Sore itu, Gavy tengah menunggu angkutan umum di depan gerbang sekolah. Matanya terus menatap ponsel yang sedari tadi berada di genggamannya. Sesekali ia membuka kunci ponselnya, kemudian menguncinya kembali. Pikirannya melang-lang buana pada kejadian tadi siang yang sangat menyentil perasaannya.***
Pelajaran olahraga belum berakhir, tetapi Gavy rasanya kayak mau mati. Napasnya tersengal2, wajahnya memerah, keringat bercucuran. Kemudian ia jatuh terduduk di pinggir lapangan bersama teman-temannya yang lain.
Olahraga kali ini adalah melatih fisik. Semua anak kelas XII APH 1 mendapat giliran untuk berlari keliling lapangan selama dua puluh putaran. Dan itu sangat membuat Gavy dan anak cewek lainnya mendadak protes ke Pak Doni, selaku guru olahraga yang mengajar di jurusan APH.
"Pak, kita kan cewek! Ya kali lari dua puluh puteran. Kalo saya pingsan gimana?" protes Putry sambil memasang wajah cemberut.
"Tau, bapak! Ih, saya lagi ada tamu juga. Bocor nanti!" timpal Jihan.
"Pak, cewek itu makhluk lemah. Dia nggak sekuat itu untuk lari dua puluh puteran." Annisa ikut menyahut dengan nada yang dibuat-buat.
Patra sontak menoyor kepala Annisa, "Drama bet najis, dasar cewek!" kemudian diikuti suara tertawa teman-temannya yang lain.
"Yaudah, untuk anak perempuan lima belas puteran aja. Nggak usah nawar lagi. Ini berlaku untuk kelas lain juga, kok." putus Pak Doni akhirnya.
Gavy mendengus sebal, apa-apaan cuma dikurangin lima puteran? YaAllah, lima puteran aja Gavy udah lemes, apalagi lima belas? Mana belum sempet makan nasi lagi tadi pas istirahat!
Tapi mau tidak mau, dan suka tidak suka, Gavy harus melakukannya. Karena ini adalah pengambilan nilai olahraga.
"Berasa pengen ketemu ajal gue, ih!" seru Sekar dengan napas terengah-engah.
Putry menepuk bahu Sekar pelan, "Hush! Ngomongnya!"
"Sama, bangke banget gue kayak kehabisan udara. Napas udah di tenggorokan," keluh Gavy sambil merobek selembar kertas di buku absen yang tadi ia bawa.
"Woy, pada pesen minum gih di kantin! Baskoro baru jadian sama adek kelas. Katanya sih peje," seruan Rafli sontak membuat rakyat XII APH 1 yang tadinya terkulai lemas di pinggir lapangan langsung bergairah lari ke kantin.
"Bener nggak nih, Raf? Ntar gue udah minum taunya di suruh bayar sendiri!" tanya Faby memastikan.
"Iye, udeh ambil aje. Mumpung gue lagi seneng nih," sahut Baskoro.
"Minum doang? Makan engga? Laper, kaleeee," cibir Gavy yang memang sudah kelaparan.
"Ah, buat Gavy sayang mah, apa sih yang enggak? Ambil aja ambil, mau makan apa?" goda Rafli seraya menaikan kedua alisnya.
Baskoro lantas meninju lengan Rafli, "Nggak usah kompor, Raf. Duit gue cuma mampu buat bayarin anak-anak minum. Lo kalo mau bayarin makan, ya silahkan. Aku sih No."
"Tau lu, Bas. Apaan minum doang, kembung bego gue yang ada." sahut Jihan tiba-tiba.
"Udah syukur di beliin. Masih nawar aje lu! Mau ambil, nggak yaudah. Beres." jawab Baskoro sedikit kesal.
Lalu tawa anak-anak XII APH 1 berderai, serempak mereka langsung mengangkat kedua tangannya dan menari-nari ke atas dan ke bawah seperti penonton bayaran di televisi seraya berkata, "Bapeeer, bapeeer, bapeeer, si Baskoro bapeeer,"
Gavy dan Annisa yang tidak ikut-ikutan temannya itu terbahak sampai menitikkan air mata. Emang deh, kalo udah ngeliat kelakuan sahabat-sahabatnya ini bikin mules doang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Feelings
Teen FictionMenjadi pelampiasan memang bukan pilihannya, tetapi bagaimana jika takdir yang memilihnya? Menjadi yang kedua memang bukan yang terbaik, tetapi bagaimana jika keegoisan menginginkannya? Kisah klasik, tentang seorang gadis berseragam putih abu-abu y...