TEN

18K 830 41
                                    

Letiza (POV)

Rasanya mataku sangat berat, kepalaku pusing dan badanku menggigil. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Biar ku ingat-ingat kembali, aku pulang dari liburan. Dika menelphone dan menjemputku kemudian,
"Kau sudah bangun, apa yang kau rasakan, atau masih sakit, bagian mana kita perlu kedokter? Aku cuci muka dahulu baru kita kedokter," Aku menatapnya lemah, kenapa dia menungguiku tidur?
"Dita, katakan sesuatu. Aku tidak akan tahu bagian mana yang sakit jika kau hanya diam," Terlihat wajahnya frustasi, stop Dika apa kau ingin membuatku semakin bingung dengan tingkahmu, batinku.
"Aku baik-baik saja," ketusku.
"Baiklah, kau tetaplah istirahat. Semalam kau demam, jadi kau hanya boleh istirahat, jangan kemana-mana. Aku akan menemanimu," Aku hanya diam tidak merespon. Apa yang kalian harapkan akan perlakuanku jika aku terlalu sering mendapatkan ketidak adilan darinya.
"Aku buatkan bubur ya, biar kau minum obat," Pintanya, kubalas dengan anggukan. Aku tidak ingin berdebat karena perutku memang lapar, lagipula menghargai sedikit saja usahanya tidak apakan?.

Dika berlalu meninggalkan aku di kamarku sendiran, kalian lihat tidak Dika terlihat manis jika perhatian seperti tadi. Seandainya dia tidak pernah memperlakukan ku dengan kejam mungkin aku akan jatuh cinta padanya, owh kalian jangan mengatakan kalau aku harus memaafkan dia, dan memulai hubungan kami dari awal. Tidak, tidak akan semudah itu.

Aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat, aku memang tidak mengatakan akan memaafkannya tapi aku juga tidak menutup hati dan telingaku untuk tidak memaafkannya. Ah lagipula lihat saja nanti aku akan memaafkannya atau tidak.
"Nyonya baik-baik saja, perlu saya panggilkan tuan, nyonya?" Tanya Audrey.
"Tidak, aku hanya pusing sedikit saja. Nanti setelah minum obat akan sembuh, kau mau bersih-bersihkan? Silahkan," Ujarku senyum pada bibi yang dipekerjakan Dika,
"Terimakasih non, ah iya non. Semalem saat nyonya badannya panas, tuan tidak berhenti mencemaskan nyonya. Mungkin naluri suami kali ya," Aku melamun mendengar ocehan bibi.
"Belum lagi tuan menunggui nyonya, tuan sampai tidak tidur. Kalau tidak salah baru subuh tadi tuan tidur," apakah benar? Lalu untuk apa dia melakukan semua itu. Aku tidak ingin menyimpan balas budi.
"Tuan sangat mengerti nyonya ya, walaupun kalian menikah tanpa cinta, tuan bersedia menunggu nyonya untuk mencintai tuan," kali ini aku tidak melamun, melainkan aku membulatkan kedua bola mataku. Bisa-bisanya dia mengarang cerita kepada pelayan miliknya ini.
"Apa saja yang dikatakan tuan pada bibi.?" Tanyaku sesantai mungkin, aku harus menahan emosiku .
"Banyak nyonya, salah satunya nyonya sangat suka membuat sarapan sendiri. Tuan juga suka masakan nyonya," Bangsat kau Dika, bagaimana bisa kau memujaku sementara kau sendiri yang membuatku merasakan sesak di hatiku sejak aku mengenalmu. Tidakkah kau ingat dengan tidak berperasaan kau membuang masakanku ke tempat sampah. Ingin rasanya aku menangis mengingat satu persatu kelakuannya terhadapku.
"Ini buburnya, biar aku suapi," Aku menatapnya nanar, sepertinya aku akan menangis.
"Saya permisi tuan, nyonya," Ujar Audrey.

