"Kita makan dulu ya. Lapar nih!" Fela mengelus–elus perutnya yang emang dari tadi udah berdendang ria. Tangan yang satunya menenteng plastik besar yang berisi sejumlah barang yang baru aja mereka beli dari toko di depan mereka.
Hari ini mereka sedang searching bahan untuk tugas membuat prakarya dari kayu dan kardus bekas. Jujur aja, Fela seneng banget bisa keluar bareng lagi dengan Rian. Udah lama mereka nggak keluar bareng.
"Kamu juga belum makan, kan? Ingat, lho... perut kamu nggak boleh sering kosong lagi."
Rian mengangguk setuju dan mereka pun mencari tempat untuk makan.
Tempat makan mereka kali ini berada di food court lantai 2 area perbelanjaan di mana Rian ketemu tantenya Archi dulu. Kebetulan mereka sedang berada di dekat daerah itu. Tujuannya nggak lain adalah melanjutkan misi pencarian tantenya Archi yang sempat terhenti. Rian juga sengaja memilih tempat duduk di dekat kaca yang mengarah langsung ke pelataran parkir tempat perbelanjaan itu.
Mata Rian sudah beraksi sejak tadi. Tanpa sengaja matanya menangkap sosok Tante Ratna yang sedang berjalan menuju mobilnya. Rian menyipitkan mata, berusaha menajamkan penglihatannya.
Fela yang ikut–ikutan mengamati ke luar tiba–tiba berseru, "Eh, Tante Ratna!"
Rian yang kaget dengan nama yang diucapkan Fela, reflek mengalihkan pandangan ke arah cewek di depannya yang masih menatap ke bawah. Sedetik kemudian, ia kembali menatap ke bawah untuk memastikan bahwa yang sedang dirinya dan Fela lihat adalah orang yang sama.
"Kamu kenal sama Tante Ratna?" tanya Rian memastikan. Tubuhnya menegang.
Fela melepaskan pandangannya dari Tante Ratna dan berganti menatap Rian.
"Oh, iya aku kenal. Kamu juga kenal dengan Tante Ratna?"
Rian mengusap wajahnya dengan kedua tangan dan mendesah panjang.
"Kenapa?" tanya Fela begitu melihat perubahan ekspresi Rian.
"Kenapa kamu nggak pernah bilang kalo kamu kenal sama Tante Ratna?"
"Kamu kan nggak pernah tanya. Aku juga nggak tau kalo kamu kenal sama Tante Ratna. Sebenarnya ada apa sih?" Fela balik tanya.
"Tante Ratna itu... Tantenya Archi yang selama ini aku cari," jelas Rian.
"Oh, ya?!" Fela sedikit histeris. Kaget sih.
"Kenapa kamu baru bilang sekarang? Kalo kamu bilang dari dulu, kamu bisa lebih cepat nemuin Archi."
"Aku nggak tau kalo kamu juga kenal," Rian menggunakan alasan sama seperti yang diucapkan Fela tadi.
"Emm... kamu kenal dekat dengan Tante Ratna? Apa kamu juga kenal dengan Archi?" Rian begitu semangat mencari keterangan dari Fela.
"Nggak dekat–dekat banget sih. Cuma pernah ngobrol beberapa kali. Tapi Tante Ratna nggak pernah nyinggung tentang Archi. Nanti deh aku tanyain sama Tengil di mana Archi."
"Tengil? Arsya maksudnya. Apa hubungannya?"
"Lho, Arsya kan anaknya Tante Ratna."
* * *
Arsya anaknya Tante Ratna? Bagaimana bisa? Kenapa bisa kebetulan begini? Pikiran Rian kembali kacau. Arsya, orang yang selama ini ia anggap saingan untuk mendapatkan Fela, ternyata anak Tante Ratna.
Rian tau ini bukan kebetulan semata. Mungkin ini emang jalan yang diberikan Tuhan untuknya. Jalan untuk melepaskan semua perasaan bersalah yang selama ini membebaninya. Tinggal sedikit lagi ia bisa tau keberadaan Archi. Tinggal sedikit lagi ia bisa bertemu dengan Archi. Ia nggak mau menunda lagi. Kalo perlu, sekarang!
* * *
Tok...tok...tok...!!!
Pintu rumah Fela terketuk. Fela yang kebetulan sedang menonton TV buru–buru membuka pintu.
"Sledri! Tumben malam–malam ke sini nggak ngomong dulu. Ada apa?" Fela kaget begitu tau siapa tamunya.
"Antar aku ke rumah Tante Ratna."
"Sekarang? Tapi ini udah malam," Fela melihat jam, udah pukul 08.45 malam.
"Please... Aku udah nggak mau dihantui rasa bersalah terus."
Fela jadi nggak tega melihat ekspresi Rian yang asli melas banget. Akhirnya ia bersedia mengantar Rian.
Sepanjang perjalanan, mereka saling adu diam, sibuk dengan pikiran masing–masing. Namun, jantung mereka berdua dari tadi nggak bisa diam.
Rian deg–degan karena gugup bercampur bahagia lantaran sebentar lagi ia akan segera tau di mana Archi. Sementara Fela, ia nggak tau kenapa ia jadi deg–degan gitu. Yang pasti, belakangan ini jantungnya emang sering deg–degan sendiri, terutama jika ada di dekat Rian.
"Stop! Kita udah sampai."
"Ini rumahnya?" tanya Rian sambil mengamati rumah di depannya. Jantungnya makin semangat berdegub. Tubuhnya sedikit gemetar seiring dengan keringat dingin yang mulai meluap dari pori-porinya.
"Kok sepertinya sepi?"
"Masa?" Fela mengarahkan matanya ke dalam. Iya, lampu rumah Tante Ratna juga mati. Apa Tante Ratna sedang pergi?
"Oh, iya aku ingat, tadi sore Tengil bilang kalo dia sekeluarga lagi otewe ke rumah eyangnya untuk beberapa hari. Ya ampun... kok aku bisa lupa sih. Maaf ya..." Fela menangkupkan kedua tangannya di depan hidung. Ia benar-benar menyesal.
Rian mengangguk lemah. Raut wajahnya menandakan kekecewaan. Lagi–lagi ia harus menunggu.