- Adriana -
Setelah selesai masalah pengobatan lenganku, sekarang kami hendak ke restoran seberang rumah sakit. Makan siang disana. Jujur, aku malu, mengapa?, karena tadi saat Dion dan Kak Hans berbicara. Suara perutku yang minta diisi malah terdengar, keras pula. Malu!, aku sempat merutuki suara tak diundang itu. Tapi itu kan perutku, mau bagaimana lagi.
Sepanjang perjalanan, Dion sama sekali tidak pernah melepaskanku, tangannya mengenggam tanganku yang tidak terluka dengan erat. Dia tampak waspada. Aku lalu menatap kak Hans, kak Hans tampak berjalan dengan santai, sesekali menyapa pasien maupun suster yang lewat. Melihat betapa ramahnya sikap Kak Hans, dia pasti sangat populer disini, dan yah..., fans. Menatap beberapa pasien maupun suster yang menatapnya dengan tatapan memuja. Bahkan tak jarang, aku meringis, tatapan penuh cinta. Aku bisa menduga kalau kak Hans pasti banyak menolak cewek disini. Kasihan juga.
.
Kami sampai di restoran tempat tujuan kami, saat kami memasuki restoran dengan kemegahan sederhana ini, kami disambut pemandangan layaknya direstoran manapun. Sepanjang perjalanan menuju meja yang kami tuju, dibagian belakang, disana terdapat jendela yang menampilkan taman kecil yang cukup indah dengan beberapa perkebunan kecil bunga, tampaknya itu taman milik pemilik restoran ini, tebakku. Beberapa pelanggan terutama wanita terus menatap kami, ah lebih tepatnya dua orang yang mengapitku. Seorang cewek dengan tampang biasa diapit dua orang cowok cakep, kalimat itu rasanya cocok dengan keadaanku sekarang. Ada perasaan tidak suka saat ada wanita menatap Dion intens.
Akhir-akhir ini aku sering ditemani cowok cakep, biasanya juga aku menyendiri disudut yang tidak dilihat orang. Hah, hidupku memang sudah berubah. Pikirku termenung.
"Kau mau pesan apa Adriana." Panggilan lembut itu menyadarkanku dari pemikiranku barusan, aku melihat Dion menatapku bertanya, "sama denganmu saja." Jawabku pendek, aku tidak terlalu pemilih soal makan.
Dion lalu memberitahu mbak yang melayani kami dan kemudian kak Hans juga memberitahu pesanannya ke mbak itu, Dion menatapku, "kau memikirkan apa?." Tanyanya yang mungkin melihatku dari tadi diam dan tampak termenung.
Aku menggeleng, "bukan sesuatu yang penting."
Dion tampak tidak memercayainya, "benar kok." Kataku meyakinkan.
Dia masih tampak curiga meski tidak berkata apapun.
"Nah, bisa kau jelaskan sekarang?." Tanya kak Hans kemudian. Perhatian Dion teralihkan ke kak Hans, mereka kemudian berbincang. Aku hanya menyimak saja, setelah cukup lama mendengar, aku menatap sekeliling dengan bosan. Meski aku jadi topik pembicaraan mereka, aku malas juga mendengarnya.
Perkebunan kecil yang terhampir dihadapanku menjadi pemandangan yang menarik untuk kulihat sementara, aku lalu melihat kesekeliling restoran, melihat interaksi yang terjadi disini sampai seseorang yang kulihat tampak sedang duduk sambil menatapku dalam di meja ujung sudut restoran.
"Sely." Kataku kaget. Dia ada disini?.
"Ada apa Adriana?." Tanya Dion yang mendengar seruan kagetku tadi. Aku menggeleng lagi, "bukan apa-apa." Bohongku, aku merasa kalau Dion tidak usah diberitahu soal ini. Dion menatapku lama sebelum berbicara lagi dengan kak Hans.
Pesanan kami datang, mereka menyantapnya, aku juga.
Aku menatap tempat Sely sebelumnya dan menemukan tempat itu kosong. Seakan memang tidak ada siapapun disana sebelumnya begitu melihat rapinya kursi yang ditata disana.
Aku yakin dia disana barusan, pikirku dengan yakin, perasaan ngeri itu timbul, membuatku resah. Aku masih sesekali melirik sekeliling restoran untuk memastikan apakah Sely masih ada disini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Popular? I Hate Popular!
Teen FictionSetiap orang pasti ingin popular, hanya beberapa aja yang nggak mau atau memang malas menjadi populer. Aku termasuk kedalam yang malas menjadi populer, aku orang biasa, cantik? aku nggak cantik, pintar? aku nggak pintar dan aku pun juga nggak kaya...