Aku tidak menatap Dika, saat aku dengar pintu di tutup kutarik selimutku dan langsung memunggunginya. Aku menangis, sesak rasanya mengingat semuanya.
"Dita, kau tidak lupa untuk sarapankan, apa kau tidak mau sembuh?" Ujarnya dengan lembut, hatiku bergolak merasakan semua rasa simpatinya mungkin hanya akting belaka. Dia bisa mengarang cerita pada Audrey dan kemungkinan dia juga bisa berakting layaknya artis layar lebar.
"Aku tidak apa-apa. Aku tidak ingin makan, pergilah," Ujarku menahan isakan tangisku.
"Aku tidak akan kemana-mana hari ini, kau sakit Dita. Dan aku akan merawatmu," Ujarnya lagi.
"Aku katakan sekali lagi, aku baik-baik saja." Ujarku bersikeras. Aku tidak mau menerima belaskasihan darinya, aku bisa mengurus diriku sendiri sama seperti sebelumnya.
"Kemarilah, kau makan aku akan menyuapimu,"
"Jangan menyentuhku, pergi aku tidak butuh bantuanmu. Aku tidak akan pernah memulai semuanya denganmu. Apa kau pikir dengan mengatakan kebohongan pada pelayanmu itu aku akan bersikap baik padamu? Apa kau pikir aku akan lupa begitu saja dengan semua perlakuanmu. Ini, lihat baik-baik lukaku ini, apa kau ingat kapan aku mendapatkan ini?" Aku menatapnya benci, semua yang telah aku coba lupakan kini terasa seperti menyayat hatiku. Luka yang mulai kering itu kini menganga kembali.
"Aku tahu, aku laki-laki paling brengsek di dunia ini. Apakah tidak ada kesempatan untuk ku yang bisa membuatmu memaafkanku, jika luka ini membuatmu membenciku aku rela kau memukulku," Ujarnya. Aku tersenyum sinis.
"Apa kau pikir kau bisa mengobati luka ini dan menggantinya dengan aku memukulmu? Lalu bagaimana kabar hatiku yang sudah tidak berbentuk lagi? Apa kau bisa membuatnya kembali utuh sama seperti aku belum mengenalmu?" Katakan aku jahat aku tidak perduli.
"Kau tidak akan bisa melakukannya tuan Radika Pratama," Ujarku.
"Aku memang tidak bisa, tetapi aku akan berusaha untuk mengobati luka hatimu, hanya beri aku kesempatan dan akan kubuktikan," Ujarnya masih belum menyerah.
"3 bulan, setelah itu ceraikan aku. Jika dalam 2160 jam kau tidak bisa mengobati hatiku maka ceraikan aku dan buat alasanmu sendiri terhadap keluarga kita," ujarku.
"Baiklah aku terima, dan apakah aku bisa memulainya dari sekarang?" Aku mengangguk.

Dia meraihku mendudukkanku di tempat tidur bersender pada kepala tempat tidur. Perlahan jemarinya mengelus pipiku, menghapus jejak airmataku.
"Aku berjanji tidak akan menyebakan bola mata indahmu mengeluarkan airmata lagi," Ujarnya.
"Aku tidak butuh janji, melainkan aku butuh bukti," Balasku sengit, dia tersenyum dan itu terlihat sangat manis.
"Buka mulutmu dan jangan terus melamun manis," Aku merasakan pipiku memerah. Aku tidak jatuh cinta ingat itu.

**
Radika (POV)

Aku menatapnya sendu saat airmatanya beruraian, sakit hati ini melihat Dita seperti itu. Ini semua karenaku dan aku berjanji tidak akan membiarkannya meneteskan kembali airmatanya untukku, aku berjanji semuanya akan ku tebus rasa sakit yang dia rasakan.

