Halte sudah sepi. Hanya tinggal Fela yang masih berada di tempat itu, duduk menyandarkan kepalanya pada tiang besi. Pandangannya lurus ke bawah, kosong.
"Jangan kebanyakan bengong. Kasian ayam tetangga pada mati."
Fela kaget dan menoleh ke sumber suara.
"Tengil!!! Sejak kapan ada di sini?" tanyanya heran. Soalnya tadi Arsya belum ada.
"Namanya juga setan tengil. Jadi ya nggak usah kaget kalo tiba–tiba aku udah ada di sini," jelas Arsya asal. Fela diam, males menanggapi lebih lanjut.
"Kok masih di sini. Busnya udah lewat dari tadi, kan?"
"Lagi males pulang."
"Kenapa, ada masalah? Berantem lagi sama Rian? Aku liat belakangan ini kamu jarang sama dia."
"Nggak, dia lagi sibuk nyari teman masa kecilnya."
"Sibuk nyari teman masa kecilnya atau sibuk sama..." Arsya menggantungkan kalimatnya dan menunjukkan dengan gerakan mata.
Fela mengikuti arah yang ditunjukkan Arsya. Terlihat Rian yang berada satu mobil dengan Niar, cewek cantik yang jenguk Rian tempo hari.
Setelah sembuh dari sakit, Niar memang sering jemput Rian kalo pulang. Bahkan cewek itu rela nunggu kalo Rian pulang sore.
Mata Fela terus mengarah pada mobil Niar yang melaju ke arahnya. Ketika mobil itu lewat di depannya, ia sempat melihat Rian yang menatapnya sekilas. Bola matanya terus mengikuti mobil itu. Bahkan ia belum melepaskan pandangannya meski mobil itu udah hilang di belokan.
"Mereka pacaran ya? Aku liat cewek itu sering jemput Rian." Pertanyaan Arsya menyadarkan Fela dari kegiatan melamunnya.
"Nggak tau," jawab Fela ketus.
Entah kenapa setiap melihat Rian dengan Niar, ada sesuatu yang menghimpit di dalam sini hingga membuat dadanya sangat sesak. Ia nggak suka Niar sering jemput Rian. Ia nggak suka Niar terlalu perhatian sama Rian. Pokoknya hatinya nggak mengizinkan Rian dekat dengan Niar. Ia ingin sekali menanyakan status kedekatan Rian dengan Niar, tapi ia takut.
"Oh, iya! Kamu bilang Rian lagi sibuk nyari teman masa kecilnya. Emang temannya ilang ke mana?" Arsya sengaja mengalihkan topik begitu menyadari ada yang aneh dengan Fela.
"Nggak tau," nada bicara Fela masih ketus.
"Temannya itu cowok atau cewek?"
"Nggak tau!" kali ini nadanya agak naik.
"Kok jadi marah gitu sih?"
"Siapa... Ah, udah, ayo pulang!" Fela bangkit.
"Katanya males pulang?"
"Malesnya udah ilang. Ayo cepet!" Fela udah siap di dekat sepeda Arsya.
"Ngojek lagi nih aku?"
Mendengar pertanyaan itu, baru Fela tersenyum dan mengangguk. Berlagak sok manis supaya Arsya mau mengantarnya pulang.
* * *
"Maaf ya, tadi aku ketus sama kamu. Aku nggak maksud gitu," ucap Fela di tengah–tengah perjalanan pulang.
Arsya tersenyum, "It's oke."
"Kamu suka sama Rian ya?" Pertanyaan yang sama sekali nggak pernah Fela sangka, keluar dari mulut Arsya.
Fela menegakkan kepala, kaget, "Hah, apa?"
"Kamu suka sama Rian?" Arsya mengulangi pertanyannya.
"Su...suka?"
"Tadi kamu cemburu kan liat Rian sama cewek itu?"
"Cemburu?" Fela bingung.
"Iya, makanya tadi kamu ketus sama aku."
"Ketus?" Fela tambah nggak ngerti dengan apa yang dikatakan Arsya.
Arsya menghentikan sepedanya dan menoleh ke belakang, "Tadi kamu ketus sama aku setelah liat Rian dengan cewek itu. Kamu ketus karena kamu cemburu, kamu cemburu karena kamu suka sama Rian. Paling nggak itu yang aku liat dari kamu," Arsya kembali menatap ke depan. Ada sesuatu yang menggelitik hatinya.
Ketus karena cemburu? Cemburu karena suka? Apa benar seperti itu?