Sekolah masih terlihat sangat sepi. Hanya terlihat dua orang tukang kebun sekolah yang sedang sibuk melaksanakan tugas rutin hariannya.
Hari memang masih terlalu pagi. Kabut tipis masih terlihat setia menyeliputi tempat tersebut. Waktu memang baru menunjukkan pukul enam kurang seperempat. Waktu yang tentunya masih terlalu pagi bagi para siswa untuk datang menimba ilmu.
Bau karbol pun masih menyengat ketika Rian melewati salah satu koridor. Memang nggak biasanya ia berangkat sepagi itu.
Kaki Rian terus melangkah menyusuri koridor. Ruang kelasnya sudah terlewati agak jauh. Sepertinya emang bukan ruang kelas yang ingin dia tuju. Dan sepertinya si kaki udah tau betul ke mana tuannya ingin pergi.
Semalaman Rian nggak bisa memejamkan mata. Hatinya gelisah bercampur cemas setelah Fela meneleponnya. Terlebih lagi hanya isak tangis yang terdengar dari cewek itu. Kemudian panggilan semenit itu terputus dan nomor Fela nggak aktif sampai sekarang. Kalo nggak ingat waktu panggilan yang emang menjelang tengah malam, Rian pasti sudah melesat ke rumah Fela saat itu juga.
Saat jarum jam menunjukkan pukul 5 lewat seperempat, Rian bergegas melajukan motornya ke rumah Fela. Ia benar-benar khawatir dengan sahabatnya itu. Tapi ternyata Rian masih kalah pagi. Mama Fela bilang kalo Fela udah berangkat dua puluh menitan sebelum kedatangannya. Seketika itu Rian yakin kalo Fela benar-benar sedang ada masalah.
Rian yang udah kenal lama dengan Fela menjadi hafal kebiasaan cewek itu. Setiap ada masalah, Fela pasti berangkat sangat pagi ke sekolah. Lalu duduk menyendiri di bawah pohon favoritnya, seperti sekarang.
Fela sedikit kaget oleh sebuah sentuhan di pundak kanannya. Meskipun tanpa menoleh, ia udah tau siapa orang itu.
"Novan pergi," ucap Fela pelan dengan suara serak. Tanpa mengubah posisi, Fela menyodorkan surat Novan yang udah kusut nggak karuan pada Rian.
Rian susah payah membaca tulisan pada kertas karena tulisannya banyak yang kabur akibat banyak ketetesan air mata.
"Novan tega banget ya sama aku. Udah pergi nggak pamit langsung, sampai sekarang juga belum ada kabar dari dia."
"Mungkin masih cape, atau masih sibuk ngurusi ini itu," Rian yang sudah duduk di samping Fela berusaha menghibur.
"Tapi kan dia udah janji mau ngasih kabar begitu sampai," Fela menoleh ke arah Rian. Mata sayunya yang berair tampak bengkak.
Kedua tangan Rian mengepal kuat. Keadaan seperti inilah yang selalu membuatnya kacau. Ia paling nggak tega melihat cewek nangis. Apalagi ini sahabatnya sendiri.
Rian memegang kedua pundak Fela, "Sabar ya... Aku yakin Novan akan secepatnya ngasih kabar." Fela mengangguk pelan.
Perlahan–lahan, Fela menyandarkan kepalanya di bahu Rian. Kali ini ia benar–benar butuh seseorang untuk jadi sandaran. Dan orang terdekat yang ia punya saat ini adalah Rian.