Aku menatapnya yang dengan susah payah menelan bubur buatanku, apakah buburnya yang tidak enak atau memang Dita tidak suka bubur?
"Kenapa tidak enak?" Tanyaku.
"Bukan tidak enak, sebenarnya?" Dita menutup mulutnya dengan tangannya.
"Kenapa,?" Aku bertanya lagi kemudian menyuap satu sendok bubur buatanku.
"Enak kok," Ujarku lagi.
"Aku minta maaf sebelumnya. Sebenarnya aku tidak suka bubur," Ujarnya, aku menatap wajahnya yang merona. Aku tersenyum.
"Aku begitu tidak perduli ya, bahkan aku sampai tidak tahu apa yang tidak kau sukai," Ujarku miris.
"Tidak usah melow begitu, selama ini kita tidak baik. Jadi wajar kau tidak tahu apa yang kusukai maupun tidak, aku juga sama sepertimu. Sama-sama tidak tahu apa yang kau suka," Balasnya.
"Hmm, ngomong-ngomong kau tidak kekantor," Ujarnya mengalihkan pembicaraan.
"Aku sedang menemani istriku yang sakit nona, lagipula aku hanya memiliki waktu yang sedikit, aku harus pintar-pintar untuk memanfaatkan waktu," Ujarku tersenyum.
"Apakah kau sungguh mencintai istrimu?" Tanyanya.
"Sungguh dan aku berharap dia bisa memberiku kesempatan waktu yang lebih banyak untuk membuktikan jika aku sungguh-sungguh," Ujarku menatapnya.

Aku menatapnya dalam, bagaimana bisa aku menyakiti wanita secantik ini, dan bagaimana bisa aku tidak pernah melihatnya sebelum ini. Kemana saja kau biadab? Teriak batinku seakan meledekku.
"Kenapa?" Tanya Dita menatapku, entah keberanian darimana aku menangkup wajahnya dan menatap matanya dalam.

Aku tidak menjawab pertanyaannya, melainkan aku menyelami matanya yang berwarna coklat madunya. Begitu bening dan damai, entah sejak kapan aku menyelipkan bibirku diantara bibirnya. Ku kecup pelan bibir ranum mungilnya, aku mencecap merasakan setiap rasa yang di berikan bibir tipisnya.

Aku menunggu dia menolak semua yang aku lakukan padanya, namun aku tidak menerima penolakan justru dia membalas semua kecupan manis yang kuberikan. Seperti merasakan kupu-kupu berterbangan di perutku.. aku merasakan seperti tidak bisa mengendalikan diriku. Aku harus menyudahi ini sebelum aku tidak bisa mengendalikan diriku.
"Maafkan aku," Ujarku terengah.

Dita menunduk dengan wajah memerahnya.
"Aku ingin sendiri, bisa tinggalkan aku," ujarnya dengan menunduk. Aku tahu dia mungkin malu atau syok.
"Baiklah, aku tinggal dulu ya. Kebetulan aku juga ingin mengecek pekerjaanku, jika kau butuh apa-apa maka jangan sungkan memanggilku.," Aku mengecup keningnya sambil berlalu. Ku lirik sebentar wajahnya yang semakin merona. Aku tersenyum dikulum.

**

Author (POV)

Radika pria tampan itu terus saja tersenyun, dia bahagia. Tentu saja, sudah hampir 1 tahun ini dia merasakan kedinginan dalam hati maupun hidupnya, dan hari ini, dia di hadiahkan keajaiban.

Dita, gadis cantik yang mungkin menjadi pujaan semua orang itu kini mau mencoba memulai semuanya. Betapa bahagianya dia. Dan dia sudah bertekat untuk tetap berusaha dan terus maju meski waktu yang diberikan Dita hanya 3bulan saja.

Sementara Dita, gadis itu masih terus melamun dan wajahnya makin merona. Laki-laki itu bagaimana bisa mencumbu bibirnya dalam waktu sekejap?
Tentu saja karena kau merespon perlakuannya bodoh, coba kau mendorongnya. Mungkin dia akan menjauh dan merasa bersalah?
Lalu bagaimana kabar hatiku yang menghangat saat dia mencumbu bibirku dengan lembutnya?

Hatinya terus saja bergolak menanyakan apa dan bagaimana bisa dia tidak bereaksi dengan perlakuan Dika? Bukankah dia membenci Dika? Lalu apa yang membuatnya takluk?

Sengaja jangan panjang-panjang. Karena mau buat kalian semua penasaran.... hope u like it guysss... peluk cium untuk readers tercintahhh...

Dangerous WifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang