Chapter Ten : His Attitude that Made Me Wonder. It's Hard to Predictable

1.7K 151 63
                                    

Chapter Ten : His Attitude that Made Me Wonder. It’s Hard to Predictable.

Hujan, hujan, dan hujan. Itulah yang terjadi belakangan ini, langit selalu suram dan awan selalu hitam, terkadang ini menyebalkan, harus hujan-hujanan dan kedinginan.

Mengapa selalu mendung? Dena sangat membenci ini, ia tak bisa melihat gumpalan awan lembut yang membuatnya merasa tenang sekaligus senang.

Seperti hari kemarin, kemarin dan kemarinnya, Dena akan lepek sampai di sekolah. Atau beruntungnya, ia hanya akan kedinginan.

Lihatlah sekarang, Dena sedang memeluk lengannya sendiri, ia tak menenakan cardigan ataupun jaket. Seharusnya, ia tidak buru-buru datang ke sekolah, namun sialnya ia nyaris terlambat dan langsung bergegas tanpa menyentuh sarapannya.

Dan sialnya lagi, angkutan yang ia tumpangi mogok di tengah jalan, jadi Dena terpaksa turun.

Dan yang paling sial adalah saat ia sedang berjalan tiba-tiba hujan deras. Tanpa aba-aba, tiba-tiba air dengan jumlah banyak menghantam tanah, akhirnya Dena berteduh sampai hujan mulai reda.

Tapi sialannya, hujan tak kunjung reda. Ya, seharusnya jika hujan turun Dena bersyukur, tapi kalau hujannya disaat yang tidak tepat seperti saat ini, bagaimana mungkin ia bisa senang?

Sudah lapar, positif terlambat, dan kedinginan, apa hal buruk yang akan terjadi berikutnya?

Menurutnya dalam seminggu kemarin, hari ini yang paling menyebalkan, kemarin hanya gerimis saat Dena sudah dekat di sekolah, dan sebelum-sebelumnya hujan deras saat Dena sudah berada di depan gerbang.

"Yaampun, apa gausah masuk aja, ya?" gumamnya pada angin. Ia sendirian di sini, di depan warung yang sedang tutup, Dena baru seperempat jalan.

Seharusnya, ia sudah sampai dari tadi bila angkutan terkutuk itu tidak menurunkannya ditengah jalan, dan mengapa semua angkutan umum yang lewat sesudahnya penuh? Tadi ada tempat yang kosong, namun di depan pintu, pasti roknya akan kotor dan ia akan tetap basah karena cipratan air dari luar, dan lagi, di sebelahnya sudah ada orang asing, masa iya Dena harus berdempetan, jika wanita mungkin saja, tapi ini pria.

Dan Dena rasa bila ia naik itu bukanlah hal baik. Sudahlah, tak ada guna mengeluh, tak akan menyelesaikan masalah.

Entah sudah berapa lama Dena duduk di depan warung pinggir jalan ini, beruntung di depan warung ada bangku asal-asalan yang dibuat dari kayu bekas, sepertinya bekas lemari atau apa pun yang tidak begitu Dena pedulikan, karena ia benar-benar tak bisa berpikir sekarang.

Dan sialnya, di depan warung ini air mulai merembes, setetes demi setetes air hujan jatuh dan mengenai kulit lengan Dena, dan itu sukses membuat Dena tambah kedinginan.

Bibirnya kering pucat, wajahnya pun tak kalah pucat, sepertinya besok Dena akan sakit. Dingin, dan lapar, apakah tidak ada seorang pun yang lewat? Ah ya, tentu saja pelajaran sudah dimulai.

Melirik jam di pergelangan tangannya, dan benar sudah pukul tujuh kurang sepuluh.

Apa yang harus Dena lakukan sekarang? Melepon ayahnya yang sedang bekerja untuk menjemputnya? Ayahnya tak akan menjemputnya. Hari ini ada meeting penting yang sudah jauh-jauh hari dipersiapkan.

All the Baffling Thing of Being Change✔ (WAS SAVAGE LOVE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang