Chapter One : Lose a Piece Valuable of Puzzle

7K 543 351
                                    

Chapter One : Lose a Piece Valuable of Puzzle.

=====================
====================

"Gimana sekolah kamu, Dena?" tanya Kirana—ibunda Dena.

"Enggak gimana-gimana, kok," jawab Dena sambil menyantap nasi goreng di meja makan.

"Kalau ada apa-apa, kamu harus bilang. Kamu juga harus pilih teman yang benar," nasihat Shadiq—ayahnya, sambil menatap lurus ke depan, menatap foto keluarga yang belum digantung. Keluarga Dena baru saja genap seminggu pindah rumah. Masih ada beberapa barang yang belum ditata.

Omong-omong sekarang hari Minggu, jadi kedua orangtua Dena ada di rumah, biasanya mereka kerja. Tapi, baru-baru ini Kirana berhenti bekerja, semenjak ada masalah keluarga. Bahkan, tadinya Kirana dan Shadiq sempat ribut ingin bercerai, untung saja mereka masih bisa berdamai.

Jika Dena mengingat hal itu, ia jadi meringis dan terbahak dalam satu waktu, kejadian itu sangat dramatis. Padahal, Dena membenci drama.

Kehidupan Dena jadi berubah 180° dari yang dulu. Dan Dena mencoba mengikutinya, mengubur segala sikap buruknya, dan berusaha lebih peduli.

"Iya, Pa," jawab Dena, ia jadi lebih sering ditanyai soal sekolah atau hal lain dengan orangtuanya. Mereka jadi lebih perhatian, Dena antara senang dan tidak. Seharusnya, Dena senang, tapi ... ia tak akan tetap tenang bila seseorang belum juga datang membawa kepingan puzzle untuk menjadikan momen ini sempurna.

|S ・L|

Dena memasuki kelasnya, dan seperti biasa; suasananya ramai. Ini kelas, atau pasar malem?

Saat melangkah ke tempat duduknya, Dena tersentak, tangannya ditarik paksa oleh seseorang. Dari ujung matanya, ia melihat beberapa orang sedang memandanginya, dan yang lain hanya mengabaikan— sibuk dengan urusan masing-masing.

Jangan bertanya urusan apa; kalau bukan mencontek, ya ngobrol.

"Den," panggil orang tersebut.

"Hm," Dena hanya bergumam, berusaha mendatarkan ekspresi kesalnya.

"Lo udah bilang, belum?" tanya cowok ini.

"Lo bisa bilang sendiri, Ervin. Terimakasih," jawab Dena lalu segera berlari kecil memasuki kelas.

Cowok itu—Ervin, hanya berdecak sebal.

Dena melangkah untuk kedua kalinya pagi ini ke dalam kelasnya, memerhatikan bangkunya yang terletak di tempat ketiga dan berada persis di sebelah jendela.

"Dia minta maaf sama lo lagi, ya? Udah enggak usah ditanggepin. Kenapa sekarang dia malah minta maafnya sama elo? Kenapa enggak ke gue lagi?!" Baru saja Dena menempatkan posisi nyaman di kursinya, Della—teman sebangku Dena, yang sedang memakai plester untuk membalut luka di dagunya—menghujani cewek berambut sebahu itu dengan ocehan tidak bermutunya.

Oke, ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa Dena harus naik darah, diantaranya adalah:

Pertama, siapa juga yang mau dilibatkan.

Kedua, Dena sudah mengabaikan Ervin, tetapi ia tetap saja membicarakan hal bodoh itu.

Ketiga, bisa enggak, sih, Della kalau bicara air liurnya enggak usah pakai muncrat?

Ah, sialan baru juga mandi. Bau lagi kan.

"Tolong, ya, kalau pengin ngomong telen ludah dulu," komentar Dena setelah mengelap tangan kananya yang terkena cipratan maut.

All the Baffling Thing of Being Change✔ (WAS SAVAGE LOVE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang