Gavy menatap ragu ke arah pagar rumah seseorang yang saat ini ia kunjungi. Ragu, antara harus melakukan hal ini atau tidak.
Dorongan dari Annisa dan Jihan lah yang membawa kakinya untuk melangkah ke rumah itu. Rumah milik Adriell Raymond.
Setelah kemarin sore mereka berdebat tentang bagaimana caranya agar Gavy dan Adri kembali seperti dulu lagi, akhirnya, inilah keputusannya.
"Masa gue duluan, sih yang mulai? Gue kan cewek," protes Gavy saat Annisa dan Jihan menyuruhnya untuk nyamperin Adri terlebih dahulu.
"Udah dua ribu lima belas, ya Gavy sayang. Please, nggak usah mikirin gengsi." Jihan berdecak sebal melihat sahabatnya yang satu itu, "Nggak inget, Raden Ajeng Kartini udah memperjuangkan emansipasi wanita? Itu buat apa? Biar kita bangkit." Lanjutnya
Akhirnya setelah memantapkan hatinya, Gavy menekan tombol bel di rumah itu.
"Bismillahirrahmanirrahim" ujarnya dalam hati
Ting nong...
Bel pertama. Tidak ada jawaban.
Ting nong...
Bel kedua. Masih tidak ada jawaban.
Ting nong...
Bel ketiga. Tetap belum ada jawaban.
Kata orang, kalau kita udah menekan bel tiga kali dan nggak ada jawaban dari yang punya rumah, lebih baik kita pergi.
Begitu pula dengan Gavy, karena sudah tiga kali menekan bel dan tidak ada jawaban atau respon dari orang yang ada di rumah itu, ia memutuskan untuk pergi saja.
Namun baru saja Gavy membalikan badannya, ia bertemu dengan anak kecil dengan kisaran umur enam tahun.
Gavy hampir saja menabrak anak itu, jika ia tidak berhati-hati. Anak itu menatap Gavy bingung, begitu pula Gavy.
"Kakak nyari siapa?" tanya anak itu.
"E-ehh engga kok, aku nggak cari siapa-siapa," ujar Gavy. Ia memperhatikan anak itu dengan seksama. Seperti ada yang familiar dengan wajah anak itu.
"Nyari bang Adri ya, Kak?" tebak anak itu.
Gavy menundukan badannya, menyamakan tingginya dengan anak itu lalu tertawa kecil.
"Iya, kok kamu tau?" jawab Gavy sambil mencubit gemas pipi anak laki-laki itu.
Anak kecil itu tersenyum, kemudian menarik lengan Gavy untuk memasuki rumah itu. Gavy hanya bisa menuruti anak itu sambil menatapnya heran.
"Aku adiknya bang Adri, Kak," anak itu seolah bisa membaca pikiran Gavy. "Kakak siapanya bang Adri?"
Oh, pantas saja! Dari tadi Gavy memperhatikan anak itu terlihat familiar. Ternyata dia adik dari Adri. Mata elangnya sangat mirip dengan abangnya itu, senyumnya juga sangat mirip dengan senyum Adri yang membuat cewek manapun meleleh jika melihatnya.
"Aku temennya, dik," jawab Gavy sekenanya.
Anak itu kemudian membuka pagar rumahnya dan memasuki halaman rumah. Terlihat Ninja hitam milik Adri terpakir manis disana.
Anak itu kemudian membuka pintu rumahnya seraya berkata pada Gavy, "Kakak tunggu dulu di ruang tamu, ya? Aku mau manggil Abang dulu," ujar anak itu
Gavy mengangguk dan menunggu di ruang tamu. Perasaannya jadi tak karuan. Jika bertemu Adri nanti, apa yang harus ia katakan? Apa ia harus mengatakan perasaannya? Oh, tidak! Itu hal terbodoh yang akan Gavy lakukan.
Tak berapa lama kemudian, dirinya di kagetkan oleh tepukan pelan di bahunya. Gavy menoleh dan kaget mendapati Adri sudah berdiri di sebelahnya.
"Kenapa ngga duduk? Kan ada sofa itu. Kayak mbak-mbak SPG aja diri mulu kerjaaannya," canda Adri
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Feelings
Fiksi RemajaMenjadi pelampiasan memang bukan pilihannya, tetapi bagaimana jika takdir yang memilihnya? Menjadi yang kedua memang bukan yang terbaik, tetapi bagaimana jika keegoisan menginginkannya? Kisah klasik, tentang seorang gadis berseragam putih abu-abu y...