Chapter 22; -Recognition-

84 9 1
                                    

[A/N]; Awas bosen, chapter ini banyak narasinya daripada dialognya hehe.

***

Han menggeleng pasrah mendengar penuturan sepupunya, tidak pernah terpikirkan olehnya, jika Adri masih menyayangi Gavy yang notabenya adalah perempuan yang di sayanginya juga. Tidak pernah terpikirkan olehnya, jika ia akan jatuh pada perempuan yang sama oleh sepupunya sendiri. Dan tidak pernah terpikirkan olehnya pula, jika Adri ternyata malah jatuh di dua hati; Gavrilla dan Adara.

Tidak ada rasa marah atau pun benci yang Han rasakan. Ia hanya ... kecewa? Kecewa pada dirinya sendiri. Seharusnya ia tahu dari awal jika Adri pernah ada sesuatu dengan gadis yang di cintainya. Seharusnya ia tak perlu bersusah payah mencoba mendekati Gavy dengan berbagai cara. Toh, nyatanya, gadis itu sendiri masih memiliki perasaan yang sama dengan sepupunya. Meski gadis itu pernah mengatakan bahwa ia akan mencoba membuka hati untuk Han, tetapi tak di pungkiri, bahwa Adri masih memiliki tempat yang dominan di hati Gavy.

Adri bangun dari posisi tidurnya, kemudian menoleh pada Han sekilas, "Lo nggak papa?"

Han tertawa hambar, "Selow aja,"

Seharusnya, sebagai sepupu yang baik, Han akan marah saat mengetahui Adri mencintai Gavy ketika ia masih memiliki hubungan dengan gadis lain. Seharusnya ia marah, karena secara tidak langsung, Adri menyakiti Gavy. Dan sekali lagi, seharusnya Han marah saat melihat gadis yang di cintainya di lukai, oleh sepupunya sendiri.

Tapi Han tidak bisa melakukan itu semua. Ia hanya bisa menerima keadaan dan kenyataan bahwa ternyata selama ini, perjuangannya untuk meluluhkan hati Gavy, belum juga berhasil.

***

Pagi itu, ketika Gavy hendak berangkat ke sekolah dengan Kartika, -ibunya- untuk mengambil raport kenaikan kelas, ponselnya bergetar, ada panggilan masuk.

Adriell Calling ...

Gavy tersenyum tipis melihat nama itu di layar ponselnya. Detik pertama, Gavy ragu, apakah akan menjawab telepon dari Adri, atau mengabaikannya saja? Sebelum akhirnya ia menekan icon hijau untuk menjawab panggilan Adri.

Gavy terdiam, tidak mengeluarkan suara apapun. Ia sengaja, karena ingin Adri yang terlebih dulu menyapanya.

"Hallo, Vy?" sapa seseorang di seberang sana.

Tunggu, itu bukan suara Adri.

"Han? Kenapa?" sahut Gavy.

"Nggak papa, lo ngambil raport sama siapa?"

"Sama nyokap nih,"

"Oh, yaudah. Ketemu di sekolah aja ya? Gue bareng Adri sama Tante Indira soalnya,"

"Okedeh."

Kemudian sambungan telepon terputus. Ada sedikit rasa resah di hati Gavy. Di satu sisi, ia kecewa saat mengetahui bahwa bukan Adri yang meneleponnya, padahal ia tadi sudah berharap bisa mendengar suara Adri. Iya, Gavy tidak mengelak, ia rindu suara Adri. Tapi di sisi lain, ia merasa lega, karena Han sudah tidak sedingin waktu terakhir mereka bertemu kala pulang dari rumah Nindiya. Han juga terlihat biasa saja.

"Vy, ayo! Udah siang ini, nanti telat!" suara Kartika membuyarkan lamunan Gavy.

"Iya, Mah." jawab Gavy malas, kemudian segera menyusul ibunya yang sedang menstarter motor beatnya.

Gavy langsung naik di jok belakang, "Mah, kalo mau belok ke kanan, lampu sennya nyalain yang kanan ya jangan kiri. Begitu juga sebaliknya, jangan malu-maluin Gavy di jalan." ujar Gavy memperingatkan ibunya. Mengingat Gavy sendiri sering melihat ibu-ibu di jalan yang beloknya kemana, lampu sennya yang mana. Kalo nggak sengaja ketabrak, malah dia yang marah-marah. Ibu-ibu masa kini banget.

Our FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang