Sembilan

9 0 0
                                    

 "HUAAA....... KESIANGAN.....!!!!!!" suara Fela yang super stereo memecah keheningan pagi –walo sebenarnya udah agak siang. Burung-burung yang sedang asyik menikmati suasana pagi langsung beterbangan begitu mendengar teriakan Fela.

Begitu pula Mama yang sedang sibuk di dapur langsung buru–buru ke kamar Fela, takut terjadi sesuatu.

"Ada apa, Fe sampai teriak–teriak gitu? Buka pintunya, cepet!!" Mama berteriak khawatir dari balik pintu.

"Mama... Kenapa aku nggak dibangunin?" Fela balas teriak dari dalam.

"Kan tadi subuh udah Mama bangunin. Pasti habis subuh tadi kamu tidur lagi, kan?"

Fela nggak jawab. Ia sibuk lari–larian bingung. Nyari jepit rambut, lari ke kamar mandi, lupa bawa handuk, keluar lagi, ambil handuk, lari lagi, tapi GUBRAKK....!!! Kaki Fela terjerat selimut. Fela meringis dan mengusap–usap pantatnya yang sakit.

Hampir dua minggu ini Fela sering bangun kesiangan gara-gara tidur lewat tengah malam. Bahkan sering nggak tidur. Apalagi yang ia kerjakan kalo bukan ngelamun atau menjelajah ke dunia maya, masih mencari kabar tentang Novan yang emang sampai detik ini belum diketahui kabar kabarinya dengan pasti.

Jam 06.55

Fela yang setiap berangkat sekolah selalu menggunakan jasa angkutan umum baru saja sampai di halte dekat sekolahnya. Ia masih harus berjalan lagi untuk sampai di sekolah tercinta.

Di tengah–tengah perjuangannya melawan waktu untuk bisa sampai ke sekolah sebelum bel masuk berbunyi –yang tentunya bagai pelari marathon, HP Fela berbunyi. Fela menempelkan HP ke telinga tanpa melihat ke layar.

"Halo... Aku masih di jalan. Nggak usah, bentar lagi sampai kok. Udah dulu ya..!"

Klik! Fela memutus telepon dari Rian.

Dari seberang jalan, Fela melihat Pak Narto yang bersiap–siap menutup gerbang. Gawat!

Saking buru–burunya, tanpa melihat kanan kiri Fela langsung nyeberang begitu saja. Tanpa disadari dari arah kanan melaju sebuah mobil dengan kecepatan tinggi. Mobil itu udah mengklakson berkali–kali, memberi kesempatan bagi Fela untuk menepi. Tapi Fela hanya bisa berdiri mematung saking kagetnya. Kakinya mendadak terasa kaku.

Jarak antara keduanya semakin dekat, semakin dekat, dan..........

"AARRRGGGHHH... !!!!" Fela hanya bisa berteriak dan menutup mata.

Perlahan Fela merasakan sesuatu menyentuh tubuhnya. Ia juga merasakan tubuhnya seakan melayang. Apa ini rohnya? Apa malaikat Izrail sudah benar-benar memisahkan roh dengan jasadnya?

Lalu di mana dirinya sekarang? Kenapa hanya sinar putih yang tampak di depannya? Hidung Fela mengendus–endus, tercium bau yang sangat wangi.

Hah? Apa dirinya sekarang sedang berada di surga? Inikah surga? Inikah bau surga yang penuh dengan aroma bunga kesturi? Tapi kenapa nggak ada pemandangan indah? Kenapa juga di surga begitu bising?

AUWW...! Fela tersadar oleh rasa sakit di keningnya, seperti sengaja dipukul. Begitu matanya terbuka, bayangan pertama yang terpantul di matanya adalah si Tengil Arsya.

Ya ampun... kenapa sih di dunia maupun di akhirat makhluk satu ini selalu tampak di matanya? Kenapa juga makhluk ini ada di surga bersamanya? Apa dia juga udah mati? Tapi bukannya setan itu tempatnya di neraka? –sumpah, Fela bingung.

"Heh! Kamu pikir dengan bunuh diri seperti ini masalah kamu bisa selesai?" semprot Arsya tiba–tiba.

Fela hanya mengedip-ngedipkan mata tanpa bersuara, kaget plus bingung.

"Nggak nyangka ya. Kalo diliat dari sifat kamu, aku kira kamu itu cewek yang tegar. Tapi ternyata aku salah. Baru ditinggal ke luar negeri aja udah kayak nggak mau hidup. Pake mau bunuh diri segala. Kamu mau dikenal sebagai pejuang cinta? Sekarang itu udah nggak zaman mati hanya demi cinta. Hidup itu nggak cuma untuk cinta, ngerti? Pacar kamu cuma ke London, kan? Bukan ke dunia lain. Selama masih ada di dunia, kalian masih bisa berkomunikasi. Zaman udah modern, teknologi udah canggih."

"Maksud kamu apa marah–marah nggak jelas seperti itu? Lagian, siapa yang mau bunuh diri?" Fela baru berkomentar.

"Kamu, kan? Tadi itu apa namanya? Udah tau ada mobil kenceng tapi dengan begonya malah diem aja."

"Eh, aku nggak bego ya. Aku juga pengen ngehindar tapi..."

"Nunggu sampe mobil itu nabrak kamu? Kalo tadi nggak ada aku gimana? Kalo terjadi sesuatu sama kamu gimana?"

"Tapi sekarang nggak terjadi sesuatu sama aku, kan? Nggak usah sok jadi pahlawan deh. Lagian mau terjadi apapun sama aku juga nggak ada urusannya sama kamu."

"Iya emang nggak ada urusannya sama aku. Tapi gimana dengan orang tua kamu? Saudara kamu? Teman–teman kamu? Apa mereka udah siap kehilangan kamu?" Arsya masih keukeuh. Sorot matanya masih menatap tajam Fela.

"Bukan urusan kamu!!" Fela menyudahi perang mulutnya dengan Arsya dan pergi. Ia sudah nggak betah jadi pusat perhatian banyak orang di tempat itu.

* * *

Benar–benar bad morning!

Perasaan, semalam Fela nggak mimpi yang aneh–aneh. Lagipula setiap habis sholat ia nggak lupa berdoa supaya hari–harinya selalu ceria. Apa mungkin gara–gara tadi pagi ia doanya sambil setengah melek, ya???

Untung jam 1-2 kosong, jadi Fela langsung bisa kabur ke kantin ngisi perut setelah menyelesaikan hukuman nyapu lapangan. Cacing–cacing di perutnya sudah teriak protes sejak tadi.

"Powkoknyaw nyewbewlin buawngwt dweh twuh cowok, mwintaw diwgowrok kaliw yaw," Fela bercerita dengan mulut penuh dengan bakso. Ia emang jadi dobel kesal gara-gara si Tengil itu terus ngoceh selama mereka menjalani hukuman.

"Udah ceritanya nanti aja. Sekarang kamu makan aja dulu," Rian yang setia menemani Fela makan, mengingatkan.

"Tapi cowok itu bener–bener nyebelin. Pokoknya... uhuh-uhuk...!!" bakso yang baru aja masuk ke mulut Fela langsung meluncur begitu aja tanpa sempat ia kunyah.

"Tuh kan... udah dikasih tau juga. Bandel sih!" Rian menyodorkan minuman. Kali ini Fela nurut, ia menghabiskan sisa makanannya tanpa bersuara.

"Mau tambah? Ini punyaku masih ada."

Bibir Fela mengembang. Rian emang paling tau apa yang Fela mau. Satu porsi rasanya emang belum cukup untuk memuaskan cacing–cacing di perutnya. Apalagi tadi ia bangun telat dan nggak sempat sarapan. Ditambah dengan ngadepi si tengil yang nguras emosinya. Jadi harap maklum kalo sekarang ia sedang butuh banyak asupan energi.

"Kenapa kamu natap aku kayak gitu?" tanya Fela yang curiga dengan sikap Rian yang dari tadi menatapnya sambil senyum–senyum.

"Seneng aja, kamu udah balik lagi kayak dulu."

"Emang apa bedanya? Perasaan sama aja."

"Udah makan aja, nanti kesedak lagi, lho!"

Fela melanjutkan makan sambil berusaha menghapus tanda tanya di kepalanya. Kadang Sledri emang suka aneh.

Sledri TengilWhere stories live. Discover now