"Namun paling tidak, aku pernah tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Meski yang kurasakan ialah tangis untuk keduanya, namun paling tidak aku selangkah lagi menuju masa yang belum ada dan penuh bahagia." –Gavrilla.***
Sore ini, Gavy duduk di balkon rumahnya. Menatap nanar jaket yang berada di dekapannya. Jaket itu milik Adri, waktu itu ia sengaja menitipkan jaketnya pada Gavy. Tapi entahlah, sampai saat ini Adri tidak meminta kembali jaket itu.
Dua minggu berlalu sejak kejadian pengakuan Adri yang spontan di samping sekolah itu, Gavy pun masih belum pulih dari rasa sakitnya. Masih teringat jelas perkataan Adri dua minggu lalu.
"Maaf karena selama ini gue ngga pernah punya perasaan apapun ke elo."
Lalu, apakah ia tidak ingat apa yang ia ucapkan di parkiran sekolah kala itu?
"Kita Cuma temen dan nggak lebih."
Lalu, setelah apa yang selama ini kita lakukan, apa memang hanya sebatas teman? Kemudian, apa arti genggaman tangan di hari itu?
"Jangan pernah hubungin gue lagi..."
"...pokoknya anggap semuanya ngga pernah terjadi, dan anggap kita nggak pernah kenal..."
Haha, Gavy tersenyum getir. Melupakan yang pernah terjadi bukanlah hal yang mudah. Menganggap yang ada menjadi tidak ada adalah kerumitan yang tidak bisa ia pecahkan.
"Gue sayang sama Dara, gue mau bahagian dia..."
Oke cukup! Gavy tidak mau lagi mengingat kejadian itu, Gavy memejamkan matanya, kemudian menghirup udara segar di sekitarnya, lalu menghembuskannya, berharap bisa mengurangi sedikit rasa sakitnya.
Gavy sadar bahwa selama ini ia hanya berharap pada orang yang salah, berharap pada ketidakmungkinan, berharap pada sebuah angan semu.
Namun perlahan, ia mencoba bangkit dan melupakan semuanya. Ia harus menjadi Gavy yang dulu. Bagaimanapun caranya. Bukan Gavy yang cengeng dan mudah terbawa perasaan seperti belakangan ini.
Kemudian Gavy bangkit dari tempat duduknya dan beranjak ke kamar, ia melipat jaket Adri dan memasukan ke dalam box berukuran sedang, lalu menutupnya seraya berharap semoga takdir mempermudah jalannya untuk melupakan Adri.
***
"AAAAA DIA GANTENG BANGET VY SUMPAH!!!" pekikan Jihan membuat Gavy menjauhkan diri dari sahabatnya itu.
"Apaan sih, Ji? Siapa yang ganteng?" tanya Gavy seraya mengusap-usap telinganya.
"Ih itu tuh anak baru pindahan dari Malang, orang jawa sih, tapi sumpah manis banget kalo senyum. Lo harus tau, lo harus liat!" ujar Jihan antusias.
"Oh,"
Jihan melirik Gavy sebal, "Kampret, gue cerita panjang lebar tanggepan lo gitu doang?"
"Trus gue harus bereaksi apa? Teriak-teriak heboh alay kaya lo gitu?"
"Awas, ya kalo ketemu naksir. Gue sukurin lo." ancam Jihan.
Naksir? Berarti jatuh cinta lagi, gitu? Gavy tertawa getir. Jangankan untuk jatuh cinta, bahkan luka di hatinya masih belum kering. Masih enggan untuk membuka hatinya untuk cowok lain lagi.
Hingga akhirnya Pak Clysz datang masuk ke kelas menghentikan pembicaraan Jihan dan Gavy
***
Gavy membereskan buku dan alat tulisnya di meja lalu beranjak dari tempat duduknya untuk segera pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Feelings
Teen FictionMenjadi pelampiasan memang bukan pilihannya, tetapi bagaimana jika takdir yang memilihnya? Menjadi yang kedua memang bukan yang terbaik, tetapi bagaimana jika keegoisan menginginkannya? Kisah klasik, tentang seorang gadis berseragam putih abu-abu y...