Gavy mulai berubah. Gavy berusaha merubah sifatnya, mengurangi sifatnya yang kelewat judes, merubah caranya yang kalau menatap seseorang selalu terlihat sinis, padahal biasa aja menurutnya.
Gavy mulai membuka diri, ia mulai mencoba menyapa atau setidaknya tersenyum, jika berpapasan dengan orang lain, kecuali dia; Adriell Raymond. Entahlah, jangankan buat menyapa atau sekedar tersenyum, ngeliat mukanya Adri di sekolah aja bikin Gavy badmood. Efek belum sepenuhnya ngelupain, kali ya?
Tak di pungkiri, perubahan-perubahan kecil Gavy itu dapat di rasakan hampir seluruh penjuru sekolah, bahkan wali kelasnya, Bu Dewi sempat berkata, "Loh, Ibu nggak salah liat kan, belakangan ini Gavy sumringah banget, senyum terus."
Lalu Sekar, dengan asal ceplos menjawab, "Udah move on dari Adri kali Bu, makanya bahagia gitu." Bu Dewi hanya tersenyum simpul, sedangkan Gavy sudah melayangkan jitakan kepada Sekar.
Sejak beberapa hari lalu Gavy dan Han ke kantin bareng, lalu keduanya melewati Adri dan Dara sambil tertawa bersama, Gavy seperti merasa hidup kembali. Karena jujur, baru kali pertama Gavy berani melewati Adri dalam keadaan tertawa karena lelucon jayus Han.
Dan sejak hari itu, Gavy dan Han mulai berteman. Hanya berteman, tidak lebih. Meskipun semua orang tahu, bahwa Han sedang berusaha mati-matian deketin Gavy. Gavy juga sebenarnya sadar akan hal itu. Tapi, ia tidak mau kegeeran. Gavy tidak ingin terlalu cepat seperti yang sudah-sudah.
Terlalu cepat jatuh, terlalu cepat nyaman, terlalu cepat pula untuk merasakan sakit, namun terlalu payah untuk melupakan semuanya.
Gavy ingin semuanya berjalan seperti biasa aja, berjalan normal. Toh, sejujurnya Gavy belum benar-benar melupakan Adri. Yah, masih fifty-fifty sih sebenernya. Tapi Han mengerti, Han tidak pernah mengungkit sedikit pun tentang sepupunya itu di depan Gavy, walaupun penasaran. Karena jika Han bertanya kepada Adri di rumah, Adri malah terkesan seperti menghindar dan tidak ingin membahas.
Dan hari ini, hari Sabtu. Jadwalnya libur, jadwalnya Gavy berleha-leha di rumah, jadwalnya Han bermain PES di rumah, dan jadwalnya Adri ngapel kerumah Dara.
"Widiiiih, wangi bener yang mau ngapel kerumah ayang," Han menghirup aroma wangi Adri yang memenuhi ruang keluarga, matanya tetap tertuju pada layar laptop yang menampilkan games PES yang ia mainkan bersama Daffa.
Ini masih pukul 10:00 pagi, tapi Adri sudah rapi dengan kaos hitam polos kemudian di lapisi kemeja flanel yang kancingnya ia biarkan terbuka, lalu di padu dengan celana jeans belel favoritenya.
"Iya lah, dari pada lo, usaha terus nggak dapet-dapet." sindir Adri balik.
Han terkekeh pelan, "Gue sih nggak buru-buru. Toh, doi belum move on dari lo."
"Ngomongin Kak Gavy, ya?" tanya Daffa yang sedari tadi hanya diam bermain PES bersama kakak sepupunya.
Han yang sedang fokus, tiba-tiba mengernyitkan dahi bingung, "Daffa kenal Kak Gavy?"
Daffa hanya mengangguk, tidak menjawab. Kemudian Han menoleh pada Adri yang sedang mengunyah roti di sofa, menatapnya seolah meminta penjelasan.
"Kak Gavy pernah main kesini waktu itu, Ayah sama Bunda lagi ke Bogor, aku sama Bang Adri di rumah, eh Kak Gavy tau-tau main kesini terus kita makan nasi goreng bikinan Kak Gavy, terus nonton film sampe malem," Daffa berceloteh memberi penjelasan secara gamblang. "Kak Gavy sama Bang Adri temen deket kan ya, Bang?" tanya Daffa polos.
Adri langsung pura-pura keselek dan lari ke dapur untuk ngambil minum, kemudian menegaknya. Ia mendesah kesal, kenapa juga Daffa pake ngingetin kejadian itu, di depan Han lagi!
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Feelings
Teen FictionMenjadi pelampiasan memang bukan pilihannya, tetapi bagaimana jika takdir yang memilihnya? Menjadi yang kedua memang bukan yang terbaik, tetapi bagaimana jika keegoisan menginginkannya? Kisah klasik, tentang seorang gadis berseragam putih abu-abu y...