakit hati.

Rian frustasi. Ia menyandarkan dirinya pada pohon di dekatnya. Tangannya meremas rambut dengan kasar. Kemudian ganti memukul-mukulkan tangannya pada batang pohon.

Rian tau saat ini Fela pasti sangat membencinya. Rian tau kalo Fela nggak mau duduk sebangku lagi dengan pembohong besar yang berpura-pura sebagai sahabatnya. Rian sama sekali nggak menyalahkan Fela. Bagaimanapun, ia telah membohongi Fela, membuat kecewa bahkan membuat sakit hati orang yang sangat ia sayang. Rasanya memang sakit, tapi ia tetap terima. Ia nggak punya pilihan. Ia lebih dulu terlanjur janji dengan Novan.

Sebenarnya masalahnya bukan karena terlanjur janji. Dulu ia sempat berpikir, mungkin dengan kepergian Novan yang nggak kunjung ngasih kabar, ia bisa mengubah statusnya dengan Fela. Makanya ia setuju denga rencana Novan. Tapi yang terjadi sekarang bukan seperti apa yang ia harapkan. Semuanya kacau.

Saat memasuki kelas, Rian menoleh ke arah Fela di bangku belakang. Raut wajah cewek itu masih menunjukkan kalo tensi kemarahannya belum normal. Rian mengusap wajahnya dan hanya bisa pasrah.

Sledri TengilWhere stories live. Discover now