Empat

17 1 0
                                    

Suara kegaduhan terdengar hampir di setiap ruang kelas. Maklum, pada masa awal–awal tahun pelajaran baru, keadaan masih semrawut. KBM belum dilaksanakan dengan baik. Para siswa masih dalam proses adaptasi dengan lingkungan yang baru, teutama kelas X yang baru memasuki dunia putih abu–abu.

Itu juga yang terjadi di kelas Fela, Kelas XII MIA-1. Penghuninya sedang sibuk memilih bangku dan teman duduk untuk dua semester ke depan. Ada juga yang sibuk ngobrol dengan beberapa penghuni baru di kelasnya, mutasi dari kelas lain. Sesuai dengan tradisi di sekolah tersebut yang melakukan pengacakan ruang kelas di setiap jurusan pada awal tahun ajaran baru.

"Aduh... rambutku kok gini sih? Padahal kemarin udah ke salon," terdengar suara seorang cewek dari bangku tengah yang sibuk mengutak–atik rambutnya yang sepertinya habis direbonding, tapi malah keliatan seperti bulu merak yang berdiri kaku.

"Salah obat, kali... Buktinya rambutku oke tuh," seorang cewek di sebelahnya dengan bangga memamerkan rambutnya yang sepertinya juga habis terkena sentuhan magic dari salon.

Sovia dan Letta, duo cewek yang termasuk jajaran 'most wanted' di sekolah itu menjadi penghuni baru di kelas Fela. Bagi cowok–cowok, pasti pada ngucap "Alhamdulillah was Syukurillah". Soalnya mereka bisa menghabiskan waktu setahun terakhir di SMA dengan indah.

Fela yang memilih duduk di deretan kiri nomor 3 hanya mendesah melihatt dua orang yang selalu ribut dengan penampilan itu. Kepalanya masih menempel di meja menghadap ke dinding. Mendadak ia jadi kangen sama seseorang.

Fela menarik tubuhnya ke posisi tegak. Namun ...

"ADDOOWWHH...!!!" Fela reflek teriak begitu kepalanya membentur sesuatu. Terdengar suara yang sama dari belakang.

Fela mengusap–usap kepalanya seraya meringis kesakitan.

"SLEDRI... APAAN SIH? SAKIT, TAU!!!" semprot Fela begitu tau siapa yang berdiri di belakang.

"Lah, kok aku? Kamu tuh negakin kepala nggak bilang–bilang," sanggah Rian, giginya bertaut menahan sakit.

"Salah sendiri, siapa suruh berdiri di belakangku?" Fela masih nggak mau kalah.

"Nasib–nasib. Niat mau ngagetin malah kena musibah elah," Rian membanting tubuhnya di kursi sebelah Fela.

"Ngapain kamu duduk di sini?"

"Lah, kamu nggak baca pengumuman yang ditempel di depan kelas tadi? Kita kan sekelas lagi."

"Hah! Sekelas lagi sama kamu? Ampun deh... Tambah mules aja nih mataku tiap hari melototi kamu terus," canda Fela mengingat ia dan Rian selalu di kelas yang sama sejak kelas X.

Rian tertawa, "Bisa aja kamu. Tapi bener juga, kita selalu sekelas sejak kelas X. Jangan–jangan kita jodoh," Rian menatap Fela serius. Fela merasa aneh plus jijik dengan tatapan itu.

"Apaan sih? Jodoh–jodoh. Jodoh dari Hongkong? Ngarep aja," ucapnya seraya menimpuk wajah Rian dengan tas.

"Udah, cari tempat duduk sendiri sana. Hus huss..."

"Nggak mau, aku mau sebangku sama kamu. Selama kita sekelas, kita belum pernah duduk sebangku. Kita kan udah mau lulus, Fe."

"Tapi aku ogah sebangku sama kamu. Udah, pergi sana!" Fela memaksa Rian bangkit, tapi Rian tetap bertahan. Terjadilah perang mulut mini antara keduanya.

Fela dan Rian berteman sejak SMP, meskipun mereka beda sekolah. Mereka bertemu saat sama–sama mengikuti bimbel di sebuah lembaga bimbel untuk persiapan UNAS SMP. Sejak saat itulah mereka berteman. Apalagi saat SMA mereka memasuki sekolah yang sama dan selalu berada satu kelas hingga sekarang.

"Dari tadi ribut banget sih?" Sovia yang lagi asyik nata rambut merasa terganggu dengan keributan kecil yang terjadi di kelasnya.

"Yan, daripada kamu duduk di situ, mending duduk sama aku aja. Sini!" gantian Letta yang ngomong. Ia menata tubuhnya segemulai mungkin, mata genitnya tak ketinggalan beraksi.

Rian menelan ludah dan menatap Fela, "Aduh, Fe... tiba–tiba kepalaku mules, perutku pusing."

Fela melotot. Kepala mules? Perut pusing? 

Sledri TengilWhere stories live. Discover now