Hari pertama menjadi siswi kelas XII. Senin pagi, seperti biasa, Gavy begitu sibuk mencari topi, dasi, sabuk, dan almamaternya. Perlengkapan itu merupakan perlengkapan wajib yang harus di gunakan di hari Senin.Amat sangat bahaya jika Gavy tidak mengenakan salah satu saja, dari atribut tersebut. Bu Fitrah akan dengan senang hati menyuruhnya berdiri di depan tiang bendera selama upacara berlangsung. Gavy tentu tidak mau hal itu terjadi, malu sama Adri!
Eh.
Gavy menghela napas lega saat di temukannya semua atribut yang ia cari ada di bawah laci meja belajarnya. Setelah semua atribut berada di tubuhnya, Gavy bergegas keluar kamar dan menghampiri Rendi --ayahnya- dan Kartika --ibunya- sedang sarapan di ruang makan.
Gavy kemudian menyambar setangkup roti yang ada di piring, entah milik siapa, lalu berjalan keluar rumah.
"E..ehh-ehh jadi anak nggak sopan banget, ada orang tua lagi makan bukannya salim malah ngacir aja lu!" seru Dhea --adik Gavy- tiba-tiba.
Gavy menghentikan langkahnya sebentar lalu menoleh malas pada adiknya, "Ribet lo, ah! Gue telat nih!"
"Ih, Mah, Yah, tuh Kak Gavy songong nggak mau pamit." adu Dhea pada kedua orang tuanya.
"Mah, Yah, Gavy berangkat dulu. Assalamualaikum!" pamit Gavy akhirnya. Dari pada debat terus sama Dhea, yang ada nggak akan sekolah Gavy karena debatnya bakal panjang.
Ini sudah siang dan Gavy nggak mau terlambat!
Gavy menunggu angkot di depan komplek perumahannya, lalu tiba-tiba ponselnya bergetar. LINE masuk dari Han.
Handoko Nurdaffa A: Udh berangkat sklh blm?
Handoko Nurdaffa A: mau bareng ga?Gavy mengabaikan chat dari Han itu dalam keadaan terbaca. Sudah beberapa hari ini Gavy jarang membalas chat dari Han. Bukannya apa-apa, ia masih merasa tidak enak dengan Jihan.
Satu menit kemudian, angkot yang di tunggunya datang, Gavy segera menaiki angkot tersebut.
***
"Vy! Anjir gue denger gosip katanya kita dapet wali kelas Bu Rosita! Gilak nggak tuh?"
Suara Jihan tiba-tiba sudah di terdengar saat Gavy masih di depan pintu kelas. Aduh, Jihan ini ya! Nggak tau apa kalau Gavy masih merasa nggak enak setengah mati soal Han. Dia malah tenang-tenang aja seolah tidak terjadi apapun.
Gavy berjalan cepat menuju tempat duduknya, lalu menaruh tasnya di atas meja, "Kata siapa lo?"
Jihan mengangkat bahu, "Nggak tau sih, kata anak-anak tuh. Soalnya Mamih bilang gitu tadi pas lewat kelas kita,"
Mamih itu Bu Desy Utari, kepala program jurusan APH, panggilan kesayangan anak APH angkatan pertama. Entah kenapa, kalo manggil beliau enakan 'Mamih' dari pada 'Bu Desy'. Mungkin karena sifat beliau yang sangat keibuan, juga parasnya yang cantik.
"Halah, paling gosip doang." elak Gavy. "Bisa stress gue punya wali kelas Bu Rosita. Suruh ngitung utang mulu ntar!" lanjutnya lagi.
Bu Rosita, yang merupakan guru mata pelajaran Kewirausahaan itu terkenal galaknya. Kalo udah ngajar di kelas, baperan banget. Ada muridnya yang nggak bawa catetan aja ngambek, lupa bikin presentasi aja bilang nggak mau ngajar lagi, nggak bikin makalah atau proposal aja marahnya sampe satu jam pelajaran. Pusing! Parahnya lagi, kalo kelas belom di sapu, dia nggak mau masuk kelas; bau, katanya. Banyak-banyak istighfar deh anak Varity kalo dia udah ngajar.
Tapi, kalo di luar kelas, dia malah sok akrab. Manggil-manggil anak muridnya, ujung-ujungnya mah nyuruh beli ini beli itu. Terus suka nyengir-nyengir nggak jelas gitu. Mending kalo nyengirnya cantik kayak Dian Sastro. Lah ini, kayak kuda pas nyengir, kalo kata Baskoro.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Feelings
Teen FictionMenjadi pelampiasan memang bukan pilihannya, tetapi bagaimana jika takdir yang memilihnya? Menjadi yang kedua memang bukan yang terbaik, tetapi bagaimana jika keegoisan menginginkannya? Kisah klasik, tentang seorang gadis berseragam putih abu-abu y...