~Empat~

78 10 1
                                    

"Jadi... Nama kamu Anggara ya?" tanya seorang wanita paruh baya dengan jas merah muda pucat dan rok selutut hitam yang super ketat. Wajahnya manis, mirip Anggi dengan warna netra yang sama. Rambutnya hitam lurus melewati bahu. Rambut coklat madu Anggi tak ada padanya. Berarti warna rambut itu dari papanya Anggi

"Iya tan.." ujarku pelan.

Ini dimulai setengah jam lalu saat aku datang kesini, menuju resepsionis dan menanyakan kamar anggi dan melihat Anggi masih tertidur lelap dengan wajahnya yang tenang lengkap dengan infus yang berdiri disampingnya.
Meski tak terhubung dengan Anggi, ruangan ini penuh alat alat medis darurat. Penyakit Anggi apa sih? Separah itu ya?
Lalu wanita ini, masuk, menyapaku dengan elegan namun riang. Mirip mama dengan nada mengintrogasi. Sekarang aku baru sadar, nada introgasi itu emang sindrom emak emak kalo anak nya berubah atau deket sama orang lain terutama lawan jenis

Dan disinilah aku.
Anggi baru saja bangun dan langsung disuruh ibunya mandi, Anggi belom keluar juga dari kamar mandi. Dan aku sudah diajak ke ruang tengah untuk diajak kenalan, tepatnya introgasi.

Kamar rumah sakit ini ada ruang tengah, kamar mandi, dua kamar tidur, teras kecil di ujung balkon yang luas. Kamar ini menempati satu lantai sendiri. Bingung gue, orang tua Anggi ada jabatan apa atau sekaya apa sih bisa memilih kamar Rumah Sakit yang paling mewah di RS bintang lima begini. Aku yakin keluarga Anggi berasal dari orang kaya.

"Kenal anggi baru 2 minggu ya?" tanya bunda Anggi dengan senyum padaku

"Iya tan.." apalah daya, semua yang dikatakan benar, jadi aku menjawab monotone dengan kata yang sama

"Oh iya tan.. Saya juga mau membawa Anggi bertemu mama. Mama yang memintanya, itupun pasti dengan izin dan kepercayaan tante" ujarku ragu ragu

Ibu Anggi nampak tetegun sebentar dan tersenyum lalu meng-hembus-kan nafas lega.
"Tentu saja boleh, Kamu tau? Sebelum Anggi bertemu kamu dia itu pendiam. Dia kurang bisa terima dengan penyakit beruntun yang menyerangnya. Dia kehilangan semua senyum, aksi petingkahnya, tawa riangnya, sampai suatu hari.. Dia melihat kamu lewat jendela besar disamping kasurnya. Berhari hari kamu datang, melakukan hal yang sama, datang dan membaca buku dalam hening. Pasti hanya ada suara balikan halaman kertas disekitarmu. Dia bilang kamu punya hidup dalam warna yang sama, monotone dan sepi. Itu kali pertama nya dia tersenyum lagi, seminggu sebelum menemuimu pertama kali dia mengucapkan keinginan terbesarnya. Dia ingin menemuimu dan mengubah hidupmu. Dia ingin menulis ulang semua lembaran dalam hidupnya tanda menghilangkan fakta bahwa dia memiliki penyakit yang siap menghabisi tubuhnya dari dalam.. Dia kembali ke rumah sakit dengan tawa bahkan dihari pertama menemuimu. Dia tertawa ternyata kamu bukan seperti yang dipikirkan, dia bahkan bilang kamu bisa juga seperti mak mak arisan. Terimakasih.. Benar benar terimakasih akhirnya dia mau menerima semuanya.. Terimakasih telah menulis ulang hidupnya.. Terimakasih telah mengembalikan senyum nya.. Terimakasih telah mengembalikan semangat hidup Anggi.. Terimakasih membuat kemungkinan Anggi untuk bertahan.. Terimakasih karena telah dilahirkan" ujar bunda Anggi lirih, kepalanya tertunduk dihalangi surainya yang menjuntai menutupi matanya. Meski tak terlihat, aku cukup peka untuk menyadari bunda Anggi menangis. Sayup sayup kudengar isakan membuat mulutku bungkam.
Belum pernah ada yang begitu bahagia karena aku sebelumnya. Belum ada yang menghargai dan mengharapkan kehadiranku selain mama.
Hanya keheningan yang memenuhi suasana di rungan ini.

Brak!
"Mah.. Bajuku yangs semalem aku siapin, mana? Kok ga ada?" tanya Anggi tiba tiba keluar menggebrak pintu yang berhadapan langsung dengan tempat duduk ku

 MemoriesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang