Capter Fifteen : Just Be Happy

1.3K 104 31
                                    

Chapter Fiveteen : Just Be Happy.

Ahza masuk ke dalam ruangan berwarna putih tulang--yang sudah sedikit terlihat kusam. Cowok itu mengambil langkah panjang, selanjutnya berlari kecil menuju ranjang pasien.

"Mama...," lirihnya, seraya mengelus rambut Nindi perlahan, selembut mungkin.

Nindi terpejam, bibirnya pucat, tubuhnya menjadi kurus kering. Penampilan yang pasti membuat setiap anak di dunia akan kecewa, menyesal, dan menangis.

Ahza masih mengelus pucuk kepala Nindi, perlahan namun pasti, mata Nindi terbuka. "A ... Azan?" tanya lirih wanita tersebut kepada Ahza, suaranya selembut kapas.

"Kok Azan, sih, Ma? Ini kan Ayam," balas Ahza, ia makin ngawur.

"Kamu anak Mama, Ahza ... bukan binatang."Nindi tersenyum, mencoba duduk di ranjangnya, lantas Ahza membantunya.

"Mama kangen Ahza atau Azan?" tanya Ahza, bercanda. "Azan anak Mama dari siapa? Orang Mama kangennya cuman sama Ahza, kan?"

Nindi mengangguk. "Maafin Mama," kata Nindi, menatap Ahza dengan raut dan tatapan penuh penyesalan.

"Enggak, Mama enggak salah, kok," balas Ahza, sambil menyunggingkan senyum.

"Mama sayang banget sama kamu, Nak. Maaf, Mama udah buat kamu jadi pribadi yang rapuh, tapi Mama enggak bisa apa-apa, cuma bisa diem dan mikirin masalah pribadi Mama."

"Kita semua rapuh, manusia itu pada dasarnya rapuh. Maka dari itu kita harus terus bersama untuk saling menguatkan," ucap Ahza. "Karena hidup kadang membawa kita pada kerapuhan tapi, pengalaman membuat kita jadi pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya."

Perlahan, bibir Nindi terangkat keatas, membuat senyum simpul. "Kamu dapet quotes dari mana?" ledek Nindi, ternyata sudah banyak yang ia lewatkan belakangan ini. Dari mulai Ahza yang bertambah tinggi, dadanya lebih bidang, rambut hitam kecokelatanya yang mulai panjang, mata hazel-nya yang bertambah indah dan terlihat manis bak melihat madu, hidungnya, dan kumis tipis yang mulai muncul di atas bibirnya.

"Enggak, kok. Ahza ngarang sendiri, Ahza itu kreatif, kan?" balasnya, bahkan beberapa detik sesudahnya ia ingin berkata, "Ahza bahkan udah bisa nulis puisi", tapi tidak jadi, mengingat kalau puisinya kurang normal. Nanti ia jadi malu sendiri.

Nindi menatap anaknya lekat-lekat, rasanya seperti sudah lima abad tak bertemu, apa saja yang sudah dilakukan anaknya selama ini? Ibu macam apa sebenarnya dirinya? Apa pantas ia disebut ibu?

Tiba-tiba Nindi memeluk Ahza erat, mengisyaratkan kalau ia sangat ingin melihat buah hati satu-satunya ini sejak lama. Ahza agak kaget akan gerakan ibunya yang tiba-tiba, namun detik selanjutnya ia membalas pelukan ibunya, merasakan fregmen-fregmen kehangatan yang mulai menusuk memasuki kulit putihnya, lalu mengalir bersama aliran darah, dan beberapa menembus relung-relung rapuh hatinya.

Satu kata; hangat. Pelukan yang selalu ia rasakan saat berumur lima tahun. Pelukan yang diberikan ibunya saat mulai ia menangis dan kesepian. Pelukan yang selalu ia tolak saat ia mulai berusia dua belas tahun, dengan alasan ia sudah menjadi cowok dewasa dan tidak mau dipeluk lagi. Kadang, tanpa sadar Ahza tersenyum mengingatnya.

"Mulai sekarang, enggak akan ada lagi yang bisa misahin kita, Mah," bisik Ahza, mimiknya mulai serius, lalu ia melanjutkan perkataannya, "enggak juga Papa."

Nindi hanya mengangguk samar, dengan melengkungakan bibir seperti bulan sabit, walau Nindi tau, Ahza tak akan melihatnya.

Jauh di dalam relung kosong hatinya, Nindi merasa senang, bangga, dan haru. Anaknya ini memiliki sisi penyayang, peka, dan peduli dari dirinya, serta humoris dan baik hati dari ayahnya.

All the Baffling Thing of Being Change✔ (WAS SAVAGE LOVE